My Dairy Note's

Life Style & Family Blog Indonesia

  • Home
  • About
  • Disclosure
  • Life Style
    • Travel
    • Culinary
    • Health
    • Fotografi
    • DIY
  • Blogging
    • Blog Contest
    • Techno
    • Tips & Tutorial
  • Event & Review
  • Random
    • Books & Movie
    • Parenting
    • Thoughts


Sebagai pembaca buku, inginnya segera menyelesaikan buku yang sedang dibaca.  Sayang rasanya jika mesti jeda ditengah cerita yang seru.  Ibarat sedang nonton drama Korea dan ketegangan sedang memuncak, eh harus ditunda ke episode berikutnya.  Bete.

Kalau sudah demikian, pengennya itu buku dibawa kemana pun, walau kadang "merepotkan".  Mengingat buku mudah lecek, basah jika kena air bahkan rusak karena usang.  

Walau demikian hingga kini saya tetap tidak beralih ke ebook.  

Katakanlah saya old fashioned tapi saya punya alasan sendiri mengapa hingga kini tidak menggunakan buku elektronik.  

Inilah alasan saya tidak beralih ke ebook.


The aromatic paper

Selalu hadir kesenangan tersendiri manakala nostril-nostril mencium aroma spesifik yang menguar dari buku baru.  Kemudian jemari membukanya dengan hati-hati seolah kertas adalah benda rentan mudah pecah.  Membalikkan halaman demi halaman sama mengasikkannya dengan mencari tahu isi cerita. 

Belum lagi bunyi khas yang tercipta manakala jemari membalikkan setiap helai kertas.  Suara yang mungkin lemah terdengar dalam keramaian, namun jadi semacam nada tersendiri di lengangnya sepi.

Karena buku cetak memiliki halaman yang bagus dan lembut untuk disentuh. Maka kertas membuat membaca jadi kegiatan yang menyenangkan secara fisik.   Pengalaman fisik saat membaca buku akan tersimpan dalam otak manusia sehingga saat kita membuka kembali dan menyentuhnya, memori itu akan terpicu untuk mengingat kembali.


Buku itu menyenangkan

Setelah menatap layar komputer di tempat kerja sepanjang hari, bagaimana otak dan mata bisa rileks ketika dirumah harus menatap layar lain untuk membaca ebook?

Karena setiap saat memandangi layar gawai dapat membuat mata dan otak menjadi cepat lelah. Peneliti dan yang dilakukan di Swedia pada tahun 2005 menunjukkan bahwa membaca di layar memakan habis energi jauh lebih banyak dibanding membaca dari kertas. Sinar LED yang muncul juga dapat menganggu pola tidur dan membuat tidur menjadi tidak berkualitas.

Bayangkan betapa santainya meringkuk di rumah tanpa harus menatap layar.  Priceless!




The book is mine

Yang ini posesif banget, hahaha.

Tapi betul 'kan, kita bisa memiliki buku selama yang kita mau hingga mewariskannya pada anak atau memberikannya pada seseorang yang kita anggap akan menghargai buku dengan baik.

Proses "menyentuh" buku ternyata juga melibatkan seluruh panca indera.  Mulai dari mencium aroma buku baru, membalikkan halaman, memegangnya saat kita meraih cangkir kopi menghasilkan sejumlah rasa sehingga kita merasa kaya karena memilikinya karena semua indra terlibat. 

Di situlah moment of truth buku adalah produk spesial dan memberikan arti lebih bagi pemiliknya.  

Masih mengutip hasil studi yang dilakukan oleh peneliti Swedia tahun 2005; buku digital dan fisik adalah kedua produk yang berbeda. E-book lebih seperti pengalaman layanan (User Experience). "Secara keseluruhan, ebook lebih menawarkan pengalaman yang lebih efisien dan fungsional.”




Meskipun aslinya saya bukan termasuk yang suka "menodai" buku [baca mencoret buku, melipat ujung halaman sepagai penanda bacaan apalagi melipat buku], untuk buku tertentu saya -biasanya buku untuk non fiksi- akan memberikan marking pada bagian yang saya anggap penting.  Biasanya saya menggunakan stabilo markert atau menggarisbawahi kalimat tertentu.

Yang mana agak sulit dilakukan dengan ebook.  Kalau toh bisa, tidak semua ebook menyediakan fitur ini.

Jadi ada hubungan antara gerak fisik dan kognisi.   Memberi tanda atau mencoret buku.  sepertinya membantu kita untuk mengerti dan mengingat suatu bacaan dengan lebih baik.


Books is artsy and photogenic

Dari sisi kepraktiskan, penggunaan e-book ini memang menjawab kebutuhan tersebut.  Ebook tidak makan tempat karena cukup berada di satu gawai selama kapasitasnya memadai.  Dibanding buku yang membutuhkan tempat khusus.    

Di rumahpun, dengan jumlah buku yang kami [saya & anak-suami] miliki satu rak saja rasanya masih kurang.  Bicara soal rak dan buku, tak jarang kombinasi keduanya menghasilkan karya yang unik dan mempunyai nilai estetika tersendiri bagi pelaku desain interior.

There's nothing can change the beauties of bookshelves with plenty of hardcopy sitting on rack.  Eventually, baik bentuk-ukurannya, susunannya maupun warna-warni sampulnya bisa menjadi elemen ruang yang tak biasa, lho. 

Jejeran beragam buku dalam rak sudah sukses jadi mood booster buat saya.  Pernah merasakan excitement yang berbeda bergitu berada dalam toko buku?  Saya sering!  Dan hanya bookwarm sejati yang memahaminya heheheh.

Cukup hanya hanya strolling around dalam toko buku, tanpa membeli satupun, it is already mood booster for me!

I do not own this picture

Yet, I think e-books do not substitute paper books, in fact they complement each other.

Actually I read both tough.  Ada beberapa buku yang ingin saya baca, sulit mendapatkan versi cetaknya, somehow saya mendapatkan versi digitalnya.  Biasanya ini buku terbitan lama yang sudah tidak beredar di toko buku.  Jadi saya juga punya sejumlah bacaan dalam ebook.  Walau demikian rasanya tetap tidak sama.  The sense still different.  

Begitulah kalau sudah kadung jatuh cinta pada buku.  Sulit rasanya beralih ke ebook!

Namun jika reader adalah pencinta ebook, so be it.  Biarkan kita dengan pilihan masing-masing, ya!  😁

Selamat membaca!

Share
Tweet
Pin
Share
1 comments


Endorfin -gabungan dari endogenous dan morfin- zat yang merupakan unsur senyawa kimia neuropeptida opioid lokal dan hormon peptida, diproduksi oleh sel-sel tubuh serta sistem saraf manusia.  Bermanfaat membuat seseorang merasa senang, mengendalikan perasaan stres, serta meningkatkan sistem kekebalan tubuh.

Dan salah satu cara saya menghasilkan endorfin adalah dengan menonton film secara daring.  Terima kasih kepada internet dan platform nonton online sehingga saya bisa melihat segala rupa tontonan.  Ngga kebayang kalau ngga ada kalian!

