My Dairy Note's

Life Style & Family Blog Indonesia

    • Home
    • About
    • Disclosure
    • Life Style
      • Books & Movie
      • Travel
      • Culinary
      • Fotografi
    • Women in Tech
      • Blogging
      • Techno
    • Midlife Series
      • Family
      • Wellness
    • Career & Project Management
      • Project Management
makanan populer khas jogja


Horeee, Jogjaaa!!  Bisa icip-icip kuliner khas Jogja lagi nih, demikian batin saya saat diberitahu ada tugas yang mesti dihadiri secara offline di sana.

Antara senang dan khawatir saat akhir tahun lalu diinformasikan harus tugas ke Jogja.  Senang karena akhirnya bisa jalan-jalan lagi setelah "dikurung" Covid-19.  Di sisi lain khawatir, mengingat pandemi belum berakhir walau menurut pantauan, kondisinya tidak separah sebelumnya.  

Mengingat tugas merupakan kewajiban artinya the show must go on. Dengan beragam pertimbangan maka saya memilih moda transportasi pribadi dianding transportasi umum. Alhamdulillah Paksu juga available, so Jogja, here we come!


Peta Kuliner Jogja a'la Saya

Rest Area Ungaran 492

Bisa dibilang perjalanan kuliner kami dimulai dari sini. Konon ini rest area dengan pemandangan terbaik di Tol Trans Jawa.  Rest Area KM 429 yang berada di perbukitan Semarang dengan fasilitas lengkap ini didapuk memiliki view sunset yang keren manakala matahari perlahan bersembunyi di balik Gunung Ungaran.

Sayangnya kami tiba ditempat yang berada di dataran tinggi Kabupaten Semarang, Rest Area Kilometer 429 Tol Trans Jawa Ruas Semarang-Salatiga menjelang waktu subuh, setelah berkendara sekitar 6 jam dari Bogor.  Alih-alih sunset, kami disuguhi sunrise yang cerah.  

Mengingat ini kali kedua mampir di sini, maka ini kali kedua kami menunaikan ibadah subuh di mesjid yang terbilang besar dengan tempat wudhu yang bersih.  Kondisi dalam ingatan ternyata masih sama.  Air wudhu yang mengenai tubuh pun masih dingin segar, meluruhkan rasa penat setelah berkendara sekian jam.

Starbuck di Rest Area KM 429 Tol Trans Jawa.Starbucks di rest area km 429 Tol Trans Jawa

Perbedaannya, sekarang Rest Area KM 429 memiliki lebih banyak food stall dan tempat makanan.  Dari yang paling sederhana hingga Starbuck pun ada!  

Untuk sarapan pagi itu, saya memilih penganan roti dan secangkir kopi hangat Starbuck.  Menyesapnya sambil menikmati pemandangan Gunung Ungaran, dilimpahi angin dingin dalam keadaan belum mandi itu ternyata sesuatu sekali 😊

Angkringan Malioboro

Untuk makan malam di hari pertama kami putuskan untuk menikmati angkringan saja.  Kuliner malam khas Jogja yang masih bertahan kepopulerannya hingga ini.  Makanan yang merakyat ini banyak dijumpai di hampir seantero Jogja.  Beruntung tempat penginapan kami hanya selemparan batu dari pusat kota Jogja, Malioboro.  Begitu keluar dari hotel, sudah banyak terlihat jejeran tenda angkringan yang hanya terlihat dari semenjak senja hingga tengah malam atau dini hari.




angkringan makanan populer khas Jogja
kopi areng kuliner khas angkringan joga


Makanan angkringan sebenarnya adalah nasi bungkus berikut lauk-pauknya khas Jogja; ada tempe mendoan; aneka sate, mulai dari sate telur puyuh, sate jamur, sate kerang hingga sate sosis.  Ciri khas nasi angkringan yaitu porsinya yang kecil dan dibungkus oleh daun pisang atau kertas minyak.

Nasi bungkusnya pun beragam; biasanya berupa ramesan cumi oseng pedang, nasi langgi hingga tuna pun ada.

Ciri khas lain kuliner angkringan Jogja adalah kopi areng (arang), berupa kopi tubruk hitam yang diberi arang panas sebagai upaya si kopi tetap terjaga panasnya.  Unik, ya?


