My Dairy Note's

Life Style & Family Blog Indonesia

    • Home
    • About
    • Disclosure
    • Life Style
      • Books & Movie
      • Travel
      • Culinary
      • Fotografi
    • Women in Tech
      • Blogging
      • Techno
    • Midlife Series
      • Family
      • Wellness
    • Career & Project Management
      • Project Management

Law-of-Attraction-dalam-Islam

Ada fase dalam hidup ketika kita merasa ingin mulai dari awal lagi. Bukan karena gagal, tapi karena kita ingin lebih selaras dengan diri sendiri, dengan Allah, dengan hidup yang terus berjalan.

Kalau ada yang tanya, “Buku apa yang paling ngaruh ke pola pikir kamu bahkan berkontribusi pada pengambilan keputusan besar dalam hidup saya?” Maka jawabannya adalah: The Secret karya Rhonda Byrne. Saya baca buku ini tahun 2011 (🫣 iyaa, udah lama banget!). Dari situ, saya kenal konsep Law of Attraction alias Hukum Tarik Menarik.

Buku itu nggak cuma saya baca, tapi juga saya praktikkan pelan-pelan. Dan anehnya, waktu itu pas banget momennya: lagi galau berat soal kerjaan. Sampai akhirnya saya memutuskan resign dan pindah jalur karier. Bisa dibilang, saya ini “korban LoA”, karena konsep ini bener-bener mengubah cara pandang saya. Padahal kerjaan yang saya tinggalin waktu itu sudah cukup mapan dan menjanjikan.

Belakangan, konten LoA makin sering bersliweran di media sosial dan YouTube. Yang bikin makin menarik, ternyata banyak juga yang ngebahas konsep ini dari sudut pandang Islam, bahkan dikaitkan langsung sama ayat Al-Qur’an.

So, what is LoA atau Law of Attraction alias Hukum Tarik Menarik? Intinya sih, apa yang kita pikirkan, dan apa yang kita fokuskan—itu yang akan kita tarik ke dalam hidup.

Kedengarannya kayak sihir ya? Magical banget. Tapi ternyata, kalau direnungin lebih dalam, ini tuh nggak jauh beda sama nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam.

Sebagai muslim, saya juga sempat mikir, “Boleh nggak sih kita nulis keinginan secara detail? Bikin wish list? Visualisasi pakai vision board? Afirmasi?” Awalnya saya agak ragu juga. Takutnya ini cuma gaya hidup ala barat yang nyaru spiritualitas. Tapi setelah saya cari tahu dan pelajari lebih dalam, ternyata banyak banget prinsip-prinsip LoA yang justru sudah diajarkan Islam—bahkan dari sejak 14 abad lalu.


Doa, Husnudzon, dan Tawakal: LoA versi Islami?

Saat kita berbicara tentang doa, husnudzon (prasangka baik), dan tawakal (pasrah pada ketetapan Allah), kita sebenarnya sedang mempraktikkan Law of Attraction versi Islami.

Ketiga prinsip ini—doa yang sungguh-sungguh, husnudzon yang tak tergoyahkan, dan tawakal yang penuh keikhlasan—adalah inti dari bagaimana seorang muslim "menarik" kebaikan dalam hidupnyaKita sering dengar bahwa doa itu senjata orang beriman. Tapi ternyata bukan cuma doa aja; Allah juga mengajarkan pentingnya prasangka baik (husnudzon). Dalam QS Al-Baqarah ayat 186, Allah bilang:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka (jawablah), 'Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.' Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran." 

Duh, mind blowing nggak sih? Artinya, kalau kita yakin Allah akan kabulkan, itu bisa banget terjadi. Tapi tentu, bukan sekadar afirmasi kosong. Dalam Islam, keyakinan itu harus diiringi usaha dan tawakal. Jadi kalau LoA versi Barat bilang "universe will give you what you attract", maka versi Islam-nya lebih ke: "kamu usahakan, kamu doakan, dan kamu yakin Allah Maha Mampu."  

Dengan kata lain, ngga cukup berdoa saja. Kita juga harus walk the talk permintaan yang kita panjatkan.


Fokus Menentukan Arah: Tentang RAS dan Imajinasi

Jauh sebelum saya baca bukunya mba Rhonda ini, saya sudah punya kebiasaan bikin wish list. Kalau lagi pengen sesuatu, saya catat di notes. Mulai dari barang-barang kecil, sampai tempat-tempat yang ingin saya datangi. Tujuannya sih simpel—buat bahan pertimbangan sebelum belanja, semacam perencanaan anggaran plus riset pasar versi saya sendiri. Segitu well-planned-nya saya… uhuk 😂

Surprisingly, tidak sedikit dari wish list yang saya tulis di notes ala-ala yang kejadian.  Entah gadget idaman, kamera mirrorless bahkan hingga destinasi liburan!  Masya Allah.

Setelah berkeluarga dan punya anak, wish list-nya makin beragam. Bukan cuma mimpi dan target pribadi, tapi juga harapan untuk anak-anak dan pasangan ikutan masuk daftar. Soalnya, doa dari istri dan ibu itu insyaAllah manjur, kan? 😄

Wish list saya nggak selalu soal yang besar-besar. Memang ada impian liburan, sampai ke luar negeri, tapi ada juga hal kecil tapi penting yang saya tulis dengan sungguh-sungguh. Misalnya, ingin aktif blogging lagi (yes, ini wish list 2025), punya produk digital dengan niche project management, belajar investasi buat persiapan pensiun, sampai harapan Si Bungsu bisa keterima di PTN lewat jalur undangan.

Belakangan, pengetahuan saya tentang LoA bertambah lagi. Saya kenalan dengan yang namanya RAS—Reticular Activating System. Pernah dengar? Ini semacam radar internal di otak kita. Dia yang nyaring informasi dan menentukan mana yang layak kita perhatikan. Nah, ketika kita sering mikirin satu hal—misalnya mau belajar digital skill atau pengen umroh—otak kita mulai nge-zoom in ke hal-hal yang nyambung sama itu. Tiba-tiba nemu info webinar, ketemu e-course, baca promo tiket. Padahal semuanya udah ada dari dulu, tapi baru kelihatan setelah kita fokusin.

Dan yang bikin makin takjub, otak manusia itu ternyata nggak bisa bedain mana kenyataan dan mana imajinasi. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai mental imagery. Ketika kita membayangkan sesuatu dengan detail dan emosi, otak kita memprosesnya seolah-olah itu sedang terjadi beneran. That’s why, visualisasi dan afirmasi itu bisa jadi alat yang luar biasa kuat—asal dilakukan dengan niat yang benar dan fokus yang terjaga.

