Visit Jogja 2012 : Day #2
Hellow Jogja !!
Hari ke-2 dibuka dengan nyeburnya anak-anak ke kolam berenang. Kalo ga ditahan-tahan, dari semalam kita check-in, bawannya udah mau nyemplung ke kolam renang aja.
We had to ask the kid to stop swimming as time it ticking otherwise we could not meet our agenda for that day; visiting Keraton, Tamansari and the beach. We haven't decided yet which beach to go because we found several beaches is interesting to see. The most recent and "recommended" one is Indrayanti Beach at Wonosari, 2 hours driving from Jogjakarta.
We had to ask the kid to stop swimming as time it ticking otherwise we could not meet our agenda for that day; visiting Keraton, Tamansari and the beach. We haven't decided yet which beach to go because we found several beaches is interesting to see. The most recent and "recommended" one is Indrayanti Beach at Wonosari, 2 hours driving from Jogjakarta.
After having nice brunch at Indah Palace Hotel, we went to Keraton and park our car at North Alun-alun. Turns out the location is not that far from our hotel.
Menurut tour guide yang mendampingi, pada jaman dahulu suara Sultan akan terdengar sampai ke alun-alun. Jadi pelataran atau Tarub Agung tersebut berfungsi sebagai alat pengeras suara. Waahh, canggih juga ya, ga nyangka orang-orang jaman segitu kunonya [menurut saya sih kuno (^_^)] sudah merasa perlu adanya alat pengeras suara. Tanpa alat bantu, macam loud speaker seperti yang kita kenal sekarang, mereka bisa menemukan solusinya. Karena polusi suara saat ini di sekitaran Alun-alun Utara boleh dibilang gema di Tarub Agung sulit untuk terdengar lagi. Jika Anda beruntung berada area tersebut dan tidak terdapat banyak orang, coba deh bertepuk tangan and tell me what you hear !
Karena kami berada di Alun-alun Utara maka kami masuk ke kompleks Keraton melalui Tepas Keprajuritan. Tidak banyak area yang bisa dinikmati di sini; hanya Bangsal Pagelaran dan Siti Hinggil. Jika ingin lebih lengkap melihat objek Keraton maka diakses dari Tepas Pariwisata dengan menyusuri jalan Rotowijayan.
Pandangan lepas ke Alun-alur Lor dari Tarub Agung |
Konon, Siti Hinggil digunakan pada zaman dulu oleh Sultan untuk menyaksikan para prajurit keraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara Garebeg. Tempat ini pula menjadi awal prosesi perjalanan panjang upacara pemakaman Sultan yang mangkat ke Imogiri. Sekarang, Siti Hinggil Kidul digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum semisal wayang kulit atau pameran.
Pada zamannya, Bangsal Pagelaran merupakan tempat para punggawa kesultanan menghadap Sultan pada upacara resmi. Sekarang sering digunakan untuk even-even pariwisata, religi, dan lain-lain disamping untuk upacara adat keraton.
Menurut tour guide yang mendampingi, pada jaman dahulu suara Sultan akan terdengar sampai ke alun-alun. Jadi pelataran atau Tarub Agung tersebut berfungsi sebagai alat pengeras suara. Waahh, canggih juga ya, ga nyangka orang-orang jaman segitu kunonya [menurut saya sih kuno (^_^)] sudah merasa perlu adanya alat pengeras suara. Tanpa alat bantu, macam loud speaker seperti yang kita kenal sekarang, mereka bisa menemukan solusinya. Karena polusi suara saat ini di sekitaran Alun-alun Utara boleh dibilang gema di Tarub Agung sulit untuk terdengar lagi. Jika Anda beruntung berada area tersebut dan tidak terdapat banyak orang, coba deh bertepuk tangan and tell me what you hear !