Bakmi Jawa Mbah Gito

Makan malam hari kedua, kami sengaja ke tempat yang lebih jauh dari Malioboro.  Yaitu Bakmi Jawa Mbah Gito.  Bakmi Jawa atau bakmi godog khas kuliner Jogyakarta ini memang terbilang beda karena cara masaknya dengan arang di atas anglo, sehingga disiapkan satu kali masak untuk setiap porsi.  Bisa dipahami mengapa kita mesti sabar menanti untuk dapat menikmatinya.

Ciri khas lain Bakmi Jawa kuliner Jogja ini adalah menggunakan telur bebek.  Tak heran, aromanya yang kuat bisa kita hirup pada saat dihidangkan di atas meja.  Siapkan irisan lombok (cabe) hijau berikut acar ketimun.  Maknyuuuuss!

bakmi jawa mbah gito kuliner khas jogja


Sate Klatak Pak Pong

sate klatak pak pong kuliner khas jogja


Dalam rangka berburu kuliner khas Jogja, di malam terakhir, kami arahkan si roda empat ke arah Bantul.  Tepatnya Jl. Sultan Agung No.18, Jejeran II, Wonokromo, Kec. Pleret, Bantul.

Kuliner malam khas Jogja yang disantroni adalam Sate Klathaknya Pak Pong.

Sama halnya dengan sate lain, daging yang digunakan adalah daging kambing muda.  Yang membuatnya diburu wisatawan adalah cara penyajiannya yang menggunakan jeruji sepeda alih-alih tusuk sate bambu pada umumnya.  

Penggunaan jeruji sepeda membuat panas menyebar merata sehingga daging menjadi lebih empuk sempurna.  

Selain pemakaian jeruji sepeda, cita rasa unik dari sate ini adalah disajikan dengan kuah gulai. Tidak seperti sate lainnya yang umumnya dibakar dengan baluran bumbu kecap dan beberapa rempah-rempah.


Gudeg Mbah Lindu

Jogja tanpa gudeg ibarat air laut tanpa garam.  So, it's a must untuk mencicipi sayur kuliner khas Jogja yang terbuat dari nangka muda ini.  

Umumnya gudeg terbuat dari gori atau nangka muda yang dimasak bersama santan, gula aren, dan bumbu-bumbu hingga benar-benar empuk. Kemudian disajikan bersama nasi putih dan aneka lauk pelengkap seperti sambal krecek, opor ayam, telur pindah, dan siraman areh bertekstur kental.

Walaupun disediakan menu gudeg di hotel tapi rasanya tidak afdol jika tidak mencicipi gudeg di tempat yang lebih orisinil.  

Setelah berkonsultasi dengan Google Maps, ternyata lokasi yang dituju tidak jauh dari tempat kami menginap, yaitu di area Malioboro dan berjarak  sekitar 1 Km.  Kami putuskan untuk berjalan kaki saja, itung-itung olah raga pagi.

Jalan kaki pagi hari sambil mencari sarapan adalah kegiatan yang menyenangkan, bukan?


gudeg kuliner khas jogja


Ternyata, mbak Google Maps memberikan rute yang berkelok.  Melewati gang-gang kecil bak labirin yang posisinya di belakang Malioboro.  Walaupun gang kecil berukuran hanya cukup untuk 1sepeda motor, namun bersih.  Dan banyak kami lihat banyak hostel kelas backpacker.  

Jikalau bukan pandemi, pasti hostel-hostel ini diramaikan oleh backpacker asal wisman.  Mengingat itu, hati saya mencelos.  Semoga pandemi segera berlalu dan kota yang menyenangkan ini menjadi ramai seperti sedia kala.  Walaupun saat kunjungan kami kemarin, Jogja sudah mulai membuka diri dengan kondisi yang tetap waspada, jaga protokol kesehatan.

Akhirnya sampai di tempat tujuan.  Dari jauh sudah terlihat antrian walaupun jam belum lagi menunjukkan pukul 7.