Law-of-Attraction-dalam-Islam



Menjaga Niat

Dalam Islam, semua berawal dari niat. “Innamal a’malu binniyat,” kata Nabi. Dan menurut saya, visualisasi itu adalah bentuk nyata dari niat yang dijaga terus-menerus. Saat kita membayangkan sesuatu—dengan detail dan kesungguhan—itu seperti bilang ke diri sendiri: “Aku serius loh sama keinginan ini.” Kalau ditambah dengan doa, afirmasi positif, dan langkah nyata, maka kita sebenarnya sedang membuka jalan buat pertolongan Allah datang.  Mudahnya; niat yang tulus adalah fondasi, doa adalah bensinnya, husnudzon adalah keyakinannya, dan tawakal adalah penutupnya

Di momen-momen seperti itu, wish list bukan cuma jadi catatan iseng. Tapi jadi semacam reminder hidup, titik fokus kita. Supaya nggak kejadian tuh yang suka dialami banyak orang—hari ini pengen A, besok doanya B, lusa mikir lagi mau C. Padahal, kalau keinginan aja belum jelas, gimana Allah mau bantu arahkan?

Dan sering kali, waktu keinginan nggak terwujud, kitanya yang buru-buru mish-misuh: “Kok nggak kesampaian sih?” Padahal kalau ditelusuri, bisa jadi antara doa yang kita panjatkan dan usaha yang kita lakukan belum sepakat. Belum sinkron. Jadi bukan soal gagal, tapi lebih ke: belum disambungin aja antara niat dan langkah..  

Kesehatan Mental dan Harapan di Usia 50+

Masuk usia 50+ itu rasanya seperti masuk babak baru dalam hidup. Banyak hal berubah, dan seringkali datangnya barengan. Ada perubahan fisik yang mulai terasa, tubuh pun mulai kasih sinyal—terutama bagi perempuan yang bersiap melewati fase menopause. Perubahan hormon estrogen, yang salah satu fungsinya menjaga suasana hati dan kemampuan kognitif, mulai terasa berbeda. Kesehatan mulai perlu diperhatikan lebih serius.

Anak-anak makin besar, mulai jarang di rumah. Anak pertama sudah menikah dan punya sarangnya sendiri.  Anak kedua anak saya memutuskan untuk kost saat kuliah.  Rumah mendadak sepi. Nggak ada lagi yang bisa dicerewetin. Officially empty nester 😆

Di sisi lain, transisi karier yang bikin mikir ulang soal arah hidup.  Mulai menkhawatirkan banyak hal, salah satunya : “Nanti kalau pensiun, hidup gue gimana ya?” Semua pikiran itu numpuk. Kadang bikin kepala penuh, tapi hati kosong. Dan kalau semuanya cuma disimpan sendiri… bisa-bisa bikin kita nggak waras 😅

Di titik itulah, saya merasa konsep Law of Attraction bukan cuma teori manis, tapi bisa jadi cara buat bertahan—bahkan bangkit. Fokus pada potensi diri, bersyukur atas hal kecil, dan mulai memvisualisasikan harapan-harapan sederhana, ternyata bisa banget menggeser energi harian. 

Wish list yang awalnya cuma ditulis di notes, sekarang menyadarkan saya bahwa daftar ini bukan cuma daftar angan, tapi bisa jadi titik awal untuk membangun vision board yang lebih terarah—dan lebih terasa hidup.

Dibarengi dengan kontemplasi; questioning myself: “So, what’s next? Mau saya bawa ke mana hidup saya setelah ini?” Insya Allah adalah ikhtiar saya memaknai hidup menjadi lebih baik lagi.

Bukan yang langsung bikin semuanya baik-baik saja, tapi cukup buat nambah semangat dan harapan.  Ini juga salah satu alasan kenapa  akhirnya saya memutuskan untuk kuliah lagi di usia yang tak lagi muda.

Dan di sinilah vision board datang sebagai “alat bantu hati”. Menuliskan harapan, memvisualisasikan kebaikan, dan mengucapkannya dalam doa.  Bentuk self-healing yang kalau diresapi bisa nenangin jiwa. Kita jadi inget bahwa hidup belum selesai. Masih bisa banget diisi dengan makna, tujuan, dan rencana. Nggak ada istilah ketinggalan kereta. Karena buat berharap… nggak pernah ada kata terlambat.

Vision Board dan Wish List: Old Habit, Hard to Die 

Setelah punya daftar harapan, biasanya saya lanjut cari gambar-gambar yang cocok buat vision board. Sesuai namanya, vision akan lebih “mantul” kalau divisualisasikan. Semakin detail gambarnya, semakin jelas niat dan arah pikirannya. Bisa ditambahin deskripsi juga biar makin kuat kesannya.
Nggak bisa gambar? No worries.

Saya pun nggak jago gambar, kok 😄 Tapi sekarang banyak cara. Bisa ambil dari Pinterest, pakai elemen di Canva, atau bahkan foto sendiri. Saya suka cari afirmasi atau kutipan yang bisa nyentuh dan bikin hangat saat dibaca ulang.

Dan yang paling penting: saya sisipkan unsur spiritual berua doa-doa harian favorit, kutipan ayat Al-Qur’an, atau afirmasi Islami yang saya tulis sendiri. 

Untuk Vision Board 2025, saya cetak dan tempel di dinding meja kerja. Tujuannya, agar sering terlihat dan menjadi pengingat bahwa saya sedang berikhtiar. Ini juga jadi booster semangat saat kemalasan datang tanpa aba-aba, membuat saya lebih fokus dan bersemangat menjalani hari.



Yuk, Coba Bikin Vision Board Islami

Belum pernah bikin vision board? 
Coba deh mulai. Nggak harus nunggu tahun baru—hari ini juga bisa. Caranya simpel kok:

  • Tulis keinginanmu. 
  • Cari gambar/kata yang mewakili harapanmu.
  • Susun di atas kertas, versi manual.
    • Jika ingin dalam bentuk digital bisa pake Canva (versi gratis juga cukup banget!).
  • Sisipkan kutipan spiritual atau afirmasi Islami. Tambahkan doa (optional).
  • Simpan di tempat yang sering kamu lihat.


Khusus untuk pengguna Canva, platform desain yang belakangan juga dipakai oleh desainer profesional punya segudang template vision board.  Tinggal pilih dan modifikasi sesuai selera.  Atau mau samaan dengan template yang saya pakai?  Boleh.  Tinggal akses dan isi sendiri, ya.  Dan ini pake versi gratisan, kok!  

