![]() |
Dari Kaku ke Kunci Branding
Pekerjaan — apalagi kalau dijalani bertahun-tahun — ternyata berdampak sekali pada pola pikir.
Berkecimpung di dunia Project Management untuk salah satu industri yang dianggap "tough" (telco is considered as one of the toughest project due to its complexity), ditambah core character pribadi yang emang serius [juga 😜], ngga heran kalau persona saya ikut kebawa serius. Dunia saya sangat terstruktur dan terprediksi, mirip jadwal ketatnya Gantt Chart Project. Kesannya kaku dan formil 😬
Berkecimpung di dunia Project Management untuk salah satu industri yang dianggap "tough" (telco is considered as one of the toughest project due to its complexity), ditambah core character pribadi yang emang serius [juga 😜], ngga heran kalau persona saya ikut kebawa serius. Dunia saya sangat terstruktur dan terprediksi, mirip jadwal ketatnya Gantt Chart Project. Kesannya kaku dan formil 😬
Dulu saya benar-benar menganggap personal branding itu tidak relevan untuk profesi sebagai konsultan. Apalagi di dunia Project Management yang menuntut keseriusan dan kredibilitas tinggi.
Bagi saya, media sosial adalah kotak terpisah yang hanya berisi hal-hal personal, hobi, atau hiburan — tidak ada kaitannya dengan profesionalisme. Dan seperti itulah feed Instagram @ratna17amalia
Padahal, kadang ada dorongan juga untuk menulis tentang project management, entah di blog atau sosmed. Selama ini “ngoceh” soal hal-hal kerjaan sebatas di LinkedIn saja.
Akun-akun tentang project management hasil browsing pun umumnya serius dan teoritis banget. Berasa baca buku pelajaran sekolah. I myself found it boring and not joyful 😂. Ada keinginan untuk deliver the same thing but in different way.
Cuma ngga tahu bagaimana dan start from where. Clueless.
A-Ha Moment!
Tapi belakangan, saya mulai memperhatikan munculnya banyak konten edukatif-informatif dari berbagai profesi. Ada @dr.tirta yang bicara soal kesehatan dengan gaya santai, atau @irwandiferry yang mengulas isu politik dan sosial secara tajam tapi tetap menarik. Konten mereka jadi acuan banyak orang, bahkan membentuk opini publik.
Dari situ, mindset awal saya mulai “mlintir.”
Tersadarkan bahwa ada pergeseran paradigma di era digital ini.
Sekarang, branding profesional di era digital bukan cuma milik influencer, tapi juga penting untuk siapapun yang ingin membangun kepercayaan dan kredibilitas online. Harusnya profesi saya sebagai konsultan project management juga bisa.
Terlebih setelah menyelesaikan kuliah pascasarjana, saya merasa punya amunisi baru — dan lebih percaya diri untuk berbagi insight seputar project management. Buat saya, ini bagian dari perjalanan menuju solopreneurship sebagai Konsultan Project Management mandiri.
On the other hand, viewers sekarang makin kritis. Akan sangat aneh jika tiba-tiba akun yang biasanya posting soal lifestyle, lalu langsung “jualan.” Klien hari ini tidak hanya membeli metodologi seperti PMP, Agile, atau Strategic Planning yang saya kuasai.
Mereka membeli solusi, dan yang terpenting — mereka membeli trust.
Mereka percaya pada mindset orang di balik solusi itu.
Di sinilah Personal Branding Konsultan Project Management menjadi kunci pembeda. Ia bukan lagi pilihan, melainkan keharusan — untuk sustainability dan legacy karier.
Lalu lihat advertorial Rika Dinarjanti di IG yang membuka workshop Content Creator for Personal Branding. Sudah sejak lama jadi followernya Mamrik -begitu panggilan akrabnya-, dari masa @uploadkompakan dahulu. Judulnya sudah spesifik "personal branding". Something tells me "This it is!"
Dan keputusan ikut Workshop Content Creator Rika mengubah segalanya.
Ada banyak hal selain materi yang diberikan di kelas. Di postingan ini, saya mau membagikan tiga perubahan mindset krusial yang saya dapatkan — dan bagaimana saya mengaplikasikannya, bukan hanya di branding media sosial, tapi applicable juga dipraktikan dalam sesi coaching dan konsultasi profesional yang saya jalani.
Game Changer: 3 Perubahan Mindset Krusial
Game Changer #1: Dari Technical Expert ke Human Artist (Menciptakan Legacy)
Ada satu hal penting yang saya pelajari: branding itu dimulai dari legacy, bukan dari daftar tugas di job description. Legacy berarti apa yang ingin kamu tinggalkan, bukan hanya apa yang kamu selesaikan.
