#ProjectSunlight : Masa Depan Sehat Anak Indonesia
Setelah berkesempatan mengunjungi beberapa kota besar di
luar Indonesia, saya menyimpulkan bahwa yang membuat negeri kita kelihatan
“terbelakang” adalah masalah kebersihannya.
Ngga usah jauh-jauh. Dengan
sesama negara pentolan ASEAN lainnya seperti Singapura, dibandingkang dengan
Negeri Jiran saja, Indonesia masih kalah jauh.
Ibu kota negara-negara yang disebut tadi boleh sama macet dan ramainya
dengan Jakarta. Mall di Indonesia tidak
kalah mewah dengan mall di Singapura dan Malaysia. Tapi jangan bandingkan soal kebersihannya
ya.
Tapi negara-negar tetangga tersebut ternyata punya
perjalanan panjang hingga mencapai tingkat kebersihan seperti sekarang
ini. Singapura sendiri butuh waktu lebih
dari tiga puluh tahun untuk bertransformasi dari “negera dunia ketiga” menjadi
“island-state” seperti sekarang ini.
Pemerintahan Lee
Kwan Yew dahulu sudah mencanangkan integrated
programmes dari semenjak tahun 1960.
Wow ! Ternyata, semuanya pake
proses, ngga ada tuh jurus bikin perahu Sangkuriang semalam alias simsalabim. Singapura juga pernah mengalami situasi di
mana penduduknya tidak peduli dengan sanitasi.
Dengan pemerintah yang tegas dalam menegakkan peraturan dan sosialisasi yang baik, perlahan pasti terjadi perubahan yang terefleksikan dari sikap
warganya; tertib dan disiplin termasuk dalam hal kebersihan. Tidak heran jika hal tersebut menempatkan
Singapura termasuk dalam kategori kota terbersih di dunia *hasil googling.
Credit of http://www.merdeka.com/foto/jakarta/16804/anak-anak-bermain-sampah-di-muara-angke-003-arie-basuki.html |
Tidak heran jika salah satu ajaran yang ditanamkan orang tua
saya adalah kebersihan. Jaman saya kecil
dulu, walaupun sudah meringkuk di tempat tidur tapi ketahuan belum sikat gigi
plus cuci kaki dan tangan, maka tiada ampun harus bangun lagi untuk masuk kamar
mandi untuk melakukannya ! Wajib pula hukumnya
mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.
Bentuk “pemaksaan” yang tadinya serasa siksaan, lambat laun berubah
menjadi kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan hingga kini. Selarut apapun itu, bagaimanapun ngantuknya;
kalo ga bersih, saya pasti melakukannya daripada tidak bisa tidur ! Sekarang kebiasaan itu saya terapkan pada anak-anak. Check
list saya setiap malam pada mereka adalah; “Sudah shalat Isya ? Sudah sikat gigi ? Sudah cuci-cuci ?” Cerewet ya…tapi kalo ngga cerewet, bukan
ibu-ibu donk ^_^
Harus diakui, bukan hal yang mudah karena ibu-ibu juga
manusia; ada keselnya, ada bosannya.
Masak iya sih, tiap malam harus diingetin terus ? Tapi saya berkaca pada pengalaman sendiri. Hal yang sama dulu dilakukan tiada henti oleh
orang tua saya. Memang perlu waktu untuk
melihat hasilnya. Tapi, ada tapinya
nih. Anak-anak jadi picky termasuk dalah hal kamar mandi. Perkara ke toilet umum bisa jadi perkara
terutama jika toiletnya tidak bersih. Di
suatu pusat perbelanjaan, Adek Ganteng pernah tidak jadi buang air kecil, “Di
dinding kamar mandinya ada yang item-item,
Mah. Aku jijik”. Segitunya ?! Alhasil, kebersihan kamar mandi pun jadi
pertimbangan kami dalam memilih shopping mall.
Ga Cuma toko yang akan dikunjungi atau tempat makan yang dituju. Dengan kesadaran akan kebersihan yang kita
miliki saat ini, seolah-olah kita seperti tidak punya standar kebersihan yang
sama. Sayang sekali ya ?