Rupanya bukan hanya kami saja yang ingin mencicipi gudeg legendaris Mbah Lindu yang berpulang tahun 2020 lalu.  Saking istimewanya beliau pernah diangkat dalam saluran menonton berbayar Netflix.  Dokumentasi perjalanannya sekian lama sebagai bakul gudeg -sampai-sampai almarhumah sendiri tak ingat persisnya- dapat kita saksikan dalam Original Series Netflix yaitu Street Food: Asia. 

gudeg mbah lindu kuliner khas jogja


Saat ini Mbah Lindu sudah tiada, tetapi cara memasak dan racikannya dilanjutkan oleh generasi kedua tetap sebagaimana dilakukan Simbah dahulu.  Gudeg di atas tungku terbuat dari tanah liat yang memanjang. Dalam satu tungku terdapat dua lubang yang berfungsi untuk memasak.

Termasuk tetap setia menggunakan tungku kayu bakar karena tingkat kepanasan yang dihasilkan oleh kayu bakar berbeda dengan kompor gas. Kayu bakar membuat masakan gudeg menjadi terasa istimewa.

Dari warung kuliner Jogja Gudeg Mbah Lindu, saya baru tahu jika gudeg pun bisa disantap bersama bubur.  Tidak hanya dengan nasi seperti yang selama ini saya ketahui.


Lupis Ketan Mbah Satinem

Selain Gudeg Mbah Lindu, Netflix pun featuring Mbah Satinem, sang legenda lupis ketan yang biasa menggelar kulakannya di selasaran Optik Yogya, tak jauh dari Tugu Selamat Datang. 

Mirip dengan Gudeg Mbah Lindu, di sini pin kita harus mengantri.  Antriannya bahkan lebih panjang.  Agar calon pembeli tertib kita harus mengambil nomor dan akan dilayani sesuai nomor antrian.  Yang membuat suasana lebih kompetitif adalah kita harus sabar diladeni oleh Mbah Satinem yang memotong satu demi satu lupis ketannya menggunakan benang.  Padahal si Mbah harus bebenah sebelum toko optik beroperasi sekitar pukul 9 pagi.

Tak heran jika penikmat lupis ketan Mbah Satinem sudah mulai antri dari jam 5 pagi, selepas subuh!


lupis ketan mbah satinem kuliner khas jogja


Mangut Lele Mbah Marto

Dari semua kuliner khas Jogja yang saya uraikan, this is my favorit!

Kereceknya yang pedasnya top, disandingkan dengan sayur gudeg campur daun singkong plus tahu dan telur areh ditambah mangut lele.  Jangan lupa kerupuk.  Duuh, lidah ini berasa terperangkap dalam kenikmatan rasa yang belum bisa saya temukan di tempat lain!  bombastis, ya? 😄

mangut lele mbah marto kuliner khas jogja

mangut lele mbah marto kuliner khas jogja
Berfoto bersama Mbah Marto
Ada banyak hal yang tidak umum saat makan di warung Mbah Marto.  Dimulai dari perjuangan untuk menemukan kediaman Mbah Marto yang terletak di tengah desa dan cukup sulit lokasi.  Saking berlokasi di tengah desa, penikmat Mangut Lele Mbah Marto mesti berjalan kaki sekitar 10 menit dari tempat mobil diparkir yang di parkirnya pun di sisi sawah! 

Hal tidak umum lainnya, pengunjung dipersilahkan mengambil sendiri masakan dari dapurnya langsung.  Terserah mau mengambil lauk atau sayur yang mana.  Makan di warung makan Mangut Lele Mbah Marto ini seperti makan di kantin kejujuran, sebutkan apa saja yang disantap pada saat pembayaran nanti.  Hal yang tidak umum lainnya, pembeli harus "rela" duduk di dapur jika kursi di meja makan sudah penuh karena memang warung makan Mangut Lele Mbah Marto ini tak sepi pengunjung.  Sangat disarankan untuk tidak ke sini pada jam makan siang!

Bisa jadi itu karena kuah mangut lele yang berwarna keoranyean membuat lidah kesetrum dengan rasa yang gurih pedas dengan adanya potongan cabai rawit yang besar-besar. Sensasi pedas ini semakin menambah nikmat. Bagi yang tak suka pedas, bisa tetap mengambil lauk mangut lele tanpa kuahnya ya.  Sayang donk, sudah jauh-jauh ke warung ini namun tidak menikmati si mangut andalan Mbah Marto.  




