Almarhum nyokap bilang, trend itu semacam siklus. Sesaat hype, hilang untuk kemudian timbul lagi. Saat Lupus Reborn di tahun 2013 yang lalu, gue jadi inget lagi serial Lupus yang dimuat di majalah Hai. Lupus booming berbarengan dengan masa SMA gue. Seandainya Lupus ini beneran orang, bisa jadi udah seumuran gue juga.
Buat yang ga kenal Lupus, dia adalah anak laki-laki SMA Merah Putih yang hobi mengunyah permen karet, tokoh iconic remaja tahun 80-an. Gegara dia, angkatan kami jadi ikutan belajar gelembungin permen karet. Para remaja cowok ramai-ramai berpotonganan rambut jambul dengan semi gondrong di bagian belakang; somehow mirip syle rambutnya Roger Tyler, vokalis Band Duran-Dura! Kalau pun bagian gondrongnya terpaksa dipotong karena razia di sekolah, minimal bagian jambul masih bisa dipertahankan. Ngga ketinggalan, tas bertali panjang yang diselempangkan, mirip postman style gitu deh.
Setelah booming menjadi serial di majalah remaja Hai, cerita yang dianggap mewakili remaja di jamannya itu pun naik kelas jadi buku. Anehnya, walau hobi membaca, gue ngga sampai mengkoleksi serial ini. Sempet baca sih, satu-dua bukunya. Itupun hasil minjem temen, hehehe.
Dari hasil baca buku pinjeman itu, Gue jadi paham jika sang pengarang Hilman Hariwijaya pandai ”menghidupkan” tokoh Lupus sehingga tidak sedikit yang berpendapat bahwa Lupus memang benar adanya. Bahkan beranggapan Hilman adalah personafikasi Lupus yang sesungguhnya. Tidak sedikit remaja cewek yang saking kesengsemnya sama si Lupus sampai bela-belain cari SMA Merah Putih! Ketika Lupus tak bisa ditemukan wujudnya, maka Hilman sang pengarang lah yang jadi serbuan para fansnya.
Walau Gue gak termasuk Lupus fans club, Tuhan berbaik hati memberikan kesempatan pada Gue untuk bertemu langsung dengan Hilman. Tidak lain karena tugas negara eh, tugas sekolah. Jadi waktu SMA dulu, Gue ngga bisa diem gitu. Ada yang dilakukan. Kalo bisa semua kegiatan sekolah diikutin. Selain kepengurusan OSIS, Gue juga menceburkan diri di redaksi majalah sekolah.
Dari keterlibatan di majalah sekolah yang diberi AKSARA itulah, gue jadi paham ribetnya ngurusin majalah mulai dari milih tema untuk tiap edisi, cari nara sumber (biasanya wawancarain temen-temen sendiri), ngetik naskahnya yang jaman segitu masih pake mesin tik yang segede meja itu. Pe-er banget saat ngetik, ehh pita mesinnya putus atau pita habis. Alhasil tangan jadi kotor kehitaman sehabis mengganti dengan pita baru. Jaman segitu belum ada laptop untuk ngetik syantique! Editing, ngatur lay-out majalah, matching-in naskah sama gambar, nguber-nguber team ilustrasi yang notabene para cowok dimana mereka mendahulukan main bola padahal deadline udah deket.
Yang terakhir, nganterin naskah siap naik cetak ke percetakan. Biasanya hal ini kami lakukan bergantian antar teman redaksi yang lain, tak lain untuk cerewetin si Bapak tukang cetak supaya majalah bisa terbit tepat waktu. Yah, semacam cheer leader percetakanlah walau seringnya sih telat terbit, hahaha!
Yang tidak kalah pentingnya: jualin majalah ke kelas-kelas sekaligus penagihan. Lengkap sudah tugas gandanya; dari reporter, tukang ketik naskah sampe jadi debt collector. Semua dilakonin. And I found the experience was priceless!
Balik lagi ke lap...eh Lupus. Hasil rapat memutuskan akan mengetahkan Lupus sebagai feature. Eh, kok berani-beraninya, anak sekolahan putih abu-abu (bukan judul sinetron ya !) mewawancarai seorang Lupus maksudnya Hilman. Ini tidak lain karena -Shinta- salah satu teman redaksi bertetangga dan kenal baik dengan Hilman. Berdasarkan KKN yang positif tersebut maka kami pun memberikan diri untuk mewawancarainya.
Di jadwal yang telah disetujui, kami berkunjung ke rumah Hilman. Wawancara dilakukan seusai jam sekolah. Supaya gak malu-maluin, daftar pertanyaan sudah disiapkan. Kamera poket isi film 24 pun siap beraksi (belum ada kamera digital apalagi ponsel berkamera, hadeeuuh ketahuan jadulnya !). Biar kelihatan lebih profesional, Shinta yang notabene tetangga Hilman pun tumben-tumbennya bawa recorder. Pokoknya, everything is ready!
Alhamdulillah wawancara berlangsung seperti yang diharapkan. Dari sesi tersebut Gue jadi paham jika Hilman itu aslinya pemalu. Mengaku introvert, ga banyak bicara. Sekalinya bicara, suaranya haluuus sekali, cenderung pelan. Kami sampai harus mencondongkan badan menajamkan telinga untuk mendengarkan jawaban-jawaban si penulis Lupus tersebut. Jauh beda dibanding karakter rekaannya; Lupus yang ngocol nan ceria itu.