Sama seperti dengan lebih dari 40 juta orang Indonesia yang memiliki
akses minim akan sumber air bersih. Dan
lebih dari 110 juta penduduk tidak memiliki akses untuk sanitasi yang baik
. Dengan hanya 2% akses untuk sistem
pembuangan air dan kotoran di area perkotaan, ini adalah salah satu yang
terendah di dunia dan di antara negara berpenghasilan menengah. Saya jadi ingat dengan salah satu PRT yang
pernah bekerja pada kami dulu, Bi Juju, namanya. Salah satu yang membuatnya betah kerja di
rumah kami adalah kemudahan mendapatkan air.
”Tinggal muter keran, airnya keluar, Bu.
Kalo di kampung Bibi, mah, upami
bade ka cai keudah papah heula
satengah jam”*. Demikian yang
kuingat akan ceritanya. Berarti Bi Jujuku
itu termasuk dalam kategori-kategori yang dimaksud di atas.
*…jika mau ke kamar mandi, harus jalan kaki dulu selama
setengah jam.
Ga kebayang ‘kan; mau mandi atau membuang hajat tapi harus
menempuh perjalanan selama kurang lebih 30 menit. Keburu ngompol duluan deh ! Alhasil untuk menyiasati hal tersebut,
sebagai antisipasi si Bi Juju akan membawa pulang beberapa ember air yang
disimpan di tempat semacam tempayan untuk menampung air di rumah. Bagaimana bisa mempunyai MCK yang memadai
jika saluran airpun taka ada ? Akibatnya
area di belakang rumah pun dipakai sebagai tempat sanitasi. What unhealthy condition. Padahal kampung si Bibi tidak jauh dari
tempat pariwisata Lido, Sukabumi. Bukan
tempat terpencil di pelosok Indonesia ini.
Namun begitulah kenyataannya.
Artinya,
keluarga si Bibiku ini termasuk dalam 63 juta orang yang buang air tidak pada tempatnya yang mana 46%
rumah tangganya belum memiliki fasilitas jamban yang memadai jika merujuk catatan
dari Joint Monitoring WHO/UNICEF (2010).
Walaupun tidak jauh dari kota, Bibi dan keluarganya termasuk masyarakat
dengan praktek kebersihan yang buruk yang pada akhirnya menciptakan kondisi
yang tidak sehat. Penyakit-penyakit
terkait dengan masalah ini meliputi disentri, kolera dan penyakit diare lainnya, tipus,
hepatitis, leptospirosis, malaria, demam berdarah, kudis, penyakit pernapasan
kronis dan infeksi parasit usus. Tidak heran,
kami akan dioleh-olehi cerita akan cerita anaknya yang sakit sekembalinya Bi
Juju menengok anaknya sehabis bulan. Bulan
lalu anak keduanya sakit panas. Lain
waktu, kaki anak ketiganya bengkak karena penyakit kulit yang tidak berkesudahan. Bagaimana mau sehat jika lingkungannya tidak
bersih ? Jangankan untuk mandi, sekedar air
untuk mencuci tangan sebelum makan saja sulit ?
Hal-hal
tersebut adalah realita di depan mata yang tidak bisa diindahkan. Kenyataan yang semakin membuka mata dan
menyadarkan kami betapa pentingnya kebersihan.
Jangankan penduduk Indonesia yang belum terjangkau oleh
pembangunan. Berjalan beberapa kilometer
dari pusat kota ibu kota saja, atau bahkan dalam komunitas kumuh di pusat
perkotaan saja, bisa kita temukan kondisi seperti itu. Kesehatan adalah dasar dari manusia-manusia
yang sehat, asset negara membangun negeri ini.
Tidak salah jika sanitasi masuk menjadi salah satu agenda Millenium
Development Goals atau Pembangunan Milenium Indonesia; ditargetkan pada tahun
2015, 62,41% sanitasi layak terpenuhi.
Bukan hal yang mudah namun bukannya tidak mungkin.