Itu tadi peta kuliner khas JOgja a'la saya.  Dari kuliner khas Jogja di atas, mana yang juga jadi favorit Anda?

Share
Tweet
Pin
Share
7 comments

There is a saying if Kraton or king's palace is the heart, Malioboro is the artery.  Then Pasar Beringharjo makes the beat of the city.  Beringharjo get along followed not long after Kraton was established in 1758.  No wonder if both have historical and philosophical value especially for the local.

Patterns of the city include four essential public functionalities.  The palace as the center of government.  The squares (alun-alun) as public space.  The mosque as a place of worship.  And the market as the center of economic activities.

Beringharjo located at the end of Malioboro, the main road runs on a north-south axis.  It follows an important Java's cosmology which is connecting Mount Merapi, the palace, and southern ocean.  None can miss this interesting spot.

Don't ask how many times I've visited this place.  I am countless.  I am pretty sure it should be the same number I visit Jogja though.

I never get tired of this city.  Jogja memang Jogyes!  


street photography pasar beringharjo jogjakarta



street photography pasar beringharjo jogjakarta

street photography pasar beringharjo jogjakarta

street photography pasar beringharjo jogjakarta

street photography pasar beringharjo jogjakarta

street photography pasar beringharjo jogjakarta

street photography pasar beringharjo jogjakarta

street photography pasar beringharjo jogjakarta


street photography pasar beringharjo jogjakarta


street photography pasar beringharjo jogjakarta


Share
Tweet
Pin
Share
20 comments
Yen tak itung-itung, di tahun 2017 ini ternyata saya sudah tiga kali menjejak Jogjakarta.  Ketiganya dilakukan untuk occasion yang berbeda dan teman pergi yang nggak sama pula.

Kesamaan dari ketiga kunjungan adalah; mencoba kuliner lokal yang sedang hits plus mendatangi tempat wisata yang sedang 'in'.  Dari semua tempat yang dikunjungi, ada satu yang catch my attention.  Satu tempat unik yang saya datangi bersama rombongan teman-teman SMA.

Bagian Teras
















Mulanya saya senang hati saat rombongan diarahkan ke Kota Gede.  Mendengar namanya saja sudah membubungkan khayal akan lorong-lorong kota beraroma vintage.  Pastinya asik untuk foto hunting.  Namun khayalannya langsung terjerembab saat salah satu teman membisikkan bahwa tujuan kali ini adalah butiknya Lulu Lutfi Labibi.  Lho, jalan-jalan kok ke butik, emang ada yang mau shopping?


Lesehan di teras, serasa di rumah sendiri


Lagipula, siapa pula itu Lulu?  Lo nggak tahu, Na?  Itu lho, perancang baju yang terkenal.  Teman yang lain ikut menambahkan keterangan tentang orang yang dimaksud.  Still, I have no idea 😁

Begini salah satu resiko bepergian dalam rombongan.  Tidak mudah menyatukan keinginan, menyelaraskan ide.  Yowis, nikmati saja.


The Rumpies ^_^
Di kejauhan sana adalah mulut gang, Pasar Kota Gede

Hingga akhirnya shuttle bus berhenti di jantung Kota Gede.  Tak jauh dari pasar yang jalannnya pas untuk dua mobil, kendaraan kami berhenti.  Rupanya lokasi yang dituju masih harus ditempuh dengan jalan kaki.  Kami masuk ke sebuah gang yang lebarnya hanya cukup dilewati oleh satu kendaraan roda empat.  Ukuran yang terlalu kecil untuk shuttle bus yang kami pakai siang itu.


Sebelah kiri ruang display, sebelah kanan galeri

Di sepanjang gang, saya lihat aneka warna dan bentuk jendela serta pintu.  Jalanan yang kami lewati pun relatif bersih, no sampah dan bebas bau pesing sebagaimana yang sering dijumpai di 'jalanan gang'.  Bukti jika penduduk setempat menjaga benar kebersihan lingkungan.  Saat berjalan kaki itulah saya merasakan Jogja sebagaimana yang saya tahu.   Sesekali kami harus menepi, memberikan akses bagi pengendara motor yang melintas.