Nah, apa yang terbersit saat dengar film India?
Dalam benak saya selain Shah Rukh Khan dan Kajool [cuma mereka yang saya ingat namanya, itupun karena sebelumnya melihat film Kuch Kuch Hotai 😂] adalah tarian dan nyanyian.

Sementara film Hollywood selalu berakhir bahagia, jagoan pasti menang.  Dan Hallyu atau serial drama Korea penuh dengan orang ganteng dan cantik dengan konsep cerita Cinderella Symptom .  Maka film Bollywood penuh dengan nyanyian.  Menggambarkan hati senang dengan tarian, sedihpun menyanyi sambil menari-nari melingkari tiang pilar.

Etapi ternyata ada lho film Bollywood yang zonder tari dan nyanyian.  Ini daftarnya.


Tribhanga - Tedhi Medhi Crazy (2021)


Saya tergerak menonton film tentang keluarga ini setelah melihat trailernya di Netflix.  

Judul dari film ini diambil dari pose tarian klasik India yang menggambarkan ketidaksempurnaan namun tetap cantik.  Sebagai benang merah plot cerita, tentang cinta dan konflik tiga wanita dari tiga generasi.  

Berlatar di Mumbai, film ini mengajak penonton untuk melihat lika-liku kehidupan dan perjuangan menghadapi pilihan hidup yang sama sekali tidak konvesional menurut kacamata adab sosial India.  

Rangkaian kisah tiga perempuan dari tiga generasi diceritakan dengan gaya melintasi garis waktu untuk melihat lebih jauh kehidupan ketiganya.   Pertikaian dan kemarahan masa kini sebagai hasil dari trauma menyakitkan dan air mata masa lalu digambarkan maju-mundur silih berganti tanpa membingungkan yang melihatnya.

Setelah menontonnya, saya seolah diingatkan kembali arti pentingnya keluarga dalam kehidupan.
 


The Sky Is Pink (2019)

Film tentang anggota keluarga yang sakit selalu digambarkan menyedihkan.  Berurai air mata sepanjang cerita dan biasanya lagi digambarkan dari perspektif yang sehat terhadap yang sakit.  Sebut saja film My Sister's Keeper atau Miracles from Heaven.  Catet ya, dua judul film ini made in Hollywood 😉

Dalam The Sky Is Pink semua kebiasaan itu dipatahkan.  Kalau boleh dibilang; diputarbalikkan!  Dari judulnya aja udah kebaca, this one is unusual!

Narasi diceritakan dari perspektif kacamata si sakit (malah udah meninggal!) dengan gaya humor, kalau gak mau disebut witty.  


The Sky Is Pink dibuat berdasarkan kisah nyata Aisha Chaudhary, seorang motivator dan penulis India. Dia adalah penulis buku My Little Epiphanies, diterbitkan satu hari sebelum kematiannya. 

Aisah lahir sebagai pengidap defisiensi imun gabungan yang parah (SCID, Severe Combined Immuno Deficiency).  Di usia remajanya, Aisah menderita fibrosis paru sebagai efek pengobatan dari SCID.  Semenjak itu, Aisha sering membagikan pengalamannya dengan menjadi pembicara.

Dalam waktu 2 jam 14 menit, kita akan mendengar Aisha bercerita tentang bagaimana orangtuanya (Aditi dan Niren) menjalani pernikahan saat menghadapi penyakit putri mereka.

By the time I finishing watched the movie on Netflix,  I was overwhelmed by the thought of young Aisha about death and happiness.  Ngga salah kalau dia dianggap sebagai pembicara inspirasi karena memang demikian adanya.





Kapoor & Sons (2016)


Masih mengangkat konflik keluarga, film berdurasi 137 menit ini mengisahkan tentang kesalahpahaman antara kakak-adik, pilihan hidup yang kontroversial, bahwa orang tua juga mempunyai masalah dan lagi-lagi mengangkat communication gap antara orang tua dan anak.

After all, family is family.  You can not choose your family, it is a gift from God.

Terakhir saya cek, film yang dirilis tahun 2016 ini masih bisa dinikmati di channel Netflik.


The Lunch Box (2013)

Ila Sehgal adalah seorang istri muda yang mencari perhatian suaminya Rajeev Sehgal dan mencari cara untuk mengembalikan romantisme ke dalam pernikahannya, salah satunya adalah memasak makan siang yang lezat untuknya. Dia mengirim kotak makan siang melalui "dabbawalas" Mumbai.

Karena campur aduk, kotak bekal yang disiapkan Ila untuk suaminya dikirimkan berikut surat cinta untuk "sang suami" malah diterima oleh Saajan Fernandes, seorang duda yang akan pensiun dari pekerjaannya sebagai akuntan.


Dari sinilah cerita bergulir.

Dalam 105 menit, silih berganti scene memperlihatkan adegan menyiapkan menu, memasak, dan surat yang dibaca oleh orang yang tidak semestinya.  Transformasi emosi Saajan, sang duda kesepian, apik digambarkan dari yang mulanya sarat kesedihan hingga menampilkan raut wajah berseri-seri dijatuhi panah amor Dewi Cinta.  

Irrfan Khan pas banget membawakan peran ini.  Tidak salah sehingga dinominasikan sebagai Film Terbaik Tidak dalam kategori Bahasa Inggris oleh British Academy Award 2015.

Sayangnya kita tidak akan pernah bisa melihat akting ciamiknya lagi. Almarhum yang juga sering terlibat proyek film dari luar India seperti Amerika dan Inggris ini menutup usianya April tahun lalu karena penyakit yang dideritanya.   Life of Pi, Jurassic Park dan The Amazing Spider-Man sebagai Dr. Rajit Ratha adalah beberapa film hasil kolaborasinya dengan para sineas asing. 

Oiya, lalu bagaimana penyelesaian kesalahpahaman ini?  

Cari tahu sendiri dengan menontonya yaaa.  Tanpa menontonnya, Readers tak akan memahami kerumitan "dabbawalas".   Mekanisme yang terkenal dan rumit di Mumbai.  Pada dasarnya mengambil dan mengantarkan makan siang dari restoran atau rumah kepada orang-orang di tempat kerja. 😉



Chak De! India (2006)

Chak De! India atau Let's Go! India merupakan film bergenre olahraga.  Terinspirasi kemenangan tim hoki nasional wanita India pada ajang Commonwealth Games 2002, film ini menceritakan kisah perjuangan perempuan India yang kental dalam stigma feminisme dan seksisme, warisan partisi India, fanatisme ras dan agama, belum lagi prasangka etnis.

Walau berdurasi 153 menit, film Bollywood tanpa nyanyi dan joget ini menghibur juga, kok.  Chak De! India dirilis di seluruh dunia pada tanggal 15 Agustus 2007, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan India ke-60, dan menerima tanggapan positif dari para kritikus.

