Horeee, Jogjaaa!! Bisa icip-icip kuliner khas Jogja lagi nih, demikian batin saya saat diberitahu ada tugas yang mesti dihadiri secara offline di sana.
Antara senang dan khawatir saat akhir tahun lalu diinformasikan harus tugas ke Jogja. Senang karena akhirnya bisa jalan-jalan lagi setelah "dikurung" Covid-19. Di sisi lain khawatir, mengingat pandemi belum berakhir walau menurut pantauan, kondisinya tidak separah sebelumnya.
Mengingat tugas merupakan kewajiban artinya the show must go on. Dengan beragam pertimbangan maka saya memilih moda transportasi pribadi dianding transportasi umum. Alhamdulillah Paksu juga available, so Jogja, here we come!
Peta Kuliner Jogja a'la Saya
Rest Area Ungaran 492
Bisa dibilang perjalanan kuliner kami dimulai dari sini. Konon ini rest area dengan pemandangan terbaik di Tol Trans Jawa. Rest Area KM 429 yang berada di perbukitan Semarang dengan fasilitas lengkap ini didapuk memiliki view sunset yang keren manakala matahari perlahan bersembunyi di balik Gunung Ungaran.
Sayangnya kami tiba ditempat yang berada di dataran tinggi Kabupaten Semarang, Rest Area Kilometer 429 Tol Trans Jawa Ruas Semarang-Salatiga menjelang waktu subuh, setelah berkendara sekitar 6 jam dari Bogor. Alih-alih sunset, kami disuguhi sunrise yang cerah.
Mengingat ini kali kedua mampir di sini, maka ini kali kedua kami menunaikan ibadah subuh di mesjid yang terbilang besar dengan tempat wudhu yang bersih. Kondisi dalam ingatan ternyata masih sama. Air wudhu yang mengenai tubuh pun masih dingin segar, meluruhkan rasa penat setelah berkendara sekian jam.
Perbedaannya, sekarang Rest Area KM 429 memiliki lebih banyak food stall dan tempat makanan. Dari yang paling sederhana hingga Starbuck pun ada!
Untuk sarapan pagi itu, saya memilih penganan roti dan secangkir kopi hangat Starbuck. Menyesapnya sambil menikmati pemandangan Gunung Ungaran, dilimpahi angin dingin dalam keadaan belum mandi itu ternyata sesuatu sekali hihihi.
Angkringan Malioboro
Untuk makan malam di hari pertama kami putuskan untuk menikmati angkringan saja. Kuliner malam khas Jogja yang masih bertahan kepopulerannya hingga ini. Makanan yang merakyat ini banyak dijumpai di hampir seantero Jogja. Beruntung tempat penginapan kami hanya selemparan batu dari pusat kota Jogja, Malioboro. Begitu keluar dari hotel, sudah banyak terlihat jejeran tenda angkringan yang hanya terlihat dari semenjak senja hingga tengah malam atau dini hari.
Makanan angkringan sebenarnya adalah nasi bungkus berikut lauk-pauknya khas Jogja; ada tempe mendoan; aneka sate, mulai dari sate telur puyuh, sate jamur, sate kerang hingga sate sosis. Ciri khas nasi angkringan yaitu porsinya yang kecil dan dibungkus oleh daun pisang atau kertas minyak.
Nasi bungkusnya pun beragam; biasanya berupa ramesan cumi oseng pedang, nasi langgi hingga tuna pun ada.
Ciri khas lain kuliner angkringan adalah kopi areng (arang), berupa kopi tubruk hitam yang diberi arang panas sebagai upaya si kopi tetap terjaga panasnya. Unik ya?
Bakmi Jawa Mbah Gito
Makan malam hari kedua, kami sengaja ke tempat yang lebih jauh dari Malioboro. Yaitu Bakmi Jawa Mbah Gito. Bakmi Jawa atau bakmi godog khas Jogyakarta memang terbilang beda karena cara dimasak dengan arang, disiapkan satu kali masak untuk setiap porsi. Bisa dipahami mengapa kita mesti sabar menanti untuk dapat menikmatinya.