Rasanya tak jauh kami melangkah dari pinggir jalan, penglihatan langsung dihadapkan dengan tanah lapang -mungkin hampir sepertiga lapangan sepak bola- berikut deretan rumah joglo dengan ukuran besar di bagian belakangnya.  Bentuk tanah yang demikian rupa biasanya disebut ngantong.  Ada sebagian orang meyakini, model tanah seperti ini mendatangkan hoki bagi pemiliknya.  Wallahu alam.

Rombongan bergerak ke arah kiri lapangan.  Di sebelah kiri berdiri beberapa bangunan,  Bentuknya tidak besar dengan desain yang tidak kekinian.  Kesan teduh langsung menyambut mata karena selain memang dirimbuni banyak pepohonan, material kayu menguatkan suasana teduh yang diinginkan.  Teduh dan homy, tepatnya.  Well, begitu sih yang saya rasakan.




Sebagain dari kami ada yang mengarahkan langkah ke sebelah kanan.  Langsung lesehan di meja-meja rendah yang ditata rapih pada pelataran sebuah rumah joglo yang luas.  Nampak piring berisi jadah dan kacang dibungkus plastik dalam toples kaca bening model jadul.  Toples yang melemparkan ingatan akan toples milik mbah saya, dulu.

Di saat itulah saya baru menyadari jika rumah sekaligus butik ini ternyata unik.  Rupanya keunikan rumah Lulu ini sudah diketahui khalayak terutama penggemar karya-karya Lulu.  Waalaah, ketahuan kurang gaulnya, nih!

sumber foto: instagy.com/user/lululutfilabibi/media/3


Sumber foto: dewimagazine.com
Setiap bangunan memiliki desain dan peruntukan yang berbeda.  Bangunan yang terlihat di sebelah kiri tadi rupanya salah satu ruang kerja sang desainer.  Bersebelahan dengan bangunan tersebut, yang berupa teras, tempat biasa Mas Lutfi menerima tamu-tamunya.



Salah satu rumah di Kampung Pekaten

Nggak cuma di situ.  Bagian dalamnya makin unik.  Ruang display baju karya sang desainer dibiarkan bebas bergantungan di sebuah ruangan panjang yang kaya sinar matahari karena sebagian ruangnya full kaca.  Di seberang ruang display terlihat ruang galeri.  Dua ruangan tersebut dipisahkan oleh kolam panjang berisi teratai.   Sebuah jembatan kayu kecil menghubungkan keduanya.

Tenggelam dalam rasa penasaran akan uniknya rumah tersebut, saya memilih untuk menjelajah area di sekitaran sementara kawan-kawan lain sibuk memilah pakaian sang perancang.



Masih (salah satu) rumah di Kampung Pekaten


Kembali ke bagian muka dan melintasi lapangan di muka rumah joglo yang diperuntukan sebagai restoran, indra penglihatan saya tertumbuk pada bangunan lain di seberang lapangan.  Walaupun bukan joglo, tapi sama  menyuguhkan nostalgi akan rumah lama.  Lagi-lagi mereka menjadi korban bidik kamera saya.





Entah berapa lama saya habiskan, mengeksplor lingkungan di sekitaran rumah sang desainer.  Saking asiknya membidik, saya sampai lupa waktu dan kehilangan kesempatan wefie bareng sang perancang di akhir kunjungan hari itu.  Belakangan saya baru tahu jika mas desainer yang membumi itu adalah langganan selebrities ibukota.  Yaahh, walau tak membeli hasil rancangnya, minimal saya  punya jejak rekam pernah berfoto bersama sang pemilik butik.

Jika wajah beberapa teman sumringah karena membawa karya Mas Lutfi.  Hati saya membuncah  karena berhasil menyimpan sepotong kecil wajah Kota Gede dalam flash disk kamera.  What a lovely surprise!

Jogjakarta seakan tidak pernah lelah memberikan kejutan.  Acapkali saya ke kota ini, selalu ada yang baru disuguhkan untuk memanjakan; tidak saja indra pengecap tapi juga mata bahkan emosi.  Kejutan yang kadang berani tampil mandiri, tak jarang sembunyi dan harus kita cari terlebih dahulu.  Seperti rumah butik unik Lulu Lutfi Labibi yang seolah tertimbun keriuhan Pasar Gede, di dalam gang dan tanpa penunjuk bahwa di dalam Kampung Pekaten, ada suasanan asri yang menyegarkan.