First Learn, Then Remove “L”
Unilever
sebagai The 3rd world’s consumer good besides P&G dan Nestlé menyokong
penuh target tersebut. Saya yang tumbuh
besar bersama Lifebuoy dan Pepsodent, belakangan baru tahu setelah membaca
advertorial di salah satu media cetak nasional bahwa Unilever yang beroperasi
di tahun 1933, sebelum Indonesia merdeka ini; punya program yang dinamakan
Sustainable Living Plan. Setelah saya
cermati, ternyata Unilever Sustainable Living Plan (USLP) ini adalah CSR atau
Corporate Social Responsibility-nya Unilever yang dilakukan secara global.
Secara
bisnis, Unilever berambisi untuk meningkatkan keuntungannya. Catet ya, laba bersihnya di tahun 2013 aja, mencapai
Rp 30,8 triliun, ada peningkatan 12,7% dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan
laba bersihnya tumbuh 10,6% menjadi lebih dari Rp 5.35 triliun. Ga heran, saham PT. Unilever Indonesia
termasuk dalam blue chip(preferred stock)
nya Bursa Saham Indonesia dan diakui sebagai a leading market untuk jenis industrinya di Indonesia.
Di
sisi lain, Unilever menyadari tanpa dukungan dari masyarakat Indonesia yang
notabene adalah konsumennya, maka target akan meningkatkan keuntungan tadi
tidak akan tercapai. Unilever juga
menyadari, untuk mendapatkan konsumen yang cerdas, maka langkah pertama yang
harus dilakukan adalah mencerdaskan konsumennya terlebih dahulu. Konsumen-konsumen yang cerdas akan memilih
produk-produk Unilever untuk kebutuhannya atau bahkan menunjang gaya
hidupnya. Seperti kita tahu, varian
produk Unilever sangalah luas mulai dari produk kebersihan personal seperti
sabun mandi, shampoo dan pasta gigi hingga urusan perut; sebut saja kecap
Bango, bumbu masak Royco sampai Buavita.
Khusus penikmat ice cream dan suka nongkrong di kafe, ga mungkin ga tahu
yang namanya Caffee Magnum. Saking mesranya
produk-produk tersebut dalam keseharian, kita cenderung menyebut nama merek untuk menggantikan jenis
produk.
“Rinsonya
mana ?” padahal judul sabun pencuci baju
ga cuma Rinso.
“Molto-in
dulu dong bajunya, biar gampang disetrika, wangi lagi !" Padahal ada banyak pelicin dan pewangi pakaian selain Molto.
Dalam
bisnis, kedekatan psikologis semacam ini adalah asset. Asset artinya modal positif. Sejalan dengan ambisi USLP di mana ingin
meningkatkan bisnisnya dan di saat yang bersamaan menekan dampak negatif dari
bisnisnya tersebut. Malah berkeinginan meningkatkan
manfaat yang diciptakan untuk masyarakat.
Unilever gak mau take it for granted.
Sebagai perwujudan dari USLP, pada tahun 2013 lalu, Unilever Global meeluncurkan
#Project Sunlight di 5 negara
yaitu Indonesia, Brazil, Inggris, India dan Amerika Serikat.
Apa itu #Project Sunlight ?
Project
Sunlight merupakan perwujudan dari Unilever Sustainable Living Plan (USLP) yang
bertujuan mengajak jutaan orang di seluruh dunia untuk mewujudkan hari esok
yang lebih cerah bagi anak-anak dan generasi mendatang, dengan menerapkan cara hidup
yang lebih lestari (sustainable), dengan menginspirasi masyarakat melakukan
tindakan nyata.
Adapun
fokus #Project Sunlight di
tahun ini adalah Masa Depan Sehat dengan mengangkat gagasan anak-anak Indonesia
yang terpilih mengenai tentang masa depan.
Anak-anak yang bisa punya kemampuan untuk menginspirasi masyarakat
mengambil bagian demi menciptakan hari esok yang lebih cerah.
Kenapa
anak ?
Karena
anak-anak juga punya hak atas masa depannya.
