Mengapa Belajar Kembali di Usia 50-an?
Salah satu anggapan yang paling sering saya dengar adalah: “Udah umur segini, masih semangat belajar?” atau “Buat apa kuliah lagi kalau karier sudah stabil?”
So, when they asked why am I going back to school. The answer is WHY NOT?
Karena saya paham, dii banyak budaya, termasuk di Indonesia, ada keyakinan diam-diam bahwa belajar itu hanya untuk anak muda. Bahwa pendidikan formal punya “batas waktu.” Karena umumnya orang percaya bahwa pendidikan formal hanyalah untuk yang muda. Bahwa setelah usia tertentu, fokus kita harus bergeser: dari belajar menjadi bertahan. Dari berkembang menjadi bertahan di zona nyaman.
Tapi saya nggak setuju.
Dan statistik pun berkata lain.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, tren pembelajar dewasa (adult learners) justru meningkat. Banyak profesional yang kembali belajar demi mengembangkan diri, mengejar passion baru, atau sekadar membuktikan bahwa usia bukan halangan untuk bertumbuh.
Saya pribadi tidak kembali kuliah karena ingin naik jabatan. Saya kembali kuliah karena ingin memberi diri saya sendiri kesempatan kedua untuk berkembang.
Belajar bukan tentang umur.
Belajar adalah tentang kemauan dan cara pandang
Kuliah Pascasarjana atau Sertifikasi Profesional? Ini Pertimbangan Saya
Keputusan untuk kuliah lagi di usia paruh baya ini bukan sebuah tindakan yang impulsif.
Bisa dibilang ini adalah keinginan yang tertunda sejak 2017 lalu. Obsesi yang saya pikir akan hilang dibawa waktu, ternyata malah menguat.
Now and then, saya browsing institusi pendidikan baik negeri maupun swasta mulai dari jurusan dan tentunya biaya termasuk UT, Universitas Terbuka pun masuk dalam opsi pencarian berikut jurusan program pascasarjana yang ditawarkan.
Saya pelajari dan bandingkan dengan seksama.
Tidak lain karena saya menginginkan kuliah pascasarjana di usia 50-an ini benar-benar sebuah investasi yang bermakna. Ada banyak peminatan namun saya ingin mempelajari bidang yang sesuai dengan dan menunjang karier kerja sebagai konsultan praktisi ICT (Information, Computer, Technology) project.
Awalnya, sempat mempertimbangkan untuk mengambil sertifikasi profesiona (lagi). Lebih cepat, lebih praktis, dan mungkin terlihat lebih “masuk akal” dari sisi waktu dan biaya. Apalagi di dunia kerja, sertifikasi sering kali dianggap sebagai pembeda yang cukup signifikan. Terlebih sebagai praktisi project, sertifikasi profesional sebagai reinvestasi karier mempunyai nilai jual tambahan.
Namun makin saya pikirkan, makin saya merasa... saya butuh lebih dari sekadar validasi teknis. Mengingat saya sudah memiliki sertifikasi PMP atau Project Management Profesional dari tahun 2005. Sebuah sertifikasi internasional keprofesian yang biasanya dikejar oleh para Project Manager yang dikeluarkan oleh Project Management Institute.
Kegalauan having another international certification or pursuing master degree, mendorong Saya melakukan riset kecil “rekomendasi sertifikasi profesional selain PMP” yang dianjurkan bagi pelaku industri ICT, industri yang saya geluti selama ini. Muncul sejumlah rekomendasi sertifikasi yang dianjurkan semisal sertifikasi TOGAF, COBIT dan ITIL serta Scrum Master.
Makin saya selami satu persatu, makin mengristalkan bahwa saya tidak sedang mencari tambahan sertifkasi. Dengan latar belakang non-IT namun dalam keseharian mengerjakan proyek-proyek ICT, saya merasa ada knowledge gap.
Masa proses ini memberi ruang refleksi, struktur berpikir yang lebih dalam, dan tantangan akademik yang bisa memperkaya perspektif saya. Secara profesional bisa jadi saya dianggap mampu, can manage project well. Tapi secara pribadi, saya merasa ilmu yang saya peroleh secara otodidak masih belum mumpuni.
Kembali ke kampus walau usia sudah paruh baya adalah ikhtiar saya mengisi “gelas kosong” itu.