_________



====

Trivia fact:
- Lulu Lutfi Labibi is one of talented Indonesian designer, origin from Jogjakarta, first winner of Lomba Perancan Mode (LPM) 2011.
- He is known for his draping techniques, similar with Japanese style.  He is using local cloth such lurik, batik or mix of both.  His creations is allowing his customer for mix & match even it is not a pair.
- For further, visit his fan page https://www.facebook.com/lulu.lutfilabibi


Share
Tweet
Pin
Share
32 comments

I feel so crafty today and made this scrappy page.


It's about places I want to see and foods I would to taste once I visit Solo.

Though I've visited Jogja many times which geographically close to Solo but never been to Solo at all.  Weird, isn'it ?!

I wish I could make this trip sometimes this year.

Happy travelling !

thinking to make similar scrappy pages for my other Travel's Bucket List :)




Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Masih dari family trip ke Jogja kemaren.

Sayang kalo ga dishare, enjoy !




barisan becak di depan Pasar Burung

kaos Dagadu

mending ngobrol ma Pak Agus penarik becak dari pada milih kaos Dagadu ^_^



Share
Tweet
Pin
Share
2 comments
Hari ke-3 menjadi Dora The Explorer.  Peta kesayangan makin lecek karena udah dibuka-tutup berulang kali.  Kalo mentok ga nemu arah, baru deh pake GPS manual alias nanya sama orang ;)

Hari ini juga bakalan jadi hari terakhir kami di kota Gudeg.  Keesokan hari harus kembali pulang and ready go back to routine !  Ewwhhhh....

Pagi-pagi we headed to east part of Jogjakarta to visit Prambanan Temple.  Yup, not the Borobudur as it has been visited few times already.

I will not talk much as I did yesterday.  Anyhow, pictures can tells more than thousand words, right ?





Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Hellow Jogja !!

Hari ke-2 dibuka dengan nyeburnya anak-anak ke kolam berenang.  Kalo ga ditahan-tahan, dari semalam kita check-in, bawannya udah mau nyemplung ke kolam renang aja.

We had to ask the kid to stop swimming as time it ticking otherwise we could not meet our agenda for that day; visiting Keraton, Tamansari and the beach.  We haven't decided yet which beach to go because we found several beaches is interesting to see.  The most recent and "recommended" one is Indrayanti Beach at Wonosari, 2 hours driving from Jogjakarta.

After having nice brunch at Indah Palace Hotel, we went to Keraton and park our car at North Alun-alun.  Turns out the location is not that far from our hotel.   


https://maps.google.co.id/maps?hl=id


Karena kami berada di Alun-alun Utara maka kami masuk ke kompleks Keraton melalui Tepas Keprajuritan.  Tidak banyak area yang bisa dinikmati di sini; hanya Bangsal Pagelaran dan Siti Hinggil.  Jika ingin lebih lengkap melihat objek Keraton maka diakses dari Tepas Pariwisata dengan menyusuri jalan Rotowijayan.  

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Libur telah tiba !!

It means saatnya menjadi Dora The Explorer lagi...^_^
Can't wait that day, not only the kids but also myself.  I've always like holiday as holidays means story.  Holidays also means stories and experience.  Even our 5-years old boy, already knows the excitement of holidays.




Jauh sebelum maraknya blog tentang travel seperti sekarang ini, saya selalu mencari informasi tentang daerah yang akan dikunjungi.  Dimulai dari tidur di mana, lokasi pariwisatanya hingga tempat makan favorit.  Dengan adanya internet seperti sekarang ini memang rasanya lebih mudah dalam mengatur liburan.  Hasil browsing akhirnya ketemu web tentang Jogjakarta yang menurut aku sangat informatif dan ngebantu banget untuk biking itinerary liburan pendek.  Kontennya lengkap banget, mulai dari where to stay, what to see and where to go around.  Berhubung this is family holiday sama anak-anak, jadi unsur fun and edukatasi wajib tetap ada :)  

We don't really have any relatives or family in Jogja but somehow my husband and I love this city.  It's been many times we come to this town yet many places we haven't explored.  Jadi, bawa peta Jogja selain peta Jawa adalah keharusan.  Untuk perjalanan jauh seperti kali ini, formasinya adalah hubby will be our driver and me as the navigator.