👉 Klik di sini untuk mulai membuat versimu: [Link Canva Template Vision Board Islami – Gratis]

📌 Kalau kamu ingin coba bikin wish list versi kamu sendiri, saya juga udah siapkan template printable-nya di bagian ini, lho! Bisa langsung diunduh dan mulai coret-coret dari sekarang ✍️


Jadi, Law of Attraction versi Islami bukan sekadar visualisasi kosong. Ini adalah kombinasi dari doa yang tulus, husnudzon yang kokoh kepada Allah, dan tawakal yang penuh keyakinan bahwa semua kebaikan akan datang pada waktunya. Itulah mengapa, bagi saya, berharap dan berikhtiar adalah perjalanan yang penuh berkah

Selamat menyusun harapan, teman.

Semoga Allah kabulkan semua niat baik kita. Aamiin. 🩷

Share
Tweet
Pin
Share
No comments


 

📍 Limabelas tahun yang lalu, saya gak tahu apa itu blog.  Saya pikir ngeblog itu cuma buat orang kreatif. Saya? Cuma ibu-ibu yang suka nulis sebatas di buku jurnal dan foto-foto. Walaupun bekerja di perusahaan penyedia jaringan selular, namun jaringan infrastruktur dan blogging tidak ada keterkaitan langsung dalam pekerjaan saya yang lakukan sehari-hari.  Tapi ternyata, satu keputusan kecil untuk mulai menulis blog, malah bikin saya jadi melek teknologi.

Dari yang awalnya bingung edit foto pake aplikasi sekarang, sekarang sudah mengenal ragam tools preference.  Bisa bikin visual blog title cakeup di Canva. Dari yang nggak ngerti apa itu “bounce rate”, jadi mulai mempelajari Google Analytics. Walau masih terseok-seok memahami si analitik  ini tapi dijalainin aja.  Dari yang nulis pakai hati saja, sekarang mulai tahu caranya membuat tulisan yang bisa ditemukan orang lewat Google.

Ngeblog bukan cuma bikin saya punya ruang cerita—tapi juga membentuk saya jadi perempuan digital-savvy di usia yang nggak muda lagi. Dan saya ingin berbagi tentang hal itu.

Kenapa Saya Mulai Ngeblog

Awalnya sederhana: saya hanya ingin menyimpan cerita perjalanan dan foto-foto favorit. Tidak ada niat muluk. Platform yang saya pilih pun yang paling mudah  waktu itu dan gratisan; Blogger.

Saya tidak tahu bahwa di balik tombol “Publish”, ada dunia pembelajaran yang luas.

Saya pikir saya hanya menulis. Tapi ternyata, saya sedang membangun keterampilan.


Dari Menulis ke Skill Teknologi

✍️ 1. Kemampuan Menulis yang Meningkat

Saya jadi terbiasa menulis dengan struktur.  Konstruksi penulisan biasanya saya bangun dengan menerapkan kombinasi Konsep 5W1H (Who, What, When, Why, Where and How) Questions dengan Metode Mind Map.  Dan ternyata metode ini bermanfaat dan sangat membantu saat membuat jurnal ilmiah saat pascasarjana kemaren.

Padahal awal nulis asal-asalan dalam artian ya asal aja. Lama-lama belajar merapikan paragraf, memilih kata, dan mengatur alur cerita agar enak dibaca. Ini pun hasil blog walking, postingan orang lain kok lebih baik, dibanding dengan tulisan sendiri yang alurnya lompat-lompat 🫣.  Tanpa disadari, ngeblog adalah latihan menulis paling konsisten yang pernah saya jalani.

🔎 2. Paham Dasar SEO

Dulu saya nggak tahu kenapa tulisan saya jarang dikunjungi. Kemudian paham soal riset kata kunci, meta description, alt text gambar, dan pentingnya internal linking. Saya belajar agar tulisan saya tak hanya menyentuh hati, tapi juga ditemukan oleh mesin pencari.  Dan ini ternyata syulidt, Fergusooo!

Proses SEO, riset keyword biasanya dilakukan setelah tahap konstruksi penulisan selesai.  Gunanya agar sejalan dengan tema dan ngga “lari” kemana-mana.

🎨 3. Kenalan dengan Canva

Awalnya bingung buka Canva. Sekarang, saya bisa bikin visual branding sederhana untuk artikel, feed Instagram, hingga presentasi. Desain bukan hal menakutkan lagi—malah jadi bagian menyenangkan dari proses kreatif.

Keperluan visualisasi selain jadi penggerak untuk punya foto bagus, juga karena iri lihat blog luar yang “kok keren-keren banget sih visualisasinya?”.  Ternyata ada cara dan aplikasinya sendiri hehe.

📊 4. Mengintip Google Analytics

Saya belajar memahami data: siapa yang baca blog saya, dari mana mereka datang, dan konten mana yang paling disukai. Dari situ saya jadi lebih peka dalam menulis dan merancang topik yang relevan.

Walau sama-sama menulis, beda nulis di blog dengan di buku.  Kalau kita mau blog kita dikunjungi dan artikelnya dibaca maka sarannya kita tulis apa yang disenangi atau diperlukan oleh pembaca.  Bukan oleh kita.  Yang mulanya saya menulis apa saja yang suka, jadi saya menulis yang saya suka dan dibutuhkan audience.  Google Analyticslah jawabannya.


Blog post title made using Canva


Skill Tambahan yang Tak Disangka

🗓️ 5. Manajemen Konten

Ngeblog melatih saya membuat kalender konten, menyusun ide, mengatur waktu menulis.  Yang mana ini relevan dengan profesi saya sebagai seorang project manager. Gak mudah mengelola multi jadwal seperti ini.  Banyak juga melesetnya.  Pembelajaran dari time management ini adalah mengasah kemampuan menetapkan prioritas dan lebih memahami kemampuan diri sendiri.    

📢 6. Dasar Digital Marketing

Saya belajar membuat headline yang menarik, call-to-action yang halus, dan membagikan tulisan lewat media sosial. Karena tanpa promo, postingan kita gak ada yang tahu.  Website kita gak ada pengunjungnya.  Diperkirakan ada lebih dari 600 juta blog di seluruh dunia pada tahun 2023. Jumlah ini mencakup hampir sepertiga dari seluruh situs web. Dengan sekitar 7,5 juta postingan blog yang dipublikasikan setiap hari, ini berarti ada lebih dari 2,7 miliar artikel baru yang ditambahkan ke internet setiap tahunnya.  Bayangkan!  Ngeblog ternyata jadi pintu masuk saya memahami dunia pemasaran konten. yang kmpetitif.

🤝 7. Koneksi dan Kolaborasi

Saya bertemu banyak teman baru lewat dunia blog. Dari komunitas menulis, sharing session, hingga peluang kolaborasi yang tak terduga. Bertemu dengan orang-orang dengan kesamaan hobi bahkan vibes; dunia jadi terasa lebih luas—dan hangat.

