Antara Bawang Merah dan Lidah Buaya
Paling seneng ikutan grup WA yang isi obrolannya bermanfaat;
nggak Cuma sebatas urusan ibu-ibu saja tapi juga termasuk tukar informasi
perihal kesehatan. Di salah satu grup
yang saya ikuti, beberapa hari yll tetiba jadi membahas obat-obatan non-medis. Disulut oleh pertanyaan salah satu anggota
grup WA yang sakit gigi tapi ngga mau ke dokter. Lalu saya pun teringat tayangan salah satu TV
lokal yang membahas fungsi bumbu dapur sebagai obat-obatan.
Padahal saya termasuk jarang nonton TV,
lho. Hinggap di channel TV itupun ketika
channel hopping, karena tertarik dengan pembahasan. Nah, salah satunya mengulas bumbu dapur yang
bisa digunakan sebagai obat pengurang rasa sakit gigi.
Menurut ulasan TV tersebut, ambil sejumlah cengkeh untuk disangrai. Setelah kering, lalu gerus hingga halus. Setelah itu ditempelkan pada bagian gigi yang
sakit, Insya Allah rasa sakitnya berkurang.
Wah, itu betul-betul informasi yang baru saya dengar tentang kegunaan
cengkeh. Selain salah satu bahan yang
sering dipakai dalam masakan maupun kue, cengkeh yang memiliki aroma khas juga
dipakai dalam campuran rokok.
Selain cengkeh, masih dalam tayangan TV tersebut, diulas
juga kegunaan bahan-bahan yang seringnya dijumpai di dapur. Yang saya masih ingat adalah bawang
merah. Kalau yang ini saya nggak bakalan
lupa karena sebelumnya sudah mempraktekkannya sendiri yaitu bawang merah
sebagai obat penurun demam.
Bawang merah diparut halus lalu dicampur dengan minyak
kelapa asli yang sudah dicampur sedikit minyak telon. Lalu balurkan ke bagian dada dan punggung. Walaupun aroma bawangnya menyengat namun ramuan
tradisional ini lumayan manjur menurunkan suhu badan. Saya sering melakukannya pada anak-anak
ketika mereka balita dahulu. Walaupun obat
turun panas semacam paracetamol siap sedia, namun resep turun panas ini selalu
saya dahulukan. Maklumlah, namanya
balita, kekuatan tubuhnya ‘kan belum sempurna jadi relatif rentan.
Sedangkan saya sebetulnya termasuk orang yang kurang suka ke dokter. Sekarang
pun jika saya lelah, obatnya hanya dua yaitu makan dan tidur. Jika dalam dua hari masih belum pulih, baru
memutuskan untuk menemui dokter. Dan dengan
terpaksa mekonsumsi obat-obatan medis.
Dalam menjaga kesehatan sehari-hari, saya cenderung
menerapkan pola makan yang seimbang.
Belum sempurna sih, tapi selalu saya upayakan menghidangkan serat, karbo
dan protein. Sumbernya bisa dari
macam-macam. Untuk pola makan, saya
terpengaruh sekali dari almarhumah Mama.
Sebagai orang asli Sunda, Mama tuh seneng banget sama lalapan. Rasanya hampir semua jenis daun yang bisa
dimakan, dulu pernah nangkring di meja makan.
Saking hobinya makan dedaunan, selain menanam tanaman hias, Mama juga
bertanam beberapa macam sayur. Kami dulu
sampai punya pohon katuk dan pohon mangkokan di halaman belakang rumah.
Selain selalu mendapatkan daun yang segar, praktis dan irit
karena ngga perlu beli di pasar. Mungkin
karena sering makan sayuran ini, daun katuk jadi salah satu favorit saya hingga
sekarang. Saya suka rasa daunnya yang
manis itu. Apalagi jika dikombinasikan
dengan pipilan jagung. Menu daun katuk dengan
kerupuk aja sudah bisa membuat saya lahap makan.
Sayang seribu saya, saya nampaknya bukan termasuk kategori
orang “bertangan dingin”. Jangankan
berkebun, sudah dua kali mencoba memelihara tanaman kaktus yang katanya minim
perawatan saja, saya nggak becus. Suami
Ganteng sampai hopeless dan patah arang.
“Sudahlah, kamu pegang laptop aja. Kasihan tanamannya, mati melulu.” Hiks, sedih ngga sih, dikomentarin begitu.
Walau dalam hati heran sekaligus setuju juga akan
komentarnya. Setuju bahwa saya memang
lebih telaten sama laptop. Terbukti jika
di depan laptop bisa betah duduk berjam-jam.
Heran, kok ya, piara kaktus aja ngga sukses. Heheheh.
Tuhan memang Maha Adil ya.
Jadi kalau ingin meniru kebiasaan Mama saya dulu kayaknya
hanya angan belaka deh. Kalaupun sekarang
saya punya taman kecil itu adalah hasil tukang kebun. Saya bisanya tinggal nyuruh, hehehe. Dan itupun hanya tanaman hias. Oh, tapi ada satu yang bisa diberdayakan dan cukup membanggakan saya; yaitu pohon lidah buaya.
Alhamdulillah si lidah
buaya atau kerennya Aloe Vera ini tumbuh subur dalam pot di halaman depan rumah
saya yang secuplik itu. Jadi saya bisa
melakukan perawatan rambut di rumah sendiri.
Lumayan, bisa irit pengeluaran ke salon.
Biasanya saya ulaskan bagian dalam Aloe Vera yang seperti lendir itu ke
seluruh permukaan rambut. Yah, semacam
masker rambut begitulah. Setelah kering,
barulah keramas dengan bersih. Hasilnya rambut
memang lebih halus dan nampak lebih bervolume.
Kalau Anda sama seperti saya yang tidak telaten dengan tanaman, mungkin bisa mencoba menanam lidah buaya saja.
Hari ke-2, 1 Day 1 Post Challenge
5 comments
Halo Mbak.
ReplyDeleteTerima kasih sharingnya :)
aku lagi butuh banget tanaman lidah buaya buat rambut ku
ReplyDeleteLidah buaya tuh aku pengin nanem, belum kesampaian
ReplyDeleteManfaatnya sangat banyak
Semangat Mba. Aku juga ngga kayak Mama yang menanam apa aja tumbuh. Aku cuma bisa metik hasilnya aja hahaha. Btw, di rumah juga Mama masih menerapkan bawang merah sebagai obat masuk angin itu. Tapi campurannya minyak kayu putih.
ReplyDeleteiya aku juga pernah make parutan bawang merah untuk menurunkan demamnya alfi, cuma rada bau ya mbak
ReplyDeleteHai ^_^
Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan saya di blog ini.
Silakan tinggalkan komentar yang baik.
Mohon maaf, komentar anonim maupun yang sifatnya spam, tidak akan dipublikasikan.
Keep reading and Salam !