Sore itu kami (Titi, Shinta dan gw) pulang ke rumah dengan puas hati. Tugas wawancara berlangsung baik. Rasanya sudah seperti wartawan profesional. Rencananya, hasil wawancara akan kami olah besok sepulang sekolah.
Manusia boleh berencana, Tuhan yang menentukan. Siang seusai sekolah, kami bertiga (Shinta-Titi-Gue) terbengong-bengong di ruang OSIS yang merangkap ruang redaksi. Tak berkedip menatap tape recorder milik Shinta. Berulang kali diputar ulang tapi yang terdengar cuma suara Shinta ketika bertanya berdasarkan daftar pertanyaan, sesekali terdengar suara tukang jualan keliling yang kemarin lewat di muka rumah Hilman. Tapi sama sekali ga kedengeran suara jawaban sang pengarang. Alamak ! Kami jadi teringat wawancara kemarin, bagaimana kami harus memanjangkan telinga untuk mendengar setiap jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Woalaaahhhh, saking pelannya suara dia sampe rekamannya pun gak kedengaran !
Semangat tinggi kami bertiga langsung drop. Memandang sedih tape recorder dan kertas kosong yang sudah terpasang di mesin tik. Kerjaan siang itu gak bisa selesai karena kami hanya mengandalkan tape recorder. Tidak satupun dari kami yang menyalin secara tertulis jawaban-jawaban Hilman. Speechless abis. Akhirnya diambil keputuskan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Wawancara harus diulang, gak ada pilihan lain. Biar malunya nggak berjamaah, maka hanya Shinta sendiri yang datang lagi ke rumah Hilman soalnya ‘kan tetanggaan, hihihi. Untungnya sang pengarang tidak keberatan dan majalah sekolah edisi Lupus pun terbit sesuai rencana.
Entah karena faktor itu atau bukan, dari kami bertiga, saat ini hanya Shinta yang benar-benar nyemplung jadi kuli tinta di salah satu majalah wanita terkemuka. Titi sudah disibukkan oleh klinik khusus anak-anak di Bandung dan Gue?
Gue memilih jadi pegawai yang sesekali menulis di media blog, hehehe.
Makanya begitu baca di media tentang Lupus Reborn, ingatan Gue pun kembali ke wawancara memalukan itu sambil wondering, kira-kira sekarang ini Hilman kalo bicara masih pelan atau nggak ya ?
Semesta seolah mendengar pertanyaan gue. Setelah sekian puluh purnama tidak berkabar, kalau tidak salah sekitar tahun 2018, ada undangan dari Shinta untuk bertemu lagi dengan sang Penulis. Maka di suatu siang, beberapa mantan Tim Aksara bertatap muka kembali dengan Hilman “Lupus” Hariwijaya.
Menurut kalian, kira-kira suaranya masih sama kayak dulu atau berubah?
Ki-ka Hilman – Shinta – Sri “Atiek” Saraswati - gue |
(Teruntuk teman-teman Aksara SMA 7889; Shinta Tetriana & Putri "Titi" Anggun, Wibowati “Bowie”, Bernie “Beben” Medise, Sri “Atiek” Saraswati, almarhumah Siska “Chika” Anggia Tarmelia. Para illustrator Novi dan Ochie).
8 comments
Lupuuss..hadeeuuh jadi inget waktu muda ..
ReplyDeleteaku pernah punya tas lupus yang di selendang gitu, kalo sekolah tas paporit tuuh, sambil jalan makan permen karet
inget lupus .. jadi inget Ryan Hidayat
Tas yang talinya sepanjang lutut itu ya, mak ?
DeleteKalo jalan bisa tersandung-sandung sendiri ^_^
hehe... sampai nangis ga Mak ? Sedih banget sih, sudah payah-payah eh ternyata malah ga kerekam, jadi pembelajaran jg buat kita ya Mak, kalau nanti wawancara lg bawa kertas buat nulis jg. Etapi saya penasaran, itu jadinya diterbitkan enggak wawancara dg Hilmannya??
ReplyDeleteSalam kenal.. ^_^
Nangis sih ngga, cuma malu aja. Alhamdulillah hasil wawancara tetap tayang di majalah sekolah.
Deleteadduuh... story itu... kok kamu yang inget detilnya sih? gw malah lupa tuh. Yg inget cuma terakhir gw wawancara sendirian ke rumah Hilman. Tapi seru sih, sampe sekarang jadi ketagihan wawancara orang deh... btw terakhir sempet ikutan wawancara Hilman setelah merit, dia masih seperti dulu. Ngomongnya pelan, senyum2 kalau ditanya, tapi udah ga terlalu pemalu sih. Thanks ya, story mu bikin gw tersenyum di tengah deadline. Keep on writing ya!
ReplyDeleteThanks for dropping by, my friend !
DeleteI really miss that old time; siang-siang di ruang OSIS ngerjain deadline Aksara. BTW, msh ada gak ya majalahnya ?
Seru bgt pengalamannya mbak :D
ReplyDeleteTak terlupakan deh, pokoknya.
DeleteSelain menambah wawasan jadi tahu bagaimana rempongnya wartawan ngejar narsum, walaupun hanya untuk majalah sekolah ^_^
Hai ^_^
Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan saya di blog ini.
Silakan tinggalkan komentar yang baik.
Mohon maaf, komentar anonim maupun yang sifatnya spam, tidak akan dipublikasikan.
Keep reading and Salam !