💫 8. Personal Branding dan Self-Awareness

Di lingkup pertemanan, mereka jadi tahu hobi dan kemampuan saya menulis. Sebagai individu, saya jadi lebih tahu apa yang ingin saya tulis, siapa yang saya tuju, dan bagaimana menyampaikan pesan dengan gaya saya sendiri. Ternyata menulis blog juga melatih kesadaran diri.

Blog ini bukan sekadar wadah cerita, tapi cermin perjalanan saya bertumbuh.


Mindset Baru: Gaptek Itu Bisa Diubah

Saya jadi paham: gaptek itu bukan label, tapi titik awal.

Menulis blog pelan-pelan membuat saya mengenal tools baru, mengerti istilah digital, dan yang paling penting: nggak takut lagi belajar hal baru. Ternyata, semuanya bisa dipelajari asal dimulai.

Ngeblog bukan hanya soal punya pembaca, tapi soal menjadikan diri kita sendiri pembelajar.


Masih Ragu Nulis Blog?

Nggak harus muda, nggak harus tech-savvy, dan nggak perlu menunggu jadi “pintar dulu” baru mulai.

Mulailah dari cerita yang ingin disharing, bisa kisah inspiratif, cerita jalan-jalan atau pengalaman berharga lainnya. Bahkan sesimple ceritain alasan sering mengunjungi kedai kopi favorit.  Pelan-pelan akan terbiasa. Dan tiba-tiba tanpa disadari, sudah bisa mendesain blog, membaca data, paham SEO, dan lebih percaya diri dalam dunia digital.

Saya mengalaminya. Dan saya percaya, Anda pun bisa.


💡 Bonus: 5 Hal Kecil yang Bikin Saya Nggak Gaptek Lagi karena Ngeblog

✅ Belajar Canva → bisa desain untuk diri sendiri & kerjaan kecil
✅ Menulis rutin → jadi lancar menyampaikan ide secara tertata
✅ Tahu SEO dasar → tulisan saya bisa ditemukan pembaca baru, ini pun masih perlu belajar banyak.
✅ Cek Google Analytics → lebih paham kebutuhan pembaca
✅ Ikut komunitas → tahu tools dan tren terbaru


Refleksi Dari Gaptek ke Growth

Satu keputusan kecil > bikin blog dan nulis pake hati > ternyata membuka banyak pintu belajar malah jadi side hustle.

Dan saya yakin, perjalanan ini belum selesai. Masih banyak hal yang bisa saya pelajari. Tapi saya tidak menyesal sudah memulainya.  Dan that's why I keep blogging, walau sempat vakum beberapa waktu.

Masih merasa “aku mah gaptek”.  Mungkin karena cuma belum mulai aja.

🌿 Kalau sudah coba nulis blog, jangan lupa  drop url-nya di kolom komen di bawah ya buat saya baca.  Kita sama-sama blog walking! 🥳



Share
Tweet
Pin
Share
No comments

 

perempuan Indonesia kuliah S2 usia 50 di Universitas Pradita


Mengapa Belajar Kembali di Usia 50-an?

Salah satu anggapan yang paling sering saya dengar adalah: “Udah umur segini, masih semangat belajar?” atau “Buat apa kuliah lagi kalau karier sudah stabil?”

So, when they asked why am I going back to school.  The answer is WHY NOT?

Karena saya paham, dii banyak budaya, termasuk di Indonesia, ada keyakinan diam-diam bahwa belajar itu hanya untuk anak muda. Bahwa pendidikan formal punya “batas waktu.”  Karena umumnya orang percaya bahwa pendidikan formal hanyalah untuk yang muda. Bahwa setelah usia tertentu, fokus kita harus bergeser: dari belajar menjadi bertahan. Dari berkembang menjadi bertahan di zona nyaman.

Tapi saya nggak setuju.
Dan statistik pun berkata lain.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, tren pembelajar dewasa (adult learners) justru meningkat. Banyak profesional yang kembali belajar demi mengembangkan diri, mengejar passion baru, atau sekadar membuktikan bahwa usia bukan halangan untuk bertumbuh.

Saya pribadi tidak kembali kuliah karena ingin naik jabatan. Saya kembali kuliah karena ingin memberi diri saya sendiri kesempatan kedua untuk berkembang.

Belajar bukan tentang umur.
Belajar adalah tentang kemauan dan cara pandang

Kuliah Pascasarjana atau Sertifikasi Profesional? Ini Pertimbangan Saya

Keputusan untuk kuliah lagi di usia paruh baya ini bukan sebuah tindakan yang impulsif.
Bisa dibilang ini adalah keinginan yang tertunda sejak 2017 lalu. Obsesi yang saya pikir akan hilang dibawa waktu, ternyata malah menguat.  

Now and then, saya browsing institusi pendidikan baik negeri maupun swasta mulai dari jurusan dan tentunya biaya termasuk UT, Universitas Terbuka pun masuk dalam opsi pencarian berikut jurusan program pascasarjana yang ditawarkan.

Saya pelajari dan bandingkan dengan seksama. 

Tidak lain karena saya menginginkan kuliah pascasarjana di usia 50-an ini benar-benar sebuah investasi yang bermakna.  Ada banyak peminatan namun saya ingin mempelajari bidang yang sesuai dengan dan menunjang karier kerja sebagai konsultan praktisi ICT (Information, Computer, Technology) project.

Awalnya, sempat mempertimbangkan untuk mengambil sertifikasi profesiona (lagi). Lebih cepat, lebih praktis, dan mungkin terlihat lebih “masuk akal” dari sisi waktu dan biaya. Apalagi di dunia kerja, sertifikasi sering kali dianggap sebagai pembeda yang cukup signifikan.  Terlebih sebagai praktisi project, sertifikasi profesional sebagai reinvestasi karier mempunyai nilai jual tambahan.

perempuan Indonesia kuliah S2 usia 50 di Universitas Pradita
Sesi kuliah offline di Universitas Pradita, paling cantik sendiri 😄

Namun makin saya pikirkan, makin saya merasa bahwas saya butuh lebih dari sekadar validasi teknis.  Mengingat saya sudah memiliki sertifikasi PMP atau Project Management Profesional dari tahun 2005. Sebuah sertifikasi internasional keprofesian yang biasanya dikejar oleh para Project Manager yang dikeluarkan oleh Project Management Institute.