Karena
anak-anak juga punya hak menentukan bentuk kehidupan masa depan yang
diinginkan.
Dan terpilihlah
Dira Noveriani (17 tahun) sebagai change of agent untuk #brigthfuture. Dira mewakili pemikiran anak Indonesia akan upaya
meraih mimpi atas kesehatan dan sanitasi yang lebih baik di masa mendatang
dapat menggerakkan masyarakat luas.
Siswi
SMU ini adalah aktivis lingkungan belia yang sangat peduli tentang sanitasi dan kesehatan. Adalah Dira yang mengenalkan konsep dan pentingnya kebersihan pada anak-anak jalanan di Sahabat Indonesia, tempat dimana Dira biasa mengajar Matematika dan Bahasa Inggris. Sahabat Indonesia adalah salah satu organisasi nirlaba pemerhati anak jalanan. Berdasarkan pengalamannya berinteraksi dengan anak-anak kurang beruntung itu, mengkristallah keyakinan pada Dira bahwa masalah besar yang dihadapi bukanlah pemanasan global melainkan kesehatan.
Mau
membantu Dira dalam meningkatkan pentingnya kesehatan sekaligus berpartisipasi dalam #Project
Sunlight ?
Begini caranya;
Lihat (VIEW)
Menyaksikan film inspirasional #Project Sunlight di situs http://www.projectsunlight.co.id.
Setiap kali film ini disaksikan, maka Unilever akan menyumbangkan Rp.100,-
Bertindak (ACT)
- Menulis ide untuk #brightfuture di projectsunlight.co.id mengenai bagaimana bisa membuat perubahan. Setiap ide yang dituliskan Unilever akan menyumbang Rp.1.000,-
- Menjadi relawan #brightfuture untuk secara langsung melakukan edukasi kesehatan dan berinteraksi dengan anak-anak di berbagai Sekolah Dasar di Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar dan Yogyakarta. Unilever akan menyumbang Rp.100.000,-
- Bekerja sama dengan Lotte Mart untuk mendukung program edukasi dan penyediaan fasilitas sanitasi di Sumba NTT. Setiap pembelian produk Lifebuoy, Pepsodent dan Domestos, Unilever akan menyumbang Rp1.000
Berbagi (SHARE)
Menyebarkan
cerita atau video inspirasional mengenai gagasan anak tentang masa depan untuk
membantu menginspirasi lebih banyak lagi masyarakat Indonesia
·
Ikut (FOLLOW)
Mengikuti cerita inspirasi di Project Sunlight.
https://www.projectsunlight.co.id/pledges/401678/IDE-UNTUK--BRIGHTFUTURE.aspx
Tanpa dukungan kita, hidup bersih tinggalah angan belaka. Tanpa upaya konkret kita mendidik kebersihan dimulai dari anak-anak kita sendiri, maka dari sekarang kita bisa ucapkan sayonara pada Masa Depan Sehat Anak Indonesia. Dan makin terpuruklah kita yang saat ini sudah merupakan negara dengan terburuk sanitas kedua di dunia ! *Konferensi Sanitasi dan Air Minum Nasional (KSAN) 2013 di Jakarta (30/10/2013)*
Saya jadi ingat wejangan salah satu pemuka agama yang mengatakan, “Mulai dari hal yang paling kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai dari sekarang”.
Mulailah dengan kebersihan diri sendiri. Mulailah dari tidak membuang sampah sembarangan. Mulailah dengan mencuci tangan. Mulailah dari sekarang. Mulailah dengan mendukung #Project Sunlight.
It is just a click away !
4 comments
Semoga beruntung ya mak ^^
ReplyDeleteAmin doanya, Mak Melly ^_^
Deleteartikelnya kompleet..semoga menang maak
ReplyDeleteakkkk ! Komentar mak Anak Kos Dodol ini, bikin bungah aja.
Deleteterima kasih, amin doanya.
Hai ^_^
Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan saya di blog ini.
Silakan tinggalkan komentar yang baik.
Mohon maaf, komentar anonim maupun yang sifatnya spam, tidak akan dipublikasikan.
Keep reading and Salam !