Sayangnya area Tepas Keprajuritan tidak seluas area Tepas Pariwisata. Jadi baru saja mengitari ruangan yang sekarang dipakai untuk memajang foto Sultan dari Sultan HB IV hingga Sultan yang terakhir, aksesnya sudah ditutup oleh pintu gerbang tinggi besar berwarna hijau yang masih terlihat kokoh. Ternyata gerbang Regol Brojonolo ini hanya dibuka pada saat acara resmi kerajaan dan di hari-hari lain selalu dalam keadaan tertutup. No wonder ....
Selepas mengitari Tepas Keprajuritan, dengan becak kami menuju Tamansari.
Yaitu situs bekas taman atau kebun istana Keraton Yogyakarta dibangun pada zaman Sultan Hamengku Buwono I
pada tahun 1758-1765. Taman yang mendapat sebutan "The Fragrant Garden" ini kabarnya berluas lebih dari 10 hektar dengan sekitar 57 bangunan baik berupa gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, maupun danau buatan beserta pulau buatan dan lorong bawah air. Kebun yang digunakan secara efektif antara 1765-1812 ini pada mulanya membentang dari barat daya kompleks Kedhaton sampai tenggara kompleks Magangan. Namun saat ini, sisa-sisa bagian Taman Sari yang dapat dilihat hanyalah yang berada di barat daya kompleks Kedhaton saja.
Dari semua bangunan yang ada di situs ini, bagian kolam Umbul Binangun yang masih terlihat dalam kondisi yang paling baik. Umbul Binangun merupakan kolam pemandian yang diperuntukan khusus bagi Sultan, para istri beliau, serta para putri-putri beliau.
Di lokasi yang sama terdapat bangunan tempat berganti pakaian dan tempat istirahat Sultan. Menara di bagian tengah konon digunakan Sultan untuk melihat istri dan para selirnya yang sedang mandi [oups, sensor !!]. Pada zamannya, selain Sultan, hanyalah para perempuan yang diizinkan untuk masuk ke kompleks ini. Ini di mungkinkan karena semua perempuan (permaisuri, istri ( selir ) dan para putri sultan) yang masuk ke dalam taman sari ini harus lepas baju, sehingga selain perempuan di larang keras oleh Sultan untuk masuk ke Taman Sari.
Kekaguman saya masih berlanjut ketika tahu bahwa bangunan ini berlantai dua ke bawah tanah. Sambil dengerin si tour guide menerangkan sambil ngebayangin pake cara apa orang-orang jaman itu menggali sampai ke dalaman sekian meter ke bawah tanah secara eksavator aja belum ditemukan !!
Kenapa di sebut Pulau Cemethi ?
Jadi rupanya -di masa kejayaannya dulu- ketika seluruh area tertutup oleh air maka yang terlihat dari permukaan adalah bangunan pintu masuk ini. Bangunan dirancang sedemikian rupa seolah-olah mengapung di tengah danau buatan tersebut. Karena ruangan "tergenang" air maka dibangun juga ventilasi air yang disebut Tajug (sayang ga kepotret, hiks).
Saking asiknya saya jepret sana jepret sini, pas nengok lho....kok tinggal sendirian. Yang lain pada ke mana ? Ga janji kalo harus ngulang jalan tadi tanpa pemandu, bisa-bisa nyasar masuk ke rumah penduduk yang memadati kompleks situs ini. Akhirnya telepon suami, minta dia balik lagi untuk jemput, hahaha... !!
Puing-puing ini terlihat dari atas Gedhong Gapura Hageng. Sayangnya hanya sedikit bekas-bekas kejayaan yang masih dapat dilihat. Area danau buatan sekarang telah berubah menjadi perkampungan padat penduduk.
Hari kedua kami akhiri dengan mengunjungi Pantai Depok mengingat lokasi Pantai Indrayanti lebih jauh. Selain karena jaraknya yang relatif dekat dari kota Jogja, rekomendasi makan malam dengan sea food juga menjadi alasan kami meluncur ke sana.