Kegalauan having another international certification or pursuing master degree, mendorong Saya melakukan riset kecil “rekomendasi sertifikasi profesional selain PMP” yang dianjurkan bagi pelaku industri ICT, industri yang saya geluti selama ini.  Muncul sejumlah rekomendasi sertifikasi yang dianjurkan semisal sertifikasi TOGAF, COBIT dan ITIL serta Scrum Master. 

Makin saya selami satu persatu pilihan yang ada di depan mata ini makin mengristalkan bahwa saya tidak sedang mencari tambahan sertifkasi.  Dengan latar belakang non-IT namun qadarullahNya profesi saya full tenggelam mengerjakan proyek-proyek ICT, somehow saya merasa ada knowledge gap.  

Masa proses berpikir ini memberi ruang refleksi, struktur berpikir yang lebih dalam, dan tantangan akademik yang bisa memperkaya perspektif saya.  Secara profesional bisa jadi saya dianggap mampu, can manage project well. Tapi secara pribadi, saya merasa ilmu yang saya peroleh secara otodidak masih belum mumpuni.

Kembali ke kampus walau usia sudah paruh baya adalah ikhtiar saya mengisi “gelas kosong” itu.

Kenapa Saya Memilih Universitas Pradita?

Dari semua opsi, Universitas Pradita terasa paling relevan dengan kebutuhan dan visi karier saya sebagai praktisi ICT.

Selama proses engagement hingga pre on-boarding (pra masa perkuliahan), saya didampingi oleh seorang education counselor.  Conselor ini menghubungi saya setelah melayangkan email lewat website Pradita.

Sistem 1 pintu ini membuat komunikasi lebih lancar. Banyak pertanyaan dan proses administrasi dikawal oleh si agent. Saya bahkan sampai dijadwalkan untuk berdiskusi dengan Dekan Program Pascasarjana Informasi Teknologi Bapak Dr. Eng. Handri Santoso, mungkin karena saya terlalu banyak bertanya 😁

Mengapa banyak bertanya.  

Pertama, menerapkan prinsip teliti sebelum membeli. 

Kedua, I want to learn new thing which give me a highly impactful. Belajar kembali di usia matang, ternyata membuat saya memperhitungkan banyak hal, daftar checklist jadi banyak haha. 

But the most important thing adalah ilmu yang applicable, silabus berdasarkan industrial based.  Buat apa belajar tapi sulit diimplementasikan, right?  Surprisingly, syllabus Universitas Pradita Program dibangun berdasarkan industrial practise based.  Siswa pascasarjana otomatis akan belajar TOGAF, COBIT, ITIL.  Betapa Tuhan Maha Tahu.  Semuanya diberikan sekaligus!

perempuan Indonesia kuliah S2 usia 50 di Universitas Pradita
Ambil toga wisuda di kampus BSD

Jadi pilihan ini bukan tentang “mana yang lebih baik”, tapi mana yang lebih selaras dengan tujuan saya: tumbuh dari dalam ke luar.

So, after review the program and syllabus ditambah dengan diskusi dengan pak Dekan; memantapkan saya untuk kembali belajar di usia matang dengan menjadi siswa Program Pascasarjana Fakultas Teknologi Informasi dengan peminatan Design Enterprise Architecture.

Tantangan dan Kebanggaan: Kembali ke Bangku Kuliah di Usia Matang

27 tahun jeda dari kampus pendidikan terakhir, wajar kiranya jika ada perasaan exciting campur was-was di awal masa perkuliahan.  Let’s admit that naturally kondisi biologis manusia termasuk performa otak pastinya tidak sama lagi.

Tantangan lainya yaitu menjaga mood dan tetap fokus menyimak perkuliahan selama via virtual applications.  Yep, kuliah diberikan dalam format hybrid.  Mahasiswa bebas memilih; apakah mau online atau hadir ke kampus.  Ini juga yang jadi salah satu check list dalam menjatuhkan pilihan kampus.  Thus, masa perkuliahan dimulai di akhir periode PPKM Covid-19 yang lalu.  So yes, saya menuliskan ini sekaligus sebagai flash back ☺️

Setiap mata kuliah berlangsung selama 2 jam.  During weekday, perkuliahan berlangsung malam hari biasanya dimulai sekitar pukul 19:30 WIB, untuk 1 mata kuliah saja.  Saat weekend yaitu Sabtu, perkuliahan dari pukul 8 pagi hingga menjelang sore untuk 3 mata kuliah.  Untungnya tidak ada kelas di hari Minggu.

Capek? Sudah pasti.

Bosan? Jelas.  Dibalik kemudahan bisa mengikuti pembelajaran secara online dari mana saja termasuk di rumah, kebosanan adalah tantangan yang jelas-jelas harus diatasi. Ngga ada teman bertanya atau diskusi (secara face-to-face).  Maka WAG (Whatsaap Group) pun jadi solusinya.  Ada sesekali ke kampus untuk offline, namun itupun jarang, bisa dihitung jari.

Bagaimana jika ada tugas kelompok?

Pastinya another zoom meeting 🫣

perempuan Indonesia kuliah S2 usia 50 di Universitas Pradita
 Teman-teman seperjuangan program Pascasarjana MTI Batch 7

Alhamdulillah tidak ada kendala yang berarti selama perkuliahan kemarin.  Setiap tugas yang saya selesaikan memberi rasa percaya diri baru, karena dapat ilmu baru. Setiap presentasi yang saya jalani memperkuat kemampuan komunikasi saya.

Dan yang paling berharga — saya menemukan komunitas belajar lintas usia yang suportif dan membuka jejaring saya lebih luas.  Lintas usia tidak hanya pada murid, namun juga para dosen.  Ada dosen  sesama Gen-X seperti saya, atau lebih senior.  Beberapa tenaga pengajar ada yang usianya lebih muda dari saya.  Komposisi yang sama untuk siswa program pasca.  Kami semua bersatu dalam tumpukan tugas dan tugas akhir yang bikin mumedt.  Kita jadi kompak walau hanya bertemu secara daring.  Seru!!

Pembelajaran lainnya?

Tidak hanya tentang disiplin, saya tambah belajar mendengar, dan yang paling penting: belajar bahwa kapasitas untuk berkembang tidak pernah hilang.  Belajar juga mengenyampingkan ego. Di luar kampus; saya seorang profesional, punya team. Tapi di kampus, saya seorang murid.  Selain itu metode berpikir analitik dan kritis pun makin terasah.  

Time management jadi crusial.  Harus pandai mengatur jadwal kuliah, kerja dan quality time dengan keluarga.  Walau ini sudah saya prakirakan jauh-jauh hari sebelumnya, namun pada pelaksanaannya ternyata challenging.  Mengorbankan banyak waktu week-end, skip acara-acara sosial baik dengan keluarga maupun teman terbayarkan saat lihat nilai IPK yang beyond my expectation; 3.9 out of 4!