Ciri khas lain bakmi jawa kuliner Jogja ini adalah menggunakan telur bebek. Tak heran, aromanya yang kuat bisa kita hirup pada saat dihidangkan di atas meja. Siapkan irisan lombok (cabe) hijau berikut acar ketimun. Maknyuuuuss!
Sate Klatak Pak Pong
Dalam rangka berburu kuliner khas Jogja, di malam terakhir, kami arahkan si roda empat ke arah Bantul. Tepatnya Jl. Sultan Agung No.18, Jejeran II, Wonokromo, Kec. Pleret, Bantul.
Kuliner malam khas Jogja yang disantroni adalam Sate Klathaknya Pak Pong.
Sama halnya dengan sate lain, daging yang digunakan adalah daging kambing muda. Yang membuatnya diburu wisatawan adalah cara penyajiannya yang menggunakan jeruji sepeda alih-alih tusuk sate bambu pada umumnya.
Penggunaan jeruji sepeda membuat panas menyebar merata sehingga daging menjadi lebih empuk sempurna.
Selain pemakaian jeruji sepeda, cita rasa unik dari sate ini adalah disajikan dengan kuah gulai. Tidak seperti sate lainnya yang umumnya dibakar dengan baluran bumbu kecap dan beberapa rempah-rempah.
Gudeg Mbah Lindu
Jogja tanpa gudeg ibarat air laut tanpa garam. So, it's a must untuk mencicipi sayur khas Jogja yang terbuat dari nangka muda ini.
Umumnya gudeg terbuat dari gori atau nangka muda yang dimasak bersama santan, gula aren, dan bumbu-bumbu hingga benar-benar empuk. Kemudian disajikan bersama nasi putih dan aneka lauk pelengkap seperti sambal krecek, opor ayam, telur pindah, dan siraman areh bertekstur kental.
Walaupun disediakan menu gudeg di hotel tapi rasanya tidak afdol jika tidak mencicipi gudeg di tempat yang lebih orisinil.
Setelah berkonsultasi dengan Google Maps, ternyata lokasi yang dituju tidak jauh dari tempat kami menginap, yaitu di area Malioboro dan berjarak sekitar 1 Km. Kami putuskan untuk berjalan kaki saja, itung-itung olah raga pagi.
Jalan kaki pagi hari sambil mencari sarapan adalah kegiatan yang menyenangkan, bukan?
Ternyata, mbak Google Maps memberikan rute yang berkelok. Melewati gang-gang kecil bak labirin yang posisinya di belakang Malioboro. Walaupun gang kecil berukuran hanya cukup untuk 1sepeda motor, namun bersih. Dan banyak kami lihat banyak hostel kelas backpacker.
Jikalau bukan pandemi, pasti hostel-hostel ini diramaikan oleh backpacker asal wisman. Mengingat itu, hati saya mencelos. Semoga pandemi segera berlalu dan kota yang menyenangkan ini menjadi ramai seperti sedia kala. Walaupun saat kunjungan kami kemarin, Jogja sudah mulai membuka diri dengan kondisi yang tetap waspada, jaga protokol kesehatan.
Akhirnya sampai di tempat tujuan. Dari jauh sudah terlihat antrian walaupun jam belum lagi menunjukkan pukul 7.
Rupanya bukan hanya kami saja yang ingin mencicipi gudeg legendaris Mbah Lindu yang berpulang tahun 2020 lalu. Saking istimewanya beliau pernah diangkat dalam saluran menonton berbayar Netflix. Dokumentasi perjalanannya sekian lama sebagai bakul gudeg -sampai-sampai almarhumah sendiri tak ingat persisnya- dapat kita saksikan dalam Original Series Netflix yaitu Street Food: Asia.