Hanya berjarak 1,5 Km dari the famous Parangtritis, maka pasir di Pantai Depok juga berwarna gelap. Dibandingkan Parangtritis, Pantai Depok relatif lebih kecil. Kami tiba di Pantai Depok menjelang matahari jatuh ke ufuk Barat. Sayang, sunsetnya ga bagus. Yet we enjoy every moment we spent there.
Selain jajaran warung makanan yang menjual aneka menu makanan laut, kita juga bisa menikmati jagung bakar aneka rasa sebagai cemilan. Jejeran warung makan yang berdiri di pantai tampak sederhana dengan atap limasan dan tempat duduk dirancang lesehan menggunakan tikar dan meja-meja kecil. Walau sederhana, warung makan tampak bersih dan nyaman. Cara memesannya pun bukan dengan satuan porsi tapi dalam bentuk kilo-an. Jadi pesan udang 1 kilo, pesan ikan 1/2 Kg dst. Tinggal kita sebutkan cara masaknya, mau udang goreng tepung atau kepiting saos padang. Slllrrrrppp banget 'kann.....
Lelahnya perjalanan keliling Keraton dan situs Taman Sari disudahi dengan menu sea food yang cepat tandas ^_^.
Baca juga:
- Dora The Explorer: Day #1
- Dora The Explorer : Day #3
Selepas mengitari Tepas Keprajuritan, dengan becak kami menuju Tamansari.
Pintu Gerbang Taman Sari - Gedhong Gapura Hageng |
Konon, Taman Sari dibangun di bekas keraton lama, Pesanggrahan Garjitawati, yang didirikan oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai tempat istirahat kereta kuda yang akan pergi ke Imogiri.
Pemandangan dari atas Gedhong Gapura Hageng ke arah kolam |
Kolam Umbul Binangun |
Di lokasi yang sama terdapat bangunan tempat berganti pakaian dan tempat istirahat Sultan. Menara di bagian tengah konon digunakan Sultan untuk melihat istri dan para selirnya yang sedang mandi [oups, sensor !!]. Pada zamannya, selain Sultan, hanyalah para perempuan yang diizinkan untuk masuk ke kompleks ini. Ini di mungkinkan karena semua perempuan (permaisuri, istri ( selir ) dan para putri sultan) yang masuk ke dalam taman sari ini harus lepas baju, sehingga selain perempuan di larang keras oleh Sultan untuk masuk ke Taman Sari.
Menara "intip" di Blumbang Kuras |
Kalau tidak salah info, pemandian di Taman Sari ini tidak aktif lagi digunakan semenjak HB V.
Ketika kami berkunjung kemarin, terlihat aktivitas renovasi di kompleks bersejarah tersebut. Alhasil, kolam-kolam yang sedianya terisi air menjadi tempat semen berikut kawan-kawannya. Ga asik banget deh buat obyek foto-foto ....
Oh ya, sebelum keliling komplek pemandian Taman Sari, sempetin dulu foto di atas Gedhong Gapura Hageng. Di belakang terlihat reruntuhan bangunan. Dari warnanya kelihatan kalo itu bangunan lama. Dari atas sini, saya sempet berkhayal tentang situs yang juga disebut sebagai "The Fragrant Garden" berluas lebih dari 10 hektar dengan sekitar 57 bangunan baik berupa gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, maupun danau buatan beserta pulau buatan dan lorong bawah air; namun sekarang yang terlihat hanyalah atap perumahan penduduk yang padat.
Selesai dengan tempat pemandian, kami berjalan ke arah timur di mana terdapat halaman bersegi delapan yang dahulunya merupakan pondasi bangunan yang diberi nama Gedhong Lopak-lopak. Gedung bersegi delapan tersebut dibangun berdasarkan 8 arah mata angin merujuk ajaran Hindu. Sayangnya tidak ada yang tersisa kecuali pondasi berbentuk segi 8.