Apa yang awalnya terasa menantang, perlahan berubah menjadi sumber kebanggaan. Ternyata saya BISA!

Saya tidak hanya lulus. Saya tumbuh.  Belajar di usia matang ternyata memberikan perspektif baru.

Dari Mahasiswa ke Mentor: Langkah Baru Saya sebagai Coach Project Manager

Seiring proses belajar saya berlangsung, saya menyadari satu hal penting:
Saya tidak ingin perjalanan ini berhenti di saya.

Selama bertahun-tahun bekerja di dunia proyek, saya bertemu banyak profesional muda yang punya potensi besar tapi kurang arahan. Mereka rajin, semangat, tapi sering bingung harus mulai dari mana. Dan saya tahu—saya bisa membantu mereka.

Di sinilah pendidikan pascasarjana menjadi lebih dari sekadar gelar.

Ia menjadi pondasi baru bagi misi saya berikutnya:
 "menjadi coach bagi para Project Manager pemula"

Apa yang saya pelajari bukan hanya teori, tapi juga cara menyusun strategi pembelajaran, cara menyampaikan insight dengan runtut, dan cara membangun kepercayaan diri melalui pemahaman yang utuh.

Saya ingin membantu generasi berikutnya tumbuh, tanpa harus menunggu separuh hidup seperti saya untuk merasa layak belajar kembali.

Dengan pengalaman dan pendidikan yang saya miliki sekarang, makin membulatkan keyakinan untuk menjadi project management coach.  

Kenapa?
Karena setiap awal butuh seseorang yang mau memandu.

perempuan Indonesia kuliah S2 usia 50 di Universitas Pradita
Foto bersama wisudawan pascasarjana dan para dosen

Untuk Anda yang Sedang Menimbang Langkah Baru di Usia Paruh Baya

Kalau Anda masih ragu untuk memulai ulang, semoga kisah saya ini jadi sinyal: belum terlambat untuk bertumbuh.

Apa pun yang pilihnya, pastikan itu selaras dengan kita sendiri, bukan sekadar tuntutan luar.

Tanyakan pada diri sendiri:

✅ Apakah saya ingin belajar lagi karena haus pengetahuan?

✅ Apakah saya ingin membuka peluang baru?

✅ Ataukah saya hanya butuh validasi bahwa saya masih bisa?

Apapun jawabannya, itu sah.

Yang penting: bergerak.

Saya bukan superwoman. Saya hanya seseorang yang akhirnya memutuskan untuk mengisi “gelas kosong” dalam dirinya. Dan langkah kecil itu mengubah segalanya.  

Penutup: Usia Bukan Batas, Tapi Titik Awal Baru

Waktu saya memutuskan kuliah lagi, banyak yang heran.
Tapi saya tahu — gelas saya belum penuh.

Masih ada ruang untuk bertumbuh, berbagi, dan belajar.  

Dan sekarang saya tahu:
Usia bukan batas.

Ia hanya angka.  It’s just a number.

Yang menentukan batas adalah kita sendiri.

Kalau Anda merasa sedang di titik “berhenti”, mungkin itu sebenarnya panggilan untuk “mulai ulang.”

💬 Sudahkah Anda memberi diri Anda izin untuk bertumbuh kembali?  listen to your inner voice

Punya rencana untuk perubahan juga? Let’s share.
Siapa tahu, langkah Anda hari ini bisa menginspirasi langkah orang lain besok.

Share
Tweet
Pin
Share
10 comments
makanan populer khas jogja


Horeee, Jogjaaa!!  Bisa icip-icip kuliner khas Jogja lagi nih, demikian batin saya saat diberitahu ada tugas yang mesti dihadiri secara offline di sana.

Antara senang dan khawatir saat akhir tahun lalu diinformasikan harus tugas ke Jogja.  Senang karena akhirnya bisa jalan-jalan lagi setelah "dikurung" Covid-19.  Di sisi lain khawatir, mengingat pandemi belum berakhir walau menurut pantauan, kondisinya tidak separah sebelumnya.  

Mengingat tugas merupakan kewajiban artinya the show must go on. Dengan beragam pertimbangan maka saya memilih moda transportasi pribadi dianding transportasi umum. Alhamdulillah Paksu juga available, so Jogja, here we come!


Peta Kuliner Jogja a'la Saya

Rest Area Ungaran 492

Bisa dibilang perjalanan kuliner kami dimulai dari sini. Konon ini rest area dengan pemandangan terbaik di Tol Trans Jawa.  Rest Area KM 429 yang berada di perbukitan Semarang dengan fasilitas lengkap ini didapuk memiliki view sunset yang keren manakala matahari perlahan bersembunyi di balik Gunung Ungaran.

Sayangnya kami tiba ditempat yang berada di dataran tinggi Kabupaten Semarang, Rest Area Kilometer 429 Tol Trans Jawa Ruas Semarang-Salatiga menjelang waktu subuh, setelah berkendara sekitar 6 jam dari Bogor.  Alih-alih sunset, kami disuguhi sunrise yang cerah.  

Mengingat ini kali kedua mampir di sini, maka ini kali kedua kami menunaikan ibadah subuh di mesjid yang terbilang besar dengan tempat wudhu yang bersih.  Kondisi dalam ingatan ternyata masih sama.  Air wudhu yang mengenai tubuh pun masih dingin segar, meluruhkan rasa penat setelah berkendara sekian jam.

Starbuck di Rest Area KM 429 Tol Trans Jawa.Starbucks di rest area km 429 Tol Trans Jawa

Perbedaannya, sekarang Rest Area KM 429 memiliki lebih banyak food stall dan tempat makanan.  Dari yang paling sederhana hingga Starbuck pun ada!  

Untuk sarapan pagi itu, saya memilih penganan roti dan secangkir kopi hangat Starbuck.  Menyesapnya sambil menikmati pemandangan Gunung Ungaran, dilimpahi angin dingin dalam keadaan belum mandi itu ternyata sesuatu sekali 😊

Angkringan Malioboro

Untuk makan malam di hari pertama kami putuskan untuk menikmati angkringan saja.  Kuliner malam khas Jogja yang masih bertahan kepopulerannya hingga ini.  Makanan yang merakyat ini banyak dijumpai di hampir seantero Jogja.  Beruntung tempat penginapan kami hanya selemparan batu dari pusat kota Jogja, Malioboro.  Begitu keluar dari hotel, sudah banyak terlihat jejeran tenda angkringan yang hanya terlihat dari semenjak senja hingga tengah malam atau dini hari.




angkringan makanan populer khas Jogja
kopi areng kuliner khas angkringan joga


Makanan angkringan sebenarnya adalah nasi bungkus berikut lauk-pauknya khas Jogja; ada tempe mendoan; aneka sate, mulai dari sate telur puyuh, sate jamur, sate kerang hingga sate sosis.  Ciri khas nasi angkringan yaitu porsinya yang kecil dan dibungkus oleh daun pisang atau kertas minyak.