Chak De! India berhasil memenangkan sejumlah penghargaan.   Termasuk diantaranya Penghargaan Film Nasional untuk Film Populer Terbaik yang Menyediakan Hiburan Seutuhnya. Film ini berhasil meraup pendapatan box office sebesar 21,5 juta dolar AS di seluruh dunia selama masa tayangnya.



Dari 6 rekomendasi film Bollywood tanpa nyanyian dan joget di atas, kira-kira film yang mana yang ingin ditonton?


Share
Tweet
Pin
Share
5 comments

Dalam hal potret diri atau self portrait, kebanyakan dari kita hanya berfokus pada wajah manusia saja. Ini tidak mengherankan, mengingat emosi yang terpancar dari ekspresi, mata, dan angle/sudut pengambilan.  Tanpa hal ini, kebanyakan kita khawatir potret "tanpa" wajah akan terlihat tidak menarik.

Pemikiran ini tidak sepenuhnya betul.  Faktanya, potret tak berwajah dikenal karena kedalaman emosionalnya, komposisi memukau, dan detailnya yang luar biasa.  

Masih ingat dengan karya spektakuler Murad Osmann?  Influencer traveller yang terkenal dengan serial #followmeto di akun Istagram.  Foto-foto ciamiknya di setiap landmark destinasi yang dikunjungi dengan istri tercinta "hanya" menampilkan bagian punggung sang istri.  
Courtesy of Murad Osmann Instagram

Setelah saya perhatikan koleksi foto, ternyata banyak dokumentasi pribadi saya pun yang "tampak pungung".  Apakah saya ingin menyaingi Om Murad?  😆😘

Kebiasaan saya melakukan foto tanpa wajah atau juga dikenal sebagai Genre Faceless Portrait dipicu oleh penolakan.  Tepatnya penolakan oleh anak sendiri.

Makin besar mereka makin sulit diminta pose kecuali atas kemauan sendiri yang sayangnya belakangan jarang terjadi.  Padahal sebagai ortu selalu keingin mengabadikan momen sebagai dokumentasi. 

Ternyata tidak semua orang merasa nyaman menampilkan wajahnya di dunia maya.  Dan sebagai orang tua, saya harus menghargai pilihan tersebut.

On the other, every moment matters. Right?

Karenanya, salah satu menyiasati keengganan mereka difoto adalah dengan cara *drumroll*  faceless photograph !

Dari namanya saja sudah ketebak ya; memotret tanpa wajah.  Atau hanya sedikit menampakkan bagian wajah.  Kira-kira yang seperti apa?




Angle dan Teknik Pengambilan

Berkat genre faceless portrait, saya punya beragam opsi dalam mendokumentasikan polah kami bersama anak-anak.

Membuat saya menjelajahi angle yang tidak biasa, memperhatikan detil, dan kreatif bereksperimen dengan pencahayaan natural serta belajar sabar menunggu momen yang WOW saat memotret a'la candid!

Fotografi mengenal banyak pilihan "angle" atau sudut pengambilan.  Eye level, down look atau flat lay, frog eye, tampak belakang, dari samping; itu adalah contoh-contohnya dan sering saya praktekan.

Foto di atas adalah contoh sudut gambar angle dari samping dengan sumber cahaya membelakangi wajah saat hunting foto di Pasar Triwindu Solo.

Masih bermain-main dengan angle, saya mengabadikan wajah Anak Gadis mari dari arah samping namun dengan semi frog eye.  Hanya sebagian sisi wajah bagian kanan yang terlihat dan sedikit frame kacamata yang nampak.  Seperti yang terlihat pada gambar kanan bawah.






Efek Bokeh


Bermain dengan depth of field dan fokus pada sesuatu di latar depan, memungkinkan untuk membuat buramdi latar belakangnya. Coba turunkan f-stop pada kamera atau gunakan mode potret pada ponsel pintar Anda untuk mendapatkan efek bokeh. 

Hal lainnya yang dapat digunakan untuk menutupi wajah adalah dengan penggunakan props.

Misalnya saat anak saya sedang memegang handphone.  

Fokus kamera saya arahkan pada handphone, bukan pada wajah.  Sebisa mungkin handphone dipakai sebagai media untuk menutup wajah.  Sudut pengambilan eye level dengan titik api pada telepon genggam, memberikan efek blur pada wajahnya.  Trik ini untuk mengalihkan pandangan kita ke arah telepon genggam, bukan kepada wajah.

Selain style; props seperti buku, majalah, topi, boneka yang lazim dipakai dan dapat membantu foto lebih bercerita.

Momentum

Angle lainnya adalah dari belakang.  Entah sejak kapan, dalam banyak kesempatan khususnya saat berkumpul; saya prefer mengambil gambar secara candid dari arah belakang.  Walau hanya tampak punggung, ternyata hasilnya pun seekspresif wajah pada umumnya.   Body language atau gesture sang objek dari belakang pun ternyata mampu bercerita.

Faceless portrait yang hanya menampilkan penampakan punggung seringnya saya lakukan diam-diam alias candid tanpa diketahui oleh objek foto.

"A candid photograph is a photograph captured without creating a posed appearance. The candid nature of a photograph is unrelated to the subject's knowledge about or consent to the fact that photographs are being taken.

 

Foto candid adalah foto yang diambil tanpa membuat penampilan berpose. Sifat candid sebuah foto tidak terkait dengan pengetahuan subjek tentang atau menyetujui fakta bahwa foto sedang diambil"

Gambar dengan ekspres natural ini yang saya paling sukai dari candid; tidak dibuat-buat, tanpa pose yang direkayasa. 

Dua hal yang saya rasakan.  Pertama, saya jadi terbiasa mengambil dengan teknik ini.  Jadi belajar gesture dari belakang sekaligus belajar sabar menemukan the best moment saat candid.

Demi momen dari belakang, saya sering berada di posisi paling belakang jika bepergian bahkan sempat ketinggalan rombongan gara-gara kebiasaan ini.  😜


Teknik Long Shot

Pengambilan jarak jauh pun dapat menyembukan "wajah" kita.  Biasanya tujuan pengambilan foto dengan teknik pengambilan jarak jauh ini adalah untuk mengangkat landscape sebagai background.

Elemen manusia lebih pada "pelengkap" saja.  


Setelah saya coba, cara ini ampuh "menyembunyikan" wajah sementara kita bisa bersenang-senang dengan beragam gaya.


Bermain dengan Cahaya

Sembunyikan wajah dengan cahaya.  

Over exposure bisa sama baiknya dengan under exposure.  Jikalau fotografi sering disebut sebagai melukis dengan cahaya.  Maka foto dengan cahaya minim, siapa tahu jadi gambar siluet yang keren.  Who knows?

Saya sendiri masih belajar soal pencahayaan ini dan masih banyak "errornya" dibanding tingkat keberhasilan  😩



Detil

Faceless portrait atau potret tanpa wajah menuntut saya untuk mencari Point of Interest (POI) lain; seperti memperhatikan lingkungan, detail, dan komposisi.  

Tanpa komponen itu, hasilnya mungkin terlihat tidak menarik. Karenanya permintaan ini, mendorong saya jadi lebih memperhatikan detil dan menjelajahi setiap kemungkinan yang akan tampil jika ditangkap kamera.