Kenapa Saya Memilih Universitas Pradita?
Dari semua opsi, Universitas Pradita terasa paling relevan dengan kebutuhan dan visi karier saya sebagai praktisi ICT.
Selama proses engagement hingga pre on-boarding (pra masa perkuliahan), saya didampingi oleh seorang education counselor. Conselor ini menghubungi saya setelah melayangkan email lewat website Pradita.
Sistem 1 pintu ini membuat komunikasi lebih lancar. Banyak pertanyaan dan proses administrasi dikawal oleh si agent. Saya bahkan sampai dijadwalkan untuk berdiskusi dengan Dekan Program Pascasarjana Informasi Teknologi Bapak Dr. Eng. Handri Santoso, mungkin karena saya terlalu banyak bertanya 😁
Mengapa banyak bertanya.
Pertama, menerapkan prinsip teliti sebelum membeli.
Kedua, I want to learn new thing which give me a highly impactful. Belajar kembali di usia matang, ternyata membuat saya memperhitungkan banyak hal, daftar checklist jadi banyak haha.
But the most important thing adalah ilmu yang applicable, silabus berdasarkan industrial based. Buat apa belajar tapi sulit diimplementasikan, right? Surprisingly, syllabus Universitas Pradita Program dibangun berdasarkan industrial practise based. Siswa pascasarjana otomatis akan belajar TOGAF, COBIT, ITIL. Betapa Tuhan Maha Tahu. Diberinya saya semua sekaligus!
![]() |
Ambil toga wisuda di kampus BSD |
Jadi pilihan ini bukan tentang “mana yang lebih baik”, tapi mana yang lebih selaras dengan tujuan saya: tumbuh dari dalam ke luar.
So, after review the program and syllabus ditambah dengan diskusi dengan pak Dekan; memantapkan saya untuk kembali belajar di usia matang dengan menjadi siswa Program Pascasarjana Fakultas Teknologi Informasi dengan peminatan Design Enterprise Architecture.
Tantangan dan Kebanggaan: Kembali ke Bangku Kuliah di Usia Matang
27 tahun jeda dari kampus pendidikan terakhir, wajar kiranya jika ada perasaan exciting campur was-was di awal masa perkuliahan. Let’s admit that naturally kondisi biologis manusia termasuk performa otak pastinya tidak sama lagi.
Tantangan lainya yaitu menjaga mood dan tetap fokus menyimak perkuliahan selama via virtual applications. Yep, kuliah diberikan dalam format hybrid. Mahasiswa bebas memilih; apakah mau online atau hadir ke kampus. Ini juga yang jadi salah satu check list dalam menjatuhkan pilihan kampus. Thus, masa perkuliahan dimulai di akhir periode PPKM Covid-19 yang lalu. So yes, saya menuliskan ini sekaligus sebagai flash back ☺️
Setiap mata kuliah berlangsung selama 2 jam. During weekday, perkuliahan berlangsung malam hari, untuk 1 mata kuliah saja.. Kala weekend yaitu Sabtu, langsung 3 mata kuliah sudah pasti memakan waktu full day dari pukul 8 pagi hingga menjelang sore.
Capek? Sudah pasti.
Bosan? Jelas. Dibalik kemudahan bisa mengikuti pembelajaran dari rumah, kebosanan adalah tantangan yang jelas-jelas harus diatasi. Ngga ada teman bertanya atau diskusi (secara face-to-face). Maka WAG (Whatsaap Group) pun jadi solusinya. Ada sesekali ke kampus untuk offline, namun itupun jarang, bisa dihitung jari.
Bagaimana jika ada tugas kelompok?
Pastinya another zoom meeting 🫣
Alhamdulillah tidak ada kendala yang berarti selama perkuliahan kemarin. Setiap tugas yang saya selesaikan memberi rasa percaya diri baru, karena dapat ilmu baru. Setiap presentasi yang saya jalani memperkuat kemampuan komunikasi saya.
Dan yang paling berharga — saya menemukan komunitas belajar lintas usia yang suportif dan membuka jejaring saya lebih luas. Lintas usia tidak hanya pada murid, namun juga para dosen. Ada yang sesama Gen-X seperti saya, atau lebih senior. Tak sedikit yang lebih muda. Bersatu dalam tumpukan tugas dan tugas akhir yang bikin mumedt. Kita jadi kompak walau hanya bertemu secara daring. Seru!!