Nasi bungkusnya pun beragam; biasanya berupa ramesan cumi oseng pedang, nasi langgi hingga tuna pun ada.

Ciri khas lain kuliner angkringan Jogja adalah kopi areng (arang), berupa kopi tubruk hitam yang diberi arang panas sebagai upaya si kopi tetap terjaga panasnya.  Unik, ya?


Bakmi Jawa Mbah Gito

Makan malam hari kedua, kami sengaja ke tempat yang lebih jauh dari Malioboro.  Yaitu Bakmi Jawa Mbah Gito.  Bakmi Jawa atau bakmi godog khas kuliner Jogyakarta ini memang terbilang beda karena cara masaknya dengan arang di atas anglo, sehingga disiapkan satu kali masak untuk setiap porsi.  Bisa dipahami mengapa kita mesti sabar menanti untuk dapat menikmatinya.

Ciri khas lain Bakmi Jawa kuliner Jogja ini adalah menggunakan telur bebek.  Tak heran, aromanya yang kuat bisa kita hirup pada saat dihidangkan di atas meja.  Siapkan irisan lombok (cabe) hijau berikut acar ketimun.  Maknyuuuuss!

bakmi jawa mbah gito kuliner khas jogja


Sate Klatak Pak Pong

sate klatak pak pong kuliner khas jogja


Dalam rangka berburu kuliner khas Jogja, di malam terakhir, kami arahkan si roda empat ke arah Bantul.  Tepatnya Jl. Sultan Agung No.18, Jejeran II, Wonokromo, Kec. Pleret, Bantul.

Kuliner malam khas Jogja yang disantroni adalam Sate Klathaknya Pak Pong.

Sama halnya dengan sate lain, daging yang digunakan adalah daging kambing muda.  Yang membuatnya diburu wisatawan adalah cara penyajiannya yang menggunakan jeruji sepeda alih-alih tusuk sate bambu pada umumnya.  

Penggunaan jeruji sepeda membuat panas menyebar merata sehingga daging menjadi lebih empuk sempurna.  

Selain pemakaian jeruji sepeda, cita rasa unik dari sate ini adalah disajikan dengan kuah gulai. Tidak seperti sate lainnya yang umumnya dibakar dengan baluran bumbu kecap dan beberapa rempah-rempah.


Gudeg Mbah Lindu

Jogja tanpa gudeg ibarat air laut tanpa garam.  So, it's a must untuk mencicipi sayur kuliner khas Jogja yang terbuat dari nangka muda ini.  

Umumnya gudeg terbuat dari gori atau nangka muda yang dimasak bersama santan, gula aren, dan bumbu-bumbu hingga benar-benar empuk. Kemudian disajikan bersama nasi putih dan aneka lauk pelengkap seperti sambal krecek, opor ayam, telur pindah, dan siraman areh bertekstur kental.

Walaupun disediakan menu gudeg di hotel tapi rasanya tidak afdol jika tidak mencicipi gudeg di tempat yang lebih orisinil.  

Setelah berkonsultasi dengan Google Maps, ternyata lokasi yang dituju tidak jauh dari tempat kami menginap, yaitu di area Malioboro dan berjarak  sekitar 1 Km.  Kami putuskan untuk berjalan kaki saja, itung-itung olah raga pagi.

Jalan kaki pagi hari sambil mencari sarapan adalah kegiatan yang menyenangkan, bukan?


gudeg kuliner khas jogja


Ternyata, mbak Google Maps memberikan rute yang berkelok.  Melewati gang-gang kecil bak labirin yang posisinya di belakang Malioboro.  Walaupun gang kecil berukuran hanya cukup untuk 1sepeda motor, namun bersih.  Dan banyak kami lihat banyak hostel kelas backpacker.  

Jikalau bukan pandemi, pasti hostel-hostel ini diramaikan oleh backpacker asal wisman.  Mengingat itu, hati saya mencelos.  Semoga pandemi segera berlalu dan kota yang menyenangkan ini menjadi ramai seperti sedia kala.  Walaupun saat kunjungan kami kemarin, Jogja sudah mulai membuka diri dengan kondisi yang tetap waspada, jaga protokol kesehatan.

Akhirnya sampai di tempat tujuan.  Dari jauh sudah terlihat antrian walaupun jam belum lagi menunjukkan pukul 7.

Rupanya bukan hanya kami saja yang ingin mencicipi gudeg legendaris Mbah Lindu yang berpulang tahun 2020 lalu.  Saking istimewanya beliau pernah diangkat dalam saluran menonton berbayar Netflix.  Dokumentasi perjalanannya sekian lama sebagai bakul gudeg -sampai-sampai almarhumah sendiri tak ingat persisnya- dapat kita saksikan dalam Original Series Netflix yaitu Street Food: Asia. 

gudeg mbah lindu kuliner khas jogja


Saat ini Mbah Lindu sudah tiada, tetapi cara memasak dan racikannya dilanjutkan oleh generasi kedua tetap sebagaimana dilakukan Simbah dahulu.  Gudeg di atas tungku terbuat dari tanah liat yang memanjang. Dalam satu tungku terdapat dua lubang yang berfungsi untuk memasak.

Termasuk tetap setia menggunakan tungku kayu bakar karena tingkat kepanasan yang dihasilkan oleh kayu bakar berbeda dengan kompor gas. Kayu bakar membuat masakan gudeg menjadi terasa istimewa.

Dari warung kuliner Jogja Gudeg Mbah Lindu, saya baru tahu jika gudeg pun bisa disantap bersama bubur.  Tidak hanya dengan nasi seperti yang selama ini saya ketahui.


Lupis Ketan Mbah Satinem

Selain Gudeg Mbah Lindu, Netflix pun featuring Mbah Satinem, sang legenda lupis ketan yang biasa menggelar kulakannya di selasaran Optik Yogya, tak jauh dari Tugu Selamat Datang. 

Mirip dengan Gudeg Mbah Lindu, di sini pin kita harus mengantri.  Antriannya bahkan lebih panjang.  Agar calon pembeli tertib kita harus mengambil nomor dan akan dilayani sesuai nomor antrian.  Yang membuat suasana lebih kompetitif adalah kita harus sabar diladeni oleh Mbah Satinem yang memotong satu demi satu lupis ketannya menggunakan benang.  Padahal si Mbah harus bebenah sebelum toko optik beroperasi sekitar pukul 9 pagi.