Sekarang Mbah Lindu sudah tiada, tetapi cara memasak dan racikannya dilanjutkan oleh generasi kedua tetap sebagaimana dilakukan Simbah dahulu. Gudeg di atas tungku terbuat dari tanah liat yang memanjang. Dalam satu tungku terdapat dua lubang yang berfungsi untuk memasak.
Termasuk tetap setia menggunakan tungku kayu bakar karena tingkat kepanasan yang dihasilkan oleh kayu bakar berbeda dengan kompor gas. Kayu bakar membuat masakan gudeg menjadi terasa istimewa.
Dari warung kuliner Jogja Gudeg Mbah Lindu, saya baru tahu jika gudeg pun bisa disantap bersama bubur. Tidak hanya dengan nasi seperti yang selama ini saya ketahui.
Lupis Ketan Mbah Satinem
Selain Gudeg Mbah Lindu, Netflix pun featuring Mbah Satinem, sang legenda lupis ketan yang biasa menggelar kulakannya di selasaran Optik Yogya, tak jauh dari Tugu Selamat Datang.
Mirip dengan Gudeg Mbah Lindu, di sini pin kita harus mengantri. Antriannya bahkan lebih panjang. Agar calon pembeli tertib kita harus mengambil nomor dan akan dilayani sesuai nomor antrian. Yang membuat suasana lebih kompetitif adalah kita harus sabar diladeni oleh Mbah Satinem yang memotong satu demi satu lupis ketannya menggunakan benang. Padahal si Mbah harus bebenah sebelum toko optik beroperasi sekitar pukul 9 pagi.
Tak heran jika penikmat lupis ketan Mbah Satinem sudah mulai antri dari jam 5 pagi, selepas subuh!
Mangut Lele Mbah Marto
Dari semua kuliner khas Jogja yang saya uraikan, this is my favorit!
Kereceknya yang pedasnya top, disandingkan dengan sayur gudeg campur daun singkong plus tahu dan telur areh ditambah mangut lele. Jangan lupa kerupuk. Duuh, lidah ini berasa terperangkap dalam kenikmatan rasa yang belum bisa saya temukan di tempat lain! lebay ya? 😄
Berfoto bersama Mbah Marto |
Ada banyak hal yang tidak umum saat makan di warung Mbah Marto. Dimulai dari perjuangan untuk menemukan kediaman Mbah Marto yang terletak di tengah desa dan cukup sulit lokasi. Saking berlokasi di tengah desa, penikmat Mangut Lele Mbah Marto mesti berjalan kaki sekitar 10 menit dari tempat mobil diparkir yang di parkirnya pun di sisi sawah!
Hal tidak umum lainnya, pengunjung dipersilahkan mengambil sendiri masakan dari dapurnya langsung. Terserah mau mengambil lauk atau sayur yang mana. Makan di watung makan Mangut Lele Mbah Marto ini seperti makan di kantin kejujuran, sebutkan apa saja yang disantap pada saat pembayaran nanti. Hal yang tidak umum lainnya, pembeli harus "rela" duduk di dapur jika kursi di meja makan sudah penuh karena memang warung makan Mangut Lele Mbah Marto ini tak sepi pengunjung. Sangat disarankan untuk tidak ke sini pada jam makan siang!
Bisa jadi itu karena kuah mangut lele yang berwarna keoranyean membuat lidah kesetrum dengan rasa yang gurih pedas dengan adanya potongan cabai rawit yang besar-besar. Sensasi pedas ini semakin menambah nikmat. Bagi yang tak suka pedas, bisa tetap mengambil lauk mangut lele tanpa kuahnya ya. Sayang donk, sudah jauh-jauh ke warung ini namun tidak menikmati si mangut andalan Mbah Marto.
Itu tadi peta kuliner khas JOgja a'la saya. Dari kuliner khas Jogja di atas, mana yang juga jadi favorit Anda?