Pura Parahyangan Agung Jagatkarta, Sepotong Bali di Kaki Gunung Salak

by - March 23, 2015

Alam dewata suci sempurna begitu arti dari Pura Parahyangan Agung Jagatkarta. Sebagaimana sejumlah kondisi suci yang disyaratkan, ada sejumlah tata tertib guna memasuki pura, menyambut pengunjung sebelum kaki mendaki anak tangga menuju lokasi yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya Prabu Siliwangi, raja paling sohor dari Kerajaan Hindu Parahyangan.  




Setelah hampir berkendara nyaris seratus dua puluh menit dari kota Bogor -padahal bukan akhir pekan- melalui Ciapus, akhirnya terlihat papan penunjuk menuju lokasi yang dicari.




Sudah lama mendengar tentang tempat yang disebut sebagai pura terbesar di Jawa Barat dan kedua terbesar di Indonesia setelah Besakih; baru sekarang kesampaian datang ke sana. Terutamanya membunuh penasaran atas resensi sebuah tulisan yang menyatakan selaksa menemukan sepotong Bali di kaki Gunung Salak, sepertinya harus dibuktikan sendiri.

Makin mendekati pura yang dirintis pembangunannya secara gotong-royong oleh pemeluk Hindu sejak 1995, makin menanjak jalannya.  Ruas jalan tak lebar, namun tak sempit pula.  Berjejer pinus di kanan-kiri jalan.  Serasa bukan di Bogor yang terkenal padat angkotnya.

  


Ketika Gunung Salak nyata gagah di depan mata.  Dan di ruas sisi jalan terlihat tempat parkir tertata rapih.  Di situlah kami harus menyisikan kendaraan.





Setelah berjalan naik sekitar seratus meter dari tempat parkir, berdirilah gapura Pura Jagatkarta.  

Sebelum memasuki area pura,selayaknya berkunjung ke pura atau tempat suci lainnya di Bali, pengunjung diminta untuk memakai selendang berwarna kuning yang diikatkan di pinggang. Khusus pada pengunjung wanita, penjaga pura tiada bosan menerangkan bahwa wanita yang sedang haid dilarang memasuki area pura. 



Tidak semua area dapat diakses oleh pengunjung, khawatir akan mengganggu aktivitas ibadah umat dalam pura.  

Selain dibatasi oleh tali, ada area tertentu yang dililit kain kuning, sebagai tanda di situlah titik terjauh yang boleh ditapaki.




Saya harus cukup puas diri memandang tiga gapura hitam yang terlihat berdiri di undakan paling tinggi dengan sebuncah rasa penasaran seperti apa pemandangan di dalam sana.  

Walau tiada terlihat kegiatan peribadatan namun pura dengan jam kunjung untuk umum pukul 11 siang hingga 3 sore ini, ketat dijaga oleh pemangku agama.  


Beruntung rasanya datang ke sana sebelum perayaan Hari Raya Nyepi.  Karena menjelang Nyepi, biasanya ada serangkaian upacara keagamaan yang artinya pura ditutup bagi selain pemeluk Hindu.




Tak banyak pengunjung siang itu.  Tapi selalu ada yang datang, biasanya dalam kelompok kecil.  Dengan panorama yang tersaji, semua pengunjung rasanya setuju untuk mengabadikannya dalam gambar.

Dan entah kenapa pula, kami yang berada di situ cenderung bicara dengan intonasi suara yang rendah.  Seolah ngeri memecah keheningan yang tercipta dan mengganggu tapa Sang Hyang Widhi. 


Kegagahan puncak Gunung Salak yang terlihat jelas di pelataran pura, diramu hawa sejuk melemparkan imaji saya akan Pura Besakih di Bali.  


Sayup aroma dupa dan tampilan sesajen, sempurna mengukuhkan pikiran itu.


Jadi benar, ada sepotong Bali di kaki Gunung Salak.









You May Also Like

7 comments

  1. Replies
    1. sepi, tenang, sejuk. Buat yang suka ketiga hal tersebut, tempat ini ok bingits

      Delete
  2. fotonya keceee..
    baru tau ada nuansa bali di jabar :)

    ReplyDelete
  3. Pemandangan yang asri
    Semoga selalu ada kedamaian di sana
    Terima kasih atas reportasenya yang meanarik dengan image yang ciamik pula
    Salam hangat dari Jombang

    ReplyDelete

Hai ^_^
Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan saya di blog ini.
Silakan tinggalkan komentar yang baik.
Mohon maaf, komentar anonim maupun yang sifatnya spam, tidak akan dipublikasikan.
Keep reading and Salam !