Gedhong Lopak-lopak |
Lalu kami berjalan ke arah selatan. Melewati jalan semen yang cuma muat dilewati sebuah motor. Belok sana belok sini, sempet bingung mau dibawa ke mana kami ini. Hingga sampailah kami di depan pintu sebuah bangunan yang ternyata itu adalah pintu masuk ke
Pulau Cemethi dan Sumur Gumuling.
Pintu Masuk ke Pulau Cemethi |
Bangunan berlantai dua Pulau Cemethi ini juga disebut sebagai Pulo Panembung. Di tempat inilah konon Sultan bermeditasi. Ada juga yang menyebutnya sebagai "Sumur Gumantung", sebab di sebelah selatannya terdapat sumur yang menggantung di atas permukaan tanah. Untuk sampai ke tempat ini konon dengan adalah melalui terowongan bawah air atau dengan menggunakan sampan. Saat kaki melangkah masuk ke lorong yang menuju bawah tanah, langsung tercium aroma adukan semen. Sama seperti bagian lainnya, rupanya kompleks Taman Air ini sedang dalam tahap renovasi besar-besaran yang bertujuan untuk merestorasi bangunan - bangunan yang masih ada. Good movement !!
Di dalam bangunan ini juga terdapat Sumur Gumuling yang pada masanya berfungsi sebagai mesjid. Terdapat cerukan yang berfungsi sebagai mihrab mesjid tempat imam memimpin shalat dan sama seperti Tarub Agung, bangunan ini lagi-lagi menggunakan konsep "gaung" sebagai loud speaker. Who says old people don't get smart, eh ?
Mihrab berada di sebelah kiri dari gambar ini |
Kekaguman saya masih berlanjut ketika tahu bahwa bangunan ini berlantai dua ke bawah tanah. Sambil dengerin si tour guide menerangkan sambil ngebayangin pake cara apa orang-orang jaman itu menggali sampai ke dalaman sekian meter ke bawah tanah secara eksavator aja belum ditemukan !!
Kenapa di sebut Pulau Cemethi ?
Jadi rupanya -di masa kejayaannya dulu- ketika seluruh area tertutup oleh air maka yang terlihat dari permukaan adalah bangunan pintu masuk ini. Bangunan dirancang sedemikian rupa seolah-olah mengapung di tengah danau buatan tersebut. Karena ruangan "tergenang" air maka dibangun juga ventilasi air yang disebut Tajug (sayang ga kepotret, hiks).
Peninggalan berharga dikepung perumahan padat |
Dermaga yang diperkirakan igunakan Sultan sebagai titik awal perjalanannya masuk ke Taman Sari |
Puing-puing ini terlihat dari atas Gedhong Gapura Hageng. Sayangnya hanya sedikit bekas-bekas kejayaan yang masih dapat dilihat. Area danau buatan sekarang telah berubah menjadi perkampungan padat penduduk.
Hari kedua kami akhiri dengan mengunjungi Pantai Depok mengingat lokasi Pantai Indrayanti lebih jauh. Selain karena jaraknya yang relatif dekat dari kota Jogja, rekomendasi makan malam dengan sea food juga menjadi alasan kami meluncur ke sana.
Hanya berjarak 1,5 Km dari the famous Parangtritis, maka pasir di Pantai Depok juga berwarna gelap. Dibandingkan Parangtritis, Pantai Depok relatif lebih kecil. Kami tiba di Pantai Depok menjelang matahari jatuh ke ufuk Barat. Sayang, sunsetnya ga bagus. Yet we enjoy every moment we spent there.
Lelahnya perjalanan keliling Keraton dan situs Taman Sari disudahi dengan menu sea food yang cepat tandas ^_^.
Baca juga:
- Dora The Explorer: Day #1
- Dora The Explorer : Day #3
0 comments
Hai ^_^
Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan saya di blog ini.
Silakan tinggalkan komentar yang baik.
Mohon maaf, komentar anonim maupun yang sifatnya spam, tidak akan dipublikasikan.
Keep reading and Salam !