Pembelajaran lainnya?
Saya belajar disiplin kembali, belajar mendengar, dan yang paling penting: belajar bahwa kapasitas untuk berkembang tidak pernah hilang. Metode berpikir analitik dan kritis pun makin terasah.
Time management jadi crusial. Harus pandai mengatur jadwal kuliah, kerja dan quality time dengan keluarga. Walau ini sudah saya prakirakan jauh-jauh hari sebelumnya, namun pada pelaksanaannya ternyata challenging. Mengorbankan banyak waktu week-end, skip acara-acara sosial baik dengan keluarga maupun teman terbayarkan saat lihat nilai IPK yang beyond my expectation; 3.9 out of 4!
Apa yang awalnya terasa menantang, perlahan berubah menjadi sumber kebanggaan.
Saya tidak hanya lulus. Saya tumbuh. Belajar di usia matang ternyata memberikan perspektif baru.
Dari Mahasiswa ke Mentor: Langkah Baru Saya sebagai Coach Project Manager
Seiring proses belajar saya berlangsung, saya menyadari satu hal penting:
Saya tidak ingin perjalanan ini berhenti di saya.
Selama bertahun-tahun bekerja di dunia proyek, saya bertemu banyak profesional muda yang punya potensi besar tapi kurang arahan. Mereka rajin, semangat, tapi sering bingung harus mulai dari mana. Dan saya tahu—saya bisa membantu mereka.
Di sinilah pendidikan pascasarjana menjadi lebih dari sekadar gelar.
Ia menjadi pondasi baru bagi misi saya berikutnya:
"menjadi coach bagi para Project Manager pemula"
Apa yang saya pelajari bukan hanya teori, tapi juga cara menyusun strategi pembelajaran, cara menyampaikan insight dengan runtut, dan cara membangun kepercayaan diri melalui pemahaman yang utuh.
Saya ingin membantu generasi berikutnya tumbuh, tanpa harus menunggu separuh hidup seperti saya untuk merasa layak belajar kembali.
Dengan pengalaman dan pendidikan yang saya miliki sekarang, saya siap menjadi bagian dari perjalanan mereka.
Karena setiap awal butuh seseorang yang mau memandu.
Untuk Anda yang Sedang Menimbang Langkah Baru di Usia Paruh Baya
Kalau Anda masih ragu untuk memulai ulang, semoga kisah saya ini jadi sinyal: belum terlambat untuk bertumbuh.
Apa pun yang pilihnya, pastikan itu selaras dengan kita sendiri, bukan sekadar tuntutan luar.
Tanyakan pada diri sendiri:
✅ Apakah saya ingin belajar lagi karena haus pengetahuan?
✅ Apakah saya ingin membuka peluang baru?
✅ Ataukah saya hanya butuh validasi bahwa saya masih bisa?
Apapun jawabannya, itu sah.
Yang penting: bergerak.
Saya bukan superwoman. Saya hanya seseorang yang akhirnya memutuskan untuk mengisi “gelas kosong” dalam dirinya. Dan langkah kecil itu mengubah segalanya.
Penutup: Usia Bukan Batas, Tapi Titik Awal Baru
Waktu saya memutuskan kuliah lagi, banyak yang heran.
Tapi saya tahu — gelas saya belum penuh.
Tapi saya tahu — gelas saya belum penuh.
Masih ada ruang untuk bertumbuh, berbagi, dan belajar.
Dan sekarang saya tahu:
Usia bukan batas.
Usia bukan batas.
Ia hanya angka. It’s just a number.
Yang menentukan batas adalah kita sendiri.
Kalau Anda merasa sedang di titik “berhenti”, mungkin itu sebenarnya panggilan untuk “mulai ulang.”
💬 Sudahkah Anda memberi diri Anda izin untuk bertumbuh kembali? listen to your inner voice
Punya rencana untuk perubahan juga? Let’s share.
Siapa tahu, langkah Anda hari ini bisa menginspirasi langkah orang lain besok.
Siapa tahu, langkah Anda hari ini bisa menginspirasi langkah orang lain besok.