Menutupi wajah dengan benda-benda yang berada dalam keseharian semisal buku, telepon genggam, topi atau bagian tubuh seperti rambut atau telapak tangan.  Sederhana bukan?



Looking Down Capture


Ini masih kelanjutan dari detil di atas.

Hingga kini masih sangat populer untuk ditampilkan dalam gambar.  Perhatikan saja di Instagram terutama akun food dan still life style, akan banyak ditemui konsep look down atau #flatlay.

Mulai dari kondisi jalan yang kita lalui, pasir pantai yang kita pijak hingga memotret lantai dengan desain yang unik.  Bagi saya ini cara lain untuk ikut berbagi 'pemandangan' apa yang kita lihat dari sudut pandang kita sendiri.


Kesimpulan

Fotografi potret wajah tanpa wajah mengajari saya cara bercerita tanpa menggunakan ekspresi.  Cara lain menghargai bagian lain dari diri sendiri dan membuat saya menjadi lebih memperhatikan apakah ada objek menarik di lingkungan sekeliling.  

Saya jadi termotivasi untuk belajar teknik pemotretan dengan sudut pengambilan yang tak biasa.  Berusaha kreatif membuat foto yang "tidak diinginkan" oleh orang yang sebetulnya kita sasar.   Mencari cara merekam momen dan menangkap pesan tanpa ada unsur emosi wajah sebagaimana foto pada umumnya.

Ternyata potret tak berwajah alias faceless photograph ternyata sama istimewanya dengan potret biasa. 😉

Atau Readers punya pengalaman lain?  Ditunggu sharingnya.

Share
Tweet
Pin
Share
2 comments


Assalamu alaikum Readers!

Semoga selalu dalam keadaan sehat di masa pandemi yang menurut statistik, angkanya masih enggan turun.  Malah cenderung naik 😩

Harapan 2021 untuk beraktivitas normal harus direm dahulu.  Pendam kembali keinginan-keinginan jalan-jalan dan sejenisnya.   

Lalu hiburan apa yang bisa dilakukan agar bosan tidak menggunung apalagi matgay alias mati gaya karena ruang gerak yang terbatas karena PSBB; membaca?  Atau nonton?

Padahal udah bosen banget dengan cerita stereo-type ala Hollywood yang "gitu-gitu" aja.  Ingin mencoba nonton drama Korea, tapi kok kesannya cewek banget.  Ceritanya pasti gak bakal jauh dari standar drama percintaan penuh konflik dengan pemeran yang ganteng dan cantik dan ending yang bisa ketebak.  Jadi ilfill duluan 😜

Etapi ternyata ada lho drama Korea yang ceritanya tanpa romance. Kalau toh ada, it is not much! 
Saya sudah nonton 5 drama Korea ini yang rasanya mirip permen Nano-nano itu; tegang, thriller, plot yang twisted, ending susah ditebak, kudu mikir dan [diantara ke-5 ini] ada juga unsur komedinya.

Nah, serial Korea apa saja itu?  Disimak ya!


1.  Prison Playbook

Ini pilihan pertama versi saya.

Dari semenjak lihat trillernya di channel TVN, saya sudah terpikat, "Kayaknya bagus, nih" batin saya.  Ternyata feeling saya nggak meleset!

Ceritanya berpusat pada pitcher kebanggaan Korea yaitu Kim Je-hyeok secara tak terduga mendarat di balik jeruji besi hanya beberapa hari sebelum debut bisbol liga utamanya.  Semenjak kehidupannya jungkir-balik, dia harus belajar menavigasi dunia barunya dengan aturan baru jika dia ingin bertahan.

Pemaparan cerita yang maju-mundur berikut alur flashback banyak diterapkan membuat kita mau tak mau harus menyimak setiap episode.  Walau fokus pada sang pitcher Kim Je Hyuk (Park Hae Soo), pada dasarnya drama ini menceritakan tentang kehidupan orang-orang yang berada dipenjara. Terutama teman-teman 1 sel Kim Je Hyuk.  Bukan sekedar kehidupan di penjara, tetapi untuk beberapa tokoh yang sering muncul akan diperlihatkan pula bagaimana mereka bisa sampai mendekam di jeruji besi tersebut. 


Banyak pesan moral yang disampaikan.  Siapa juga sih yang mau di penjara?   Bisa dikatakan serial ini menjadi pengingat bahwa kehidupan itu tidak selamanya hitam-putih.  Tidak sedikit orang mesti mendekam dalam prodeo karena prinsip hidup yang dijunjung.  Pentingnya lagi bahwa orang-orang yang berada di balik jeruji besi dipenjara pun masih memiliki hati nurani.

Music score yang keren, casting karakter yang pas dengan penjiwaan dari para pemain thus duet ciamik penulis dan sutradara -yang katanya juga menangani Reply The Series- membuat drama bergenre black comedy dengan plot twist di luar dugaan membuat cerita tentang kehidupan di penjara berdurasi 1,5 jam jadi tontonan yang tak jemu.  

By the way, di mana letak komedinya dan twistnya?

Clue aja biar penasaran; ekspresi datar, karakter lugu cenderung bodoh dari Kim Je Hyuk berbanding terbalik dengan manuver-manuvernya untuk tetap survive selama di penjara.  Oiya, drama ini aja juga scene romansa antara Ji Hyuk dengan sang pacar.  Walau demikian tetep ngga menye-menye, kok, hanya sekilas-sekilas saja. Malah hubungan itu merupakan benang merah keseluruhan cerita dan menjadi alasan utama Ji Hyuk untuk bertahan menjalani 12 bulan masa kurungannnya. 


2. Designated Survivor: 60 Days

Ini nominasi yang kedua.

Serial political thriller yang diadaptasi dari serial Hollywood dengan judul yang sama dan dibintangi oleh Kiefer Sutherland.  Saya malah ngga nonton yang versi Hollywood, karena ya itu tadi, bosan dengan aura Hollywod [*sombong!].  

Lebih memilih memandang wajah ganteng 'oppa' Ji Jin Hee [hehehe] adalah alasan utama saya menonton drama dan berujung tanpa penyesalan.  Selain karena dari episode pertama aura suspense diobral tanpa jeda.  Film ini juga menuntut pemirsah untuk 'sedikit' berpikir dan menyimak dialog.  Yah, namanya juga film tentang politik.  Kalau mau ketawa, nonton lawak aja.  Eehh..



Adapun versi Koreanya, cerita berkisar pada ketegangan hubungan Korea Selatan-Utara, terorisme dan 'kepanikan' situasi politik saat orang nomor 1 negara itu menjadi salah satu korban teror dan memutar-balikkan kehidupan seorang dosen bersahaja Park Moo Jin (Ji Jin Hee) menjadi pemegang tampuk kekuasaan.