This time, I will then posted our holidays according to dates.  Starting from July 10, the first day of the journey.

That day has come -at last- ...all set, things are packed, get set and we’re ready to GO !!


Share
Tweet
Pin
Share
2 comments
Older Posts

Follow Me


          

recent posts

Popular Posts

  • 5 Mie Ayam Enak di Bogor
  • Serunya Wisata Satu Hari di Cirebon
  • Paralayang; Uji Nyali di Puncak Kebun Teh

Blog Archive

  • ▼  2025 (3)
    • ▼  August 2025 (1)
      • Mulai Lagi dari Awal: Law of Attraction, Doa, dan ...
    • ►  July 2025 (1)
    • ►  June 2025 (1)
  • ►  2022 (2)
    • ►  June 2022 (2)
  • ►  2021 (12)
    • ►  August 2021 (1)
    • ►  July 2021 (3)
    • ►  June 2021 (2)
    • ►  May 2021 (1)
    • ►  February 2021 (1)
    • ►  January 2021 (4)
  • ►  2020 (7)
    • ►  December 2020 (2)
    • ►  October 2020 (1)
    • ►  April 2020 (2)
    • ►  March 2020 (1)
    • ►  January 2020 (1)
  • ►  2019 (17)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  October 2019 (2)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  July 2019 (1)
    • ►  May 2019 (2)
    • ►  March 2019 (5)
    • ►  February 2019 (1)
    • ►  January 2019 (4)
  • ►  2018 (25)
    • ►  December 2018 (4)
    • ►  November 2018 (4)
    • ►  October 2018 (3)
    • ►  August 2018 (2)
    • ►  July 2018 (5)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  March 2018 (1)
    • ►  February 2018 (2)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (18)
    • ►  December 2017 (5)
    • ►  November 2017 (3)
    • ►  October 2017 (1)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  August 2017 (3)
    • ►  June 2017 (1)
    • ►  April 2017 (1)
    • ►  February 2017 (1)
    • ►  January 2017 (1)
  • ►  2016 (37)
    • ►  December 2016 (1)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (4)
    • ►  May 2016 (2)
    • ►  April 2016 (9)
    • ►  March 2016 (8)
    • ►  February 2016 (3)
    • ►  January 2016 (6)
  • ►  2015 (75)
    • ►  December 2015 (2)
    • ►  November 2015 (7)
    • ►  October 2015 (3)
    • ►  September 2015 (6)
    • ►  August 2015 (5)
    • ►  July 2015 (19)
    • ►  June 2015 (4)
    • ►  May 2015 (3)
    • ►  April 2015 (7)
    • ►  March 2015 (5)
    • ►  February 2015 (9)
    • ►  January 2015 (5)
  • ►  2014 (39)
    • ►  December 2014 (2)
    • ►  November 2014 (1)
    • ►  October 2014 (2)
    • ►  September 2014 (4)
    • ►  August 2014 (5)
    • ►  July 2014 (2)
    • ►  June 2014 (3)
    • ►  May 2014 (4)
    • ►  April 2014 (2)
    • ►  March 2014 (2)
    • ►  February 2014 (5)
    • ►  January 2014 (7)
  • ►  2013 (36)
    • ►  December 2013 (5)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (5)
    • ►  August 2013 (1)
    • ►  June 2013 (1)
    • ►  May 2013 (4)
    • ►  April 2013 (6)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (2)
  • ►  2012 (28)
    • ►  December 2012 (2)
    • ►  November 2012 (3)
    • ►  October 2012 (3)
    • ►  September 2012 (4)
    • ►  August 2012 (4)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  May 2012 (1)
    • ►  April 2012 (1)
    • ►  March 2012 (1)
    • ►  February 2012 (1)
    • ►  January 2012 (3)
  • ►  2011 (28)
    • ►  December 2011 (2)
    • ►  November 2011 (3)
    • ►  October 2011 (1)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  August 2011 (4)
    • ►  July 2011 (2)
    • ►  June 2011 (4)
    • ►  May 2011 (1)
    • ►  April 2011 (4)
    • ►  March 2011 (3)
    • ►  January 2011 (3)
  • ►  2010 (2)
    • ►  December 2010 (1)
    • ►  June 2010 (1)

Created with by BeautyTemplates