Karena personal branding profesional di era digital ternyata bukan cuma tentang “pengen dikenal”, tapi tentang “apa yang mau kamu bantu orang lain temukan lewat kamu.”
Karenanya, viral bukan lagi tujuan.
Menurut kacamata konsep project management konvensional yang saya pelajari di awal saya memulai profesi ini, ukuran “proyek sukses” adalah semua task selesai, budget aman, dan deadline tepat waktu. Dengan jam terbang tinggi mengelola proyek (> 20 years with across industries), saya bisa klaim sebagai technical expert yang rapi, presisi, dan bisa diandalkan.
Tapi seiring waktu, saya mulai melihat proyek dari sudut pandang yang berbeda — sejalan dengan pendekatan proyek yang Agile, lebih lentur dan adaptif terhadap perubahan yang masif. Pendekatan ini membuat saya lebih terbuka pada ide bahwa setiap proyek tidak sekadar butuh kontrol, tapi juga kreativitas dan rasa.
Saya pernah posting quotes Greg Cimmarrusti di feed,
“Being a Project Manager is like being an artist — you have different colored process streams combining into a work of art.”
Dan saya menuliskannya karena benar-benar merasakannya. As with a cake, project management requires a LOT of ingredients to make, which you have to juggle with. Dari hal teknis hingga hal non-teknis.
Terlebih di era AI dan transformasi digital seperti sekarang, Project Management harus punya value dan makna yang jelas. Tanpa itu, semua proses hanya jadi aktivitas mahal tanpa arah — mubazir, buang biaya saja.
Proyek tidak lagi semata fokus pada task dan output, tapi harus punya impact dan nilai emosional yang dirasakan klien. Dan di situlah letak value-driven project yang sebenarnya.
Perubahan mindset ini akhirnya melahirkan ide konten “Dari Karier ke Legacy.”
Konsep yang menantang kebiasaan banyak Project Manager yang hanya fokus pada jadwal ke depan.
Padahal, personal branding konsultan project management yang kuat justru berangkat dari visi panjang: membangun makna, bukan sekadar menyelesaikan target.
Dan mungkin di situlah seni sebenarnya dari menjadi Project Manager — bukan hanya menyusun rencana, tapi meninggalkan makna.
Game Changer #2: Dari Kaku (Waterfall) ke Adaptif (Agile in Creativity)
Pelajaran terbesar berikutnya: membuat konten itu seperti mengelola proyek Agile — berani coba, gagal cepat, lalu perbaiki dengan cepat juga. Responsif terhadap perubahan (alias ide baru yang kadang muncul di jam tak terduga 😅).
Untuk mempraktikkan ilmu dari workshop, kami para peserta diminta turun langsung ke lapangan digital selama 30 hari. Setiap hari diberikan tema, dan kami bebas menuangkan ide sesuai gaya dan niche masing-masing.
Itulah tantangan #30HariNgontenYuk, program harian yang dibuat oleh Mamrik tujuannya sederhana tapi jitu: memaksa kami membangun muscle memory dalam berkreasi, agar terbiasa membuat konten secara konsisten, responsif, dan terarah sesuai pilar branding kami masing-masing.
Jujurly, saya seperti “diseret keluar” dari zona nyaman 😅
Menjaring ide untuk niche yang spesifik ternyata tidak semudah kelihatannya, meskipun sudah ada panduan tema harian.
Contohnya di Hari ke-17, temanya adalah “Fun Fact.”
Kebayang nggak sih, betapa mumednya mengaitkan tema itu dengan project management? Project Team pasti tahu betapa tidak fun-nya project itu. Namun saya bisa menemukan the hidden-gems. Ternyata yang dimaksud adalah plot twist. Sebuah pendekatan yang sering dikenal dalam dunia penulisan.
Justru di situlah letak latihannya. Saya dipaksa belajar untuk eksplorasi ide tanpa kehilangan benang merah branding yang ingin saya bangun. Nggak gampang, tapi ternyata saya bisa melakukannya. Lihat reels ini.
Tanpa saya sadari, ternyata saya sedang menerapkan prinsip Agile in Creativity — mindset agile yang saya praktikkan di dunia project management, tapi kali ini di dunia konten:
- Beradaptasi dengan tema yang berubah setiap hari.
- Beradaptasi dengan platform atau aplikasi pembuatan konten.
- Beradaptasi dengan jenis konten — reels, feed, atau story.