Dari sini konflik dimulai, adegan demi adegan yang sukses mengaduk emosi penonton. Mulai dari sedih, tegang, hingga geregetan!  Anyway, bukan drama Korea namanya kalau flat ajah 😁
Setiap episode sengaja dibuat menggantung, menyisakan tanya.  Siapa yang pendukung atau musuh sang Presiden baru, apakah tewasnya Presiden yang sebelumnya karrna faktor kesengajaan?  Apakah peristiwa tersebut didalangi oleh orang dalam?  

Serial ini juga menerapkan twist plot walau tidak sebanyak Prison Playbook.  Castingnya juga pas.  Setiap karakter dibawakan pas oleh masing-masing pemain yang notabene pelakon pilihan papan atas.  Semuanya membuat Designation Survivor buat saya adalah tontonan TV ini serasa film bioskop.  Efek animasi saat Gedung Parlement dibumi hanguskan juga keren, lho, mengingat ini "cuma" serial drama.

Belum ada kejelasan apakah serial ini akan dibuat season kedua dan ketiga seperti original versionnya di Amerika sana.

3. Vagabond

Masih tentang politik, yang ini dibalut dengan melodrama, thriller, suspense, bahkan romance. Karena itu, nonton KDrama ini bisa mengaduk emosi banget. Dari terharu hingga memacu adrenalin.  Multilapis deh!

Bermula dari rasa penasaran akan jatuhnya pesawat terbang yang menewaskan sang keponakan, seorang stuntman (diperankan oleh Lee Seung-Gi) malah terseret dalam konspirasi tingkat tinggi yang melibatkan pejabat pemerintahan.  Dalam prosesnya, Cha Dal Gun yang diperankan oleh Seung-Gi menjadi terlibat dengan agen nasional Go Hae Ri (Suzy Bae).   The connection sparks without exaggerated scenes about it, pemirsaah!  Me like it.




Dan jika Readers penyuka film aksi, Vagabond akan jadi pilihan yang sempurna.  

Banyak adegan action yang kece badai jelas menjadi salah satu pesona KDrama Vagabond.  Mulai dari bertarung dengan tangan kosong, menembak, hingga adegan pengejaran di atas atap gedung. Semuanya dieksekusi dengan baik dan tentu saja menarik.  Melihat Lee Seung-Gi di sini membawakan sendiri adegan aksi tersebut tanpa pemeran pengganti, berasa dia mirip Tom Cruise di Mission Impossible [lebhay!! 😂]

Mirip dengan Designated Survivor, serial ini pun dipadati oleh aktor dan aktris papan atas Negeri Ginseng.  Ditambah dengan sinematografi yang keren a'la suguhan layar lebar, Vagabond merupakan salah satu drama seri "rasa" bioskop versi saya.  Sebagian lokasi shooting bertempat di Maroko dan Portugal pun jadi "bonus" jalan-jalan virtual.  Buatku jadi tambah pengen ke Maroko, hiks! 


4. Innocent Defendants

Bayangkan; terbangun dan mendapati diri berada dalam penjara dengan tanpa bisa mengingat kejadian yang telah menimpanya. Tuduhannya?  Membunuh anak dan istri sendiri.

Upaya menggali lagi ingatan itulah yang menjadi kisah dalam serial bergenre thriller [lagi-lagi thriller, ya?] yang saya tempatkan di posisi ke empat.

Alur cerita?  So pasti, kombinasi kilas balik dan present-time.

Dari awal, aura ketegangan sudah langsung dihembuskan.  Terus berlanjut sampai akhir dengan plot twisted di luar dugaan. 

Ditambah dengan adanya sosok kembar yang dimainkan secara ketjeh badai oleh Uhm Ki-joon yang pas banget memerankan karakter "creepy".  Sense psikopatnya dapet sampe kayak beneran!  hiyy.

Sepadan dengan akting Seong Ji/Ji Sun, tokoh Jaksa yang sempet dianggap hilang ingatan karena kasus yang dialaminya.  Walau begitu, tidak 18 episode "serius" semua kok.  Suasana tegang dalam serial ini agak dicairkan dengan selingan kehidupan penghuni penjara yang kocak.  Walau tak sekocak Prison Playbook.

Saya sih kagum dengan kemampuan sang penulis cerita, "Kok kepikiran ya, buat cerita keren begini?"  Drama tapi tidak menye-menye hehehe.


5. Nine: 9 Times Time Travel

Terakhir.

Bukan thriller maupun action.  Melainkan tentang time traveller.  So pasti fiksi abis, tepatnya ini adalah serial science fiction.   Termasuk KDrama yang "jadul", dirilis 2013 dan sayangnya under-rated.



Park Sun Woo (Lee Jin Wook) adalah pembawa berita yang menemukan sembilan dupa ajaib dalam perjalanan ke Nepal.  

Setiap dupa memberinya sembilan kesempatan untuk melakukan perjalanan ke masa lalu dan dia pergunakan untuk membuka misteri kematian saudaranya.  

Ketegangan dalam drama ini terbangun karena aturan unik perjalanan waktu ke masa lalu dengan menggunakan media dupa; sebagai upaya agar Park Sun Woo dapat kembali lagi ke masa kini.  



Itulah serial Drama Korea yang zonder romance versi saya.  Ada yang sudah Readers tonton juga?


Share
Tweet
Pin
Share
12 comments


*disclaimer: foto-foto dalam tulisan ini diambil sebelum masa Pandemic.*

Sudah tahun 2021.
Tepatnya hari ke-9 bulan pertama tahun 2021.
Saya tidak akan bertanya apakah ada resolusi baru di tahun ini.  
Deep inside I just know we have same wishes; blessing with healthiness.
Harapun kita pun demikian; ingin agar semuanya berlalu dan kembali ke seperti sebelum pandemic menghajar dunia.

2020 was surely a turning-point for all of us.  
For the universe, as a matter of fact.
Sang Pemilik Jagat membuktikan jika DIA tak terbantahkan.
Manusia sekali lagi dibuat takluk pada mahluk yang bahkan kita sendiri tak bisa melihatnya dengan mata telanjang; virus!
Jadi, apa yang mau kita sombongkan?

Makanya dari pada bersombong diri, mari kita rendahkan hati.  Sambil berdoa agar vaksin cepat didistribusikan dengan baik ke seluruh anak negeri.  Ngga pake dikorup oleh oknum yang tak punya nurani.  Supaya negeri ini berseri kembali.

Berseri dan sumringah seperti saya yang hanya bisa mupeng sambil lihat lagi foto-foto lalu.   Waktu dimana masih bisa keluyuran tanpa masker.  Menikmati suasana Taman Sempur Bogor [dan sekitarnya] semasa akhir pekan yang ramai sekaligus seru.

Tempat latihan baris-berbaris anak-anak sekolah

Dari sekian banyak taman publik di Bogor yang bisa diakses gratis, Taman Sempur adalah yang terfavorit.  Selain lokasinya yang bersisian dengan Kebon Raya Bogor nan sejuk, taman ini pun difasilitasi dengan arena bermain dan olah-raga seperti lapangan basket, taman ini memiliki area rumput hijau seluas kurang lebih 100 meter x 65 meter di tengah taman juga menjadi daya tarik tersendiri.