Tak heran jika penikmat lupis ketan Mbah Satinem sudah mulai antri dari jam 5 pagi, selepas subuh!


lupis ketan mbah satinem kuliner khas jogja


Mangut Lele Mbah Marto

Dari semua kuliner khas Jogja yang saya uraikan, this is my favorit!

Kereceknya yang pedasnya top, disandingkan dengan sayur gudeg campur daun singkong plus tahu dan telur areh ditambah mangut lele.  Jangan lupa kerupuk.  Duuh, lidah ini berasa terperangkap dalam kenikmatan rasa yang belum bisa saya temukan di tempat lain!  bombastis, ya? 😄

mangut lele mbah marto kuliner khas jogja

mangut lele mbah marto kuliner khas jogja
Berfoto bersama Mbah Marto
Ada banyak hal yang tidak umum saat makan di warung Mbah Marto.  Dimulai dari perjuangan untuk menemukan kediaman Mbah Marto yang terletak di tengah desa dan cukup sulit lokasi.  Saking berlokasi di tengah desa, penikmat Mangut Lele Mbah Marto mesti berjalan kaki sekitar 10 menit dari tempat mobil diparkir yang di parkirnya pun di sisi sawah! 

Hal tidak umum lainnya, pengunjung dipersilahkan mengambil sendiri masakan dari dapurnya langsung.  Terserah mau mengambil lauk atau sayur yang mana.  Makan di warung makan Mangut Lele Mbah Marto ini seperti makan di kantin kejujuran, sebutkan apa saja yang disantap pada saat pembayaran nanti.  Hal yang tidak umum lainnya, pembeli harus "rela" duduk di dapur jika kursi di meja makan sudah penuh karena memang warung makan Mangut Lele Mbah Marto ini tak sepi pengunjung.  Sangat disarankan untuk tidak ke sini pada jam makan siang!

Bisa jadi itu karena kuah mangut lele yang berwarna keoranyean membuat lidah kesetrum dengan rasa yang gurih pedas dengan adanya potongan cabai rawit yang besar-besar. Sensasi pedas ini semakin menambah nikmat. Bagi yang tak suka pedas, bisa tetap mengambil lauk mangut lele tanpa kuahnya ya.  Sayang donk, sudah jauh-jauh ke warung ini namun tidak menikmati si mangut andalan Mbah Marto.  




Itu tadi peta kuliner khas JOgja a'la saya.  Dari kuliner khas Jogja di atas, mana yang juga jadi favorit Anda?

Share
Tweet
Pin
Share
7 comments
Older Posts

Follow Me


          

recent posts

Popular Posts

  • 5 Mie Ayam Enak di Bogor
  • Serunya Wisata Satu Hari di Cirebon
  • Paralayang; Uji Nyali di Puncak Kebun Teh

Blog Archive

  • ▼  2025 (3)
    • ▼  August 2025 (1)
      • Mulai Lagi dari Awal: Law of Attraction, Doa, dan ...
    • ►  July 2025 (1)
    • ►  June 2025 (1)
  • ►  2022 (2)
    • ►  June 2022 (2)
  • ►  2021 (12)
    • ►  August 2021 (1)
    • ►  July 2021 (3)
    • ►  June 2021 (2)
    • ►  May 2021 (1)
    • ►  February 2021 (1)
    • ►  January 2021 (4)
  • ►  2020 (7)
    • ►  December 2020 (2)
    • ►  October 2020 (1)
    • ►  April 2020 (2)
    • ►  March 2020 (1)
    • ►  January 2020 (1)
  • ►  2019 (17)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  October 2019 (2)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  July 2019 (1)
    • ►  May 2019 (2)
    • ►  March 2019 (5)
    • ►  February 2019 (1)
    • ►  January 2019 (4)
  • ►  2018 (25)
    • ►  December 2018 (4)
    • ►  November 2018 (4)
    • ►  October 2018 (3)
    • ►  August 2018 (2)
    • ►  July 2018 (5)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  March 2018 (1)
    • ►  February 2018 (2)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (18)
    • ►  December 2017 (5)
    • ►  November 2017 (3)
    • ►  October 2017 (1)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  August 2017 (3)
    • ►  June 2017 (1)
    • ►  April 2017 (1)
    • ►  February 2017 (1)
    • ►  January 2017 (1)
  • ►  2016 (37)
    • ►  December 2016 (1)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (4)
    • ►  May 2016 (2)
    • ►  April 2016 (9)
    • ►  March 2016 (8)
    • ►  February 2016 (3)
    • ►  January 2016 (6)
  • ►  2015 (75)
    • ►  December 2015 (2)
    • ►  November 2015 (7)
    • ►  October 2015 (3)
    • ►  September 2015 (6)
    • ►  August 2015 (5)
    • ►  July 2015 (19)
    • ►  June 2015 (4)
    • ►  May 2015 (3)
    • ►  April 2015 (7)
    • ►  March 2015 (5)
    • ►  February 2015 (9)
    • ►  January 2015 (5)
  • ►  2014 (39)
    • ►  December 2014 (2)
    • ►  November 2014 (1)
    • ►  October 2014 (2)
    • ►  September 2014 (4)
    • ►  August 2014 (5)
    • ►  July 2014 (2)
    • ►  June 2014 (3)
    • ►  May 2014 (4)
    • ►  April 2014 (2)
    • ►  March 2014 (2)
    • ►  February 2014 (5)
    • ►  January 2014 (7)
  • ►  2013 (36)
    • ►  December 2013 (5)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (5)
    • ►  August 2013 (1)
    • ►  June 2013 (1)
    • ►  May 2013 (4)
    • ►  April 2013 (6)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (2)
  • ►  2012 (28)
    • ►  December 2012 (2)
    • ►  November 2012 (3)
    • ►  October 2012 (3)
    • ►  September 2012 (4)
    • ►  August 2012 (4)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  May 2012 (1)
    • ►  April 2012 (1)
    • ►  March 2012 (1)
    • ►  February 2012 (1)
    • ►  January 2012 (3)
  • ►  2011 (28)
    • ►  December 2011 (2)
    • ►  November 2011 (3)
    • ►  October 2011 (1)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  August 2011 (4)
    • ►  July 2011 (2)
    • ►  June 2011 (4)
    • ►  May 2011 (1)
    • ►  April 2011 (4)
    • ►  March 2011 (3)
    • ►  January 2011 (3)
  • ►  2010 (2)
    • ►  December 2010 (1)
    • ►  June 2010 (1)

Created with by BeautyTemplates