Mak, tadi pagi dan
seperti pagi-pagi lainnya aku lewat warung Mpok Edah, penjual makanan yang
mangkal di depan gang tempat kosku. Walau
demikian, baru tadi langkahku terhenti. Bukan
Mak, bukan karena ingin membeli nasi uduk buatan Mpok Edah yang kesohor itu
karena aku sudah sarapan nasi telor ceplok seperti yang biasa Emak siapkan
dahulu. Tapi karena bubur sumsum yang
dipajang di salah satu meja dagangannya.
Bubur sumsumg
warna hijau dengan kuah santan dan kucuran air gula. Ah, sudah berapa lama aku tidak menikmati
juadah itu ? Pastinya semenjak engkau
memenuhi panggilan Sang Pemberi Kehidupan, ya Mak ? Kata Haji Abas yang menjadi imam ketika
menyolatkan Emak, itu karena Emak orang baik.
Allah senang dengan orang baik.
Kalau begitu, Abah bukan orang baik, ya Mak ? Karena semenjak Emak pergi, Abah suka
marah-marah dan makin berdiam diri.
Menurut Haji Abas, Abah makin diam semenjak aku menginggalkannya untuk
bekerja di kota ini. Karena Abah tidak
mau bicara, aku hanya bertukar kabar saja dengan Haji Abas.
Akhirnya Mak,
sepulang bekerja sore tadi, aku beli seporsi bubur sumsum buatan Mpok
Edah. Sudah girang hatiku, Mak,
membayangkan lezatnya bubur sumsum seperti yang sering Emak buat untukku
dulu.
Tapi, Mak, betapa
kecewa hati ini. Tidak ada aroma pandan
yang menguar ketika kubuka bungkusnya. Padahal
Emak pernah bilang ‘kan, kalau bubur sumsum tanpa wangi pandan, tidaklah
afdol. Kuingat Emak menanam pohon pandan
di sudut pekarangan. Dan selalu
menyuruhku untuk mengambilnya manakala kuminta dibuatkan bubur sumsum. Karena aroma pandan juga ternyata membuat
wangi nasi yang berasnya kita beli tigar ribu perak seliter di warung Koh
Ocin. Membuat lahap kita makan karena
terhibur oleh aroma pandan yang bisa melibas bau apek beras kekuningan lagi bentuknya
tidak bulir sempurna itu.
Tambah kecewa
lagi ketika kurasa santannya tidak segurih buatan Emak. Santan buatan Emak yang kelapanya hasil
pungutan di kebun Haji Abas nan luas itu.
Haji Abas memang baik hati ya, Mak. Karena seperti yang Emak ajarkan,
aku selalu minta ijin dahulu Pak Haji atau Nyai Haji istrinya, jika ingin
menikmati hasil kebun mereka itu. Walau begitu,
Emak pastinya lebih baik dibanding Haji Abas dan istrinya, karena mereka masih
sehat wal afiat hingga kini.
Oh iya,
Mak. Santan bikinan Mpok Edah, selain
tak gurih tak pula mengkilat kental. Ketika
semalam kumakan, sudah ada bau-bau asam, seperti hendak basi. Mungkin Emak harus mengajari Mpok Edah
bagaimana membuat santan seperti yang Emak ajarkan padaku dulu. Setelah kelapa diparut, siram dengan air
panas. Tanganpun harus dicuci bersih
ketika memeras santan. Semua dilakukan
agar santan tidak mudah basi. Ketika memasak
pun, santan harus dikocek perlahan dengan api sedang. Emak bilang agar santannya tidak pecah.
Makin tak enak
kumakan bubur sumsum itu, Mak. Setelah cairan
gula kincanya meluncur ke dalam mulutku, dia meninggalkan jejak pahit di ujung
lidah. Itu pastinya gula buatan, ya Mak
? Karena jika kinca dari gula aren asli
pastinya tak pahit, wangi pula.
Duh Mak, makin
tak terbendung rindu ini. Sudah kurugi
sepuluh ribu rupiah, rinduku pada Emak makin menjadi.