Area Taman Kaulinan
Tersedia wahana bermain untuk anak seperti permainan ular tangga, perosotan, dan jaring-jaring.




Setelah direvitalisasi tahun 2018 lalu, tampilan Taman Sempur ini jadi lebih cantik.  Meskipun tidak banyak perubahan yang terjadi, hanya memperbaiki jogging track yang berada melingkari lapangan hijau. Yang awalnya menggunakan batu kerikil kini berganti dengan bahan rubber sintetik berwarna biru.

Faktor tambahan lain yang menurut saya membuat Taman Sempur ini membuat hati sulit berpaling adalah aneka macam tukang jajanan yang kehadirannya tak bisa diabaikan, hahaha!

Ada banyak jenis makanan yang bisa dicicip di Taman Sempur.  Mulai dari menu standar sarapan paginya sejuta umat Indonesia, yak bubur ayam!  Ketoprak, Batagor, Lumpia Basah atau biasa disingkat Lumbas, Soto Mie, hingga olahan makanan kekinian seperti sosis bakar.










Semoga saja badai covid segera berlalu dan kita bisa icip-icip lagi makanan di Taman Sempur.  Karena kusudah merindu aktvitas seru akhir pekan di Taman Sempur.  (baca: jajanan!) 😁


PS: harap maklum, tulisan ini dibuat dalam kondisi halu efek Covid yang panjang.


Share
Tweet
Pin
Share
12 comments



Assalamu alaikum Readers!

Yes, I'm back (again).  Setelah libur update blog semenjak bulan September, here I am now dengan postingan fotografi persisnya tentang editing.

Mengapa editing?

Bisa jadi ini merupakan akibat dari belakangan sering ngedit foto, jadinya terpikir untuk sharing pengalaman tentang foto editing.

Mulanya saya berpikir foto ciamik merupakan hasil jepretan paripurna seorang fotografer; kombinasi prima antara kemampuan teknis si pemotret, penguasaan atas kamera dan kualitas kamera itu sendiri.  Fotografer atur settingan kamera, jepret langsung jadi deh foto keren.

Ternyata ada hal lain yang luput dari radar saya yaitu proses editing.  Ada proses editing walau sedikit.  Diibarakant manusia; sudah cantik semacam Raisa atau Sofia Latjuba, masih perlu bubuhi make-up walau tipis.  

Secara bahasa, edit bisa berarti merubah, memodifikasi.  Artinya foto yang kita lihat sebagai hasil akhir, bisa jadi bukan jepretan orisinil dan sudah ada "campur-tangan" editing.

Jadi, edit foto itu diijinkan?  Jawabnya adalah IYESS!

Hasil menggali ilmu di beberapa workshop fotografi yang saya ikuti, para narsum selalu menyampaikan materi tentang editing selain tentang teori fotografi.  Masing-masing mempunyai aplikasi favorit berikut teknik editing yang dikuasai di mana hasilnya menjadi ciri khas karya mereka.

Sesungguhnya, apakah yang dimaksud dengan proses editing? 

Pengertian mudah untuk editing  adalah "memperbaiki kesalahan" eksposur dasar (ISO-Aperture-Shutter) yang luput kita lakukan dengan benar di kamera.  Dengan kata lain, editing merupakan proses perbaikan setelah "proses" pemotretan, maka lazim juga dikenal sebagai post-editing.

Semacam touch up make-up gitulah.


Editing dengan VSCO photo editor

Yang harus sering-sering ditanamkan dalam benak bahwasanya post-processing bukanlah pengganti kerja kamera yang bagus, meskipun kadang dapat meningkatkan hasil kinerja kamera. 

Bahkan seorang Darwis Triadi pun mengingatkan "Saat memotret, jangan berpikir untuk mengedit foto karena setiap operational system aplikasi editing itu tiada bedanya.  Jika bergantung pada aplikasi editing, foto yang dihasilkan tidak akan punya ciri khas."

  1. Lihat perbedaan antara gambar yang over expossed dan under expossed.  Lalu putuskan seperti apa tingkat exposure yang benar (atau diinginkan).
  2. Pahami white balance di mana warna putih terlihat putih, sebagaimana mestinya.  Bukan kuning atau biru atau oranye.
  3. Lihat kontras antara gelap dan terang.
  4. Perhatikan level of noise

Pasca-pemrosesan pada akhirnya merupakan pilihan pribadi.  For the shake of simplicity, biasanya setting editing ini dibikin standar.  Setiap kali buka aplikasi editingnya, by default sudah siap pakai.    Tak jarang jadi elemen yang mendasar dari gaya pribadi "editing" seseorang.  Atau biasa disebut preset.  

Terlebih jika Anda penggiat Instagram, I believe you know what I'm talking about 😊

Salah satu faktor akun IG seseorang disenangi banyak orang adalah jika feed-nya rapih, hasil jepretannya baik.  Plus -ini gak wajib walau nice to have- theme yang senada.  Theme yang memanjakan mata biasanya dicari orang.  Dan bagi yang nggak mau ribet ngedit or even oprek-oprek edit aps, opsinya adalah beli present.  Hal itu membuat preset jadi ladang bisnis yang menjanjikan.

Saya sendiri punya kecenderungan akan tone tertentu namun tidak ngoyo.  Dalam artian lebih menyukai hasil jepretan sebagaimana aslinya.  Hingga sekarang masih setia dengan pakem, ngedit seperlunya aja.  Seperti naikin or turunin brightness.

However, there is no Wright or Wrong in creativity.
Rute apa pun yang Anda ambil hanyalah bagian dari gaya pribadi Anda, bagian dari tumbuh-kembang kita dalam berkarya.

Selamat motret!



Share
Tweet
Pin
Share
2 comments



Mirip dua sisi mata uang, dibalik "happiness" sebuah perjalanan, ada hal-hal yang kurang tidak menyenangkan.  6 hal kehilangan yang saya rasakan dan sukses bikin kangen saat meninggalkan rumah.


1. Family Time

Wajar banget jika saya tulis ini di nomor urut satu.  Terbiasa bepergian berempat [baca paksu + 2 anak], rasanya dunia hampa jika terpaksa solo travelling.  Hallagh!  Cara saya mengatasi rasa kangen pada mereka, saya kupas tuntas di sini.


2. Favorite Food

Dimulai dari hal yang paling mudah; makanan halal.  Iyep, bener banget.  Jangan bahas soal menu atau rasa karena jika sudah kepepet, dua hal tadi jadi less priority , siiist.

Ketidaktahuan kadang menyesatkan.  Termasuk ketidakpahaman akan makanan daerah yang kita kunjungi.  Padahal tak jarang kuliner adalah pemicu utama keinginan mengunjungi suatu tempat.  Bagi saya yang seneng icip-icip kuliner lokal di tempat jajanan kaki lima, faktor ini jadi pe-er besar.

Nemu makanan halal ditengah rasa lapar yang mendera plus ketidakpahaman akan lokasi di mana kita berada saja sudah jadi stressor tersendiri yang harus di-manage.  