- Beradaptasi dengan konsep konten yang bergeser sesuai audiens.
- Beradaptasi dengan mood sendiri (the hardest part 😅).
Dan tentu saja, beradaptasi dengan perubahan itu sendiri — terutama saat mulai membandingkan hasil, “punya orang kok bagus banget, punya gue gini-gini aja…” (the scary ones 👻).
Tapi di situlah saya benar-benar belajar makna Agile mindset yang sesungguhnya.
Karena pada akhirnya, ketakutan akan ketidaksempurnaan justru bisa melumpuhkan inisiatif kita.
Sedangkan mindset Agile bertujuan membuka ruang bagi pertumbuhan, spontanitas, dan joy of learning yang sehat — baik dalam konten maupun kehidupan profesional.
Baru 30 hari, tapi saya sudah bisa membayangkan konten project management macam apa yang bakal bermunculan di feed @ratna17amalia. Dari perspektif framework enterprise architecture, saya sedang membangun sebuah peta jalan konten (content road map).
Game Changer #3: Dari Menghibur ke Memberi Value (Fokus pada Solusi)
Dulu saya pikir personal branding itu soal menarik perhatian sebanyak mungkin, menjadi viral.Sekarang saya tahu, yang penting bukan siapa yang menatap, tapi siapa yang merasa terbantu.
Pelajarannya jelas: branding yang kuat bukan tentang menghibur semua orang, tapi tentang memberi solusi untuk orang yang tepat.
Sebelum ikut Workshop Content Creator, saya masih sering memberi tips umum — semacam generic advice yang bisa dibaca di mana saja.
Tapi sekarang saya belajar memahami pain point audiens saya dengan lebih spesifik.
Saya tidak ingin sekadar jadi akun yang “ramai”, saya ingin jadi akun yang relevan.
Itu sebabnya, bahkan saat saya posting hal-hal ringan seperti kopi pagi atau jalan santai, selalu ada value di baliknya. Misalnya: bagaimana manajemen waktu ala Project Manager bisa memberi ruang untuk hobi, refleksi, dan me-time.
Saya tidak menjual prosesnya, saya menjual hasilnya — a better life through better planning.
Dan yang paling penting: saya ingin tetap authentic. Saya tidak berusaha menyenangkan semua orang.
“I don’t care if people don’t like me…”
“I don’t care if people don’t like me…”
Bukan untuk terlihat rebel, tapi untuk menunjukkan bahwa keaslian adalah bentuk otoritas akan hal yang bisa saya kontrol.
Saya ingin menarik audiens yang selaras dengan value saya; mereka yang juga ingin berkembang, bukan hanya terlihat produktif.
Di situ lah personal branding konsultan project management menemukan maknanya: bukan untuk tampil sempurna, tapi untuk terus bertumbuh, berbagi, dan memberi arah bagi orang lain.
III. Branding Adalah Proyek Pribadi Terbaik
Tiga perubahan mindset ini merangkum evolusi saya sebagai profesional: Dari Teknis ke Artist, dari Kaku ke Adaptif, dan dari Entertainer ke Value Provider.
Dan di titik ini saya menyadari satu hal penting — personal branding adalah proyek pribadi terbaik yang pernah saya kelola sebagai seorang Project Manager.
Layaknya proyek profesional, personal branding juga butuh perencanaan yang matang dan proses yang disiplin;
- 🗺 Ada planning (visi) yang menjadi arah dan menjadi peta jalan (road map),
- 🏁Execution (konten) yang menjadi hasil kerja nyata,
- 👥 Stakeholder management (audiens) yang harus dijaga interaksinya,
- Dan tentu saja, Mindset Agile untuk terus beradaptasi dengan perubahan digital dan perilaku audiens.
Karena di dunia yang bergerak secepat sekarang, konsistensi tanpa fleksibilitas justru bisa membatasi pertumbuhan.
Sebaliknya, personal branding yang dibangun dengan strategi dan adaptasi berkelanjutan akan membentuk kredibilitas yang kuat dan autentik.
Saya percaya, jika saya bisa mengelola “proyek diri sendiri” dengan mindset yang sama seperti mengelola proyek profesional, maka saya juga bisa membantu klien mengelola proyek mereka menuju keberhasilan yang berkelanjutan dan bermakna.
Dan bonusnya?
Pertemanan baru sesama GenX dari komunitas workshop ini — adalah hadiah yang tak ternilai. 🌿
Jadi, mau belajar konten bareng Mamrik juga, atau dicoaching langsung soal Project Management oleh saya? 😉