Tak jarang saya mengalami kejadian yang membayangkannya saja gak pernah!.

Mengabaikan etika plus malu sesudah memutuskan untuk hengkang di salah satu restoran Kota Hanoi saat lihat menu yang disajikan ternyata didominasi olahan "sapi kaki pendek" padahal sudah duduk manis dan ready to order, pernah saya lakukan.

Baca juga Bangkok Street Food; Eat Like Local

Sempet emosi di Singapura karena dihela -tepatnya diusir- oleh seorang pria yang jika ditilik dari pakaiannya menandakan dia seorang koki.  Padahal alasan saya melangkah masuk ke sana karena melihat seorang wanita muda berhijab [mungkin pelayannya?] sedang membereskan etalase tokonya yang berisi aneka menu layaknya yang banyak dijual di restoran Melayu.

Apakah si chef tadi bermaksud memberitahu bahwa makanan yang dijualnya tidak halal namun cara dia memberitahukannya dengan gesture yang tidak elegan?  Wallahu alam.

Lain halnya pengalaman di Philipina.

Keliling bolak-balik di salah satu mall di Manila demi mencari makanan halal padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 malam waktu setempat pun dijabanin.  Akhirnya menyerah pada ayam goreng Sang Kolonel janggut putih berkacamata jua.  Baca basmallah.

Sempet syedih hati di Korea.

Cuma bisa nonton aneka macam street food saat kluyuran malam di Myeong-Dong .  Padahal semua penampakannya menggiurkan, sayangnya timbul perasaan ragu untuk mencoba.  Bersandar pada ajaran yang mengatakan kalau ragu lebih baik tinggalkan, alih-alih jajan saya sibukkan diri memotret riuhnya penjaja kuliner kaki lima ala Negeri Ginseng.  Itupun sambil nelan ludah berkali-kali 😂!!


Baca juga My Korean Food Adventure

Etapi perjalanan di negeri sendiri pun bukan berarti tak pasang mata-telinga lho ya, khususnya saat berkunjung di daerah dengan penduduk minoritas muslim.    Contohnya saat ke Bali.  Berangkat dari rasa penasaran, saya sempat bertanya pada supir taksi bagaimana caranya membedakan rumah makan yang halal dengan non-halal.  

Begini jawabnya; "Biasanya warung makan yang pakai tulisan Jawa Timur atau Malang itu bisa dimakan [maksudnya halal], Bu."

"Tukang bakso gerobak yang ada Jawa Timurnya  itu juga boleh.  Kalau ngga ada tulisan Jawanya, jangan dibeli, Bu"  imbuhnya lagi.  Kenapa mesti Jawa Timur?  Karena notabene banyak pendatang berasal dari daerah tersebut yang mencari nafkah di Pulau Dewata.

Singkatnya pasang radar baik-baik di mana pun kaki melangkah.


3. Suara Azan

Harus saya akui, acap kali mendengar azan berkumandang, yang terlintas adalah waktu kok cepet banget berlalu.  Bagi muslim, suara azan adalah panggilan untuk salat lima waktu.  Selain tanda tibanya salat lima waktu, buat saya, azan adalah penanda waktu yang ampuh.  Tanpa melihat jam, saya bisa mengira-ngira waktu.  Ngga mesti persis namun tak meleset jauh.

Lain cerita saat berada di daerah yang minim atau tak terpapar suara azan.  Apalagi jika beda zona waktu pulak.  Matahari masih kelihatan, anehnya mata sudah sepet dan berkali tak kuasa menguap kantuk.  Pas lihat jam, lhoo, kok sudah malam.  Pantes ngantuk 😮

Cerita tentang azan, saya pernah pergi ke daerah Indonesia bagian Timur.  Rasanya baru tidur sebentar, ehh sudah terdengar azan.  Melirik jendela kamar yang gordennya sengaja tak ditutup rapat, di luar masih menyisakan gelap.  Cek penunjuk waktu di telepon genggam, tinggal beberapa menit menuju pukul 4 pagi!  Saya lupa kalau di sini waktu Subuhnya lebih cepat hehehe.

Seringnya saat berada di tempat yang minim [atau gak ada mesjid], tak mendengar suara azan jadi satu kerinduan tersendiri.

Something is missing.


4. Tempat Beribadah

Kehilangan lain yang saya rasakan saat traveling bisa dibilang terkait #3 .  Kalau dengar azan dipastikan dikumandangkan dari tempat ibadahnya.  Dan berburu tempat ibadah pun sama serunya dengan mencari makanan halal.  Maka bisa dipahami jika ada lokasi yang bisa menyatukan dua hal tersebut menjadi sasaran destinasi wisatawan muslim.

Limitasi akses pada tempat beribadah mendorong saya untuk mempelajari tata-cara ibadah sebagai pejalan berdasarkan keyakinan yang saya anut.  Minimal jadi paham dan praktek langsung bagaimana tayamum dan salat di atas kendaraan yang sedan melaju.

Pengalaman yang tak terlupakan adalah saat melaksanan salat subuh di atas pesawat.  Yang biasanya mendirikan salat usai mendengar azan, waktu itu saya melakukannya berdasarkan intensitas sinar matahari.  Saat semburat kuning tampil mencolok di gelapnya langit, teman seperjalanan lantas melakukan tayamum; tanda waktu Subuh telah tiba.

Usai melaksanakan salat wajib dua rakaat dalam kondisi duduk.  Saya pusatkan kesadaran menatap titik kuning keemasan yang semakin lama semakin luas pancaran sinarnya hingga tirai malam yang pekat berganti benderang.  

Suatu proses pergantian dari malam ke siang yang luar biasa yang sayang untuk dilewatkan.  Tidak setiap waktu mendapatkan fenomena alam seperti ini, di atas angkasa pula!


5. Guling

Kehilangan selanjutnya jika saya traveling adalah *drum roll* ... GULING.

Iya, guling!

Konon -di seantero jagad ini- hanya penduduk Indonesia yang punya kebiasaan tidur memakai guling sebagai salah satu perlengkapan tidurnya.  Kalau benar adanya maka ini bisa jadi ke-Unik-an kita.  

Dan saya termasuk wong endonesah yang sulit tidur tanpa guling plus bukan tipe pelor alias nempel molor.  Terlebih jika bermalam di tempat baru.  Retjeh ya?  Tapi itulah faktanya.

So, walau saya menikmati bepergian, saat tidur perasaan senang tadi berubah menjadi double trouble; adaptasi kamar tidu dulu plus tak ada guling.  Alhasil jadi bikin mata melotot beberapa saat sebelum jatuh tidur walaupun ngantuk warbiyasak!

Jadi manakala menginap di Ibis Manado dan menemukan guling terbujur manis di sandaran tempat tidur; it was like YIPPEEEAAAYY!  

Kamar hotel Ibis Manado


6. Bahasa [Ibu]

Pernah gak mengalami keterasingan padahal Anda berada dalam keramaian?  Lalu panik karena tidak mengerti not even single word of what people around are saying?

Atau mendadak berasa bego, lemah otak, tidak bisa mengingat lagi vocabulary pelajaran bahasa Inggris yang sudah kita pelajari dari semenjak bangku sekolah dasar?  

Kalau jawabnya PERNAH, maka Anda paham betapa nikmatnya berkomunikasi dalam bahasa ibu.  Sepandai-pandainya menguasai bahasa asing, ada satu tempo di mana otak akan tidak kompak dengan mulut.  Buat saya, artinya stamina berpikir sudah di titik terendah.  Biasanya dialami jika sedang training atau rapat dengan orang asing dalam hitungan lebih dari sehari.  

Bayangkan saja, mau ngomong sesuatu; kita harus mikir "ini vocabnya apa ya?"  Pakai grammar ala sekolahan kadang malah gak sampai isi pesan yang disampaikan.  Kalaupun lawan bicara paham, kita harus menyimak every word they said.  Ada proses berpikir lagi dalam otak, menerjemahkan maksud si orang tersebut.  Terlebih jika mereka memiliki aksen yang "unik".  Walau kuping serasa udah dibuka selebar-lebarnya, tetap aja donk ga paham apa yang mereka ucapkan.  Hampir seminggu siang-malam komunikasi seperti ini, alhasil lelah otak haha.  Kepala makin panas rasanya jika trainingnya serius atau meetingnya alot!

So, dibalik berkah dapat kesempatan ke luar negeri dibayarin kantor, harus dibayar dengan kram otak gegara bahasa.  Paling apes, jika pergi sendirian, gak ada kawan seperjalanan dari kantor.  Alhasil manyun sendirian selama perjalanan.  Pe-er tambahan jika negara yang dikunjungi, penduduk lokalnya juga tidak memakai Bahasa Inggris sebagai bahasa utama.  

Namun dari beberapa kali perjalanan saya ke tanah asing, [kendala?] bahasa ini lebih banyak menjadi bahan cerita yang bikin ketawa dibanding kisah sedih atau seram.  Ihh, semoga tidak deh!



Kesimpulan saya jika kita pergi sejenak dari rutinias, the missing of absence can't be denied.  Ternyata ada hal-hal yang kita rasa hilang dari keseharian.

At the same time, "The missing of absence" membuat saya belajar mensyukuri kemudahan yang sehari-hari diperoleh.  Saking mudahnya saya cenderung -atau bahkan?- take it for granted.  

Saya jadi belajar memahami perbedaan. Selama hal tersebut tidak menjadi gangguan yang berarti, tidak prinsip, so leave it as it is.  Don't sweat our life with small stuff juga 'kan?

Mensyukuri diberikan kesempatan untuk sesekali merasakan artinya menjadi minoritas atau merasa "terasing".   Karena ternyata dari sanalah tumbuh rasa untuk simpati, bahkan empati juga rindu.

Sekarang saya jadi bisa mencerna makna ayat dari kitab agama yang saya yakini;

"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.[QS 49:13]

---

Tulisan yang dibuat karena rasa kangen akan jalan-jalan ke tempat baru.  Semoga covid segera berlalu.
Share
Tweet
Pin
Share
22 comments
Older Posts

Who Am I



Welcome!

Momblogger | Project Management Professional | Blogging for pleasures | Capture things with camera | Reading to feed minds | Travel for enriching soul | Coffee mood booster |
Colaboration: ratna.amalia.p@gmail.com

Follow Me


          

recent posts

Popular Posts

  • 5 Mie Ayam Enak di Bogor
  • Serunya Wisata Satu Hari di Cirebon
  • Paralayang; Uji Nyali di Puncak Kebun Teh

Blog Archive

  • ▼  2021 (5)
    • ▼  February 2021 (1)
      • Alasan Tidak Beralih Ke Ebook
    • ►  January 2021 (4)
  • ►  2020 (7)
    • ►  December 2020 (2)
    • ►  October 2020 (1)
    • ►  April 2020 (2)
    • ►  March 2020 (1)
    • ►  January 2020 (1)
  • ►  2019 (17)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  October 2019 (2)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  July 2019 (1)
    • ►  May 2019 (2)
    • ►  March 2019 (5)
    • ►  February 2019 (1)
    • ►  January 2019 (4)
  • ►  2018 (25)
    • ►  December 2018 (4)
    • ►  November 2018 (4)
    • ►  October 2018 (3)
    • ►  August 2018 (2)
    • ►  July 2018 (5)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  March 2018 (1)
    • ►  February 2018 (2)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (18)
    • ►  December 2017 (5)
    • ►  November 2017 (3)
    • ►  October 2017 (1)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  August 2017 (3)
    • ►  June 2017 (1)
    • ►  April 2017 (1)
    • ►  February 2017 (1)
    • ►  January 2017 (1)
  • ►  2016 (37)
    • ►  December 2016 (1)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (4)
    • ►  May 2016 (2)
    • ►  April 2016 (9)
    • ►  March 2016 (8)
    • ►  February 2016 (3)
    • ►  January 2016 (6)
  • ►  2015 (75)
    • ►  December 2015 (2)
    • ►  November 2015 (7)
    • ►  October 2015 (3)
    • ►  September 2015 (6)
    • ►  August 2015 (5)
    • ►  July 2015 (19)
    • ►  June 2015 (4)
    • ►  May 2015 (3)
    • ►  April 2015 (7)
    • ►  March 2015 (5)
    • ►  February 2015 (9)
    • ►  January 2015 (5)
  • ►  2014 (39)
    • ►  December 2014 (2)
    • ►  November 2014 (1)
    • ►  October 2014 (2)
    • ►  September 2014 (4)
    • ►  August 2014 (5)
    • ►  July 2014 (2)
    • ►  June 2014 (3)
    • ►  May 2014 (4)
    • ►  April 2014 (2)
    • ►  March 2014 (2)
    • ►  February 2014 (5)
    • ►  January 2014 (7)
  • ►  2013 (36)
    • ►  December 2013 (5)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (5)
    • ►  August 2013 (1)
    • ►  June 2013 (1)
    • ►  May 2013 (4)
    • ►  April 2013 (6)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (2)
  • ►  2012 (28)
    • ►  December 2012 (2)
    • ►  November 2012 (3)
    • ►  October 2012 (3)
    • ►  September 2012 (4)
    • ►  August 2012 (4)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  May 2012 (1)
    • ►  April 2012 (1)
    • ►  March 2012 (1)
    • ►  February 2012 (1)
    • ►  January 2012 (3)
  • ►  2011 (29)
    • ►  December 2011 (2)
    • ►  November 2011 (3)
    • ►  October 2011 (1)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  August 2011 (4)
    • ►  July 2011 (2)
    • ►  June 2011 (5)
    • ►  May 2011 (1)
    • ►  April 2011 (4)
    • ►  March 2011 (3)
    • ►  January 2011 (3)
  • ►  2010 (2)
    • ►  December 2010 (1)
    • ►  June 2010 (1)
Blogger Perempuan

ID Corners

Created with by BeautyTemplates