Things that I could not find from that boy (Peran Ayah Dalam Masa Tumbuh Kembang Anak)
credit from here |
Yang sering terkatakan adalah anak-anak produksi broken
family jarang yang berhasil karena mereka tidak punya role model sebagai
pegangan.
Yang sering terceritakan adalah ada si anu bercerai, si itu berpisah; yang semuanya saya tanggapi tak serius. Dalam artian itu adalah pilihan hidup seseorang. Jika sudah dipilih maka harus siap dengan konsekuensinya.
Jika saja karena tidak melihat di depan mata sendiri, maka a broken family yang saya tahu
hanya sebatas cerita saja.
Jika masih banyak yang berpendapat malangnya tumbuh tanpa
ibu, ternyata ayah pun punya peran penting dalam masa tumbuh kembang anak. Makin menyadarkan bahwa fungsi laki-laki
dalam keluarga tidak sebatas pemberi nafkah semata. There a lot more meanings being A father and
husband !
Seperti kisah yang dialami oleh seorang kerabat.
Anak ini tumbuh nyaris tanpa kehadiran sang ayah. Ketika dia dilahirkan pun, sang ibu tidak
didampingi suami tercinta. Alasannya karena
si suami mendulang dollar di lain benua dan jadwal cuti tidak bersahabat dengan
tanggal kelahiran si bocah. Mereka hanya menjadi keluarga lengkap –dalam artian
ada ayah-ibu-anak- hanya sekali dalam setahun. Mencurahkan rindu dalam kurun waktu 2-3 bulan hingga sebelum si ayah harus
kembali merantau.
Walau si ayah tak ada di sisi setiap saat, paket untuk sang
buah hati tak surut datang. Sang anak
dihujani berbagai rupa mainan, dengan harga yang tidak murah pula. Tak jarang, barang yang diberikan seringnya
tidak sesuai dengan usia si anak baik dari jenis maupun harga.
Pernah saya tanya, kenapa memberikan mainan dengan
harga mahal pada anak kecil toh si anak belum mengerti apakah itu barang mahal
atau bukan. Rasanya gimana, gitu. Bukan sirik tanda tak mampu looo (hehe),
namun apa tidak sebaiknya diberikan mainan yang wajar-wajar saja. Sedangkan budgetnya bisa dialokasikan untuk
hal lain yang lebih bermanfaat semisal tabungan pendidikan atau asuransi, ‘kan
?
Pada akhirnya, mainan nanti akan teronggok begitu saja
ketika sudah tak diinginkan lagi oleh si anak. Apa gak mubazir ya ?
Namun opini itu ditangkis dengan, “Biarin aja deh, ‘kan
sayang anak. Lagian, dia jarang banget
ketemu bapaknya.” Ouch ! Absennya si ayah diganti dengan barang mahal, ‘gitu
?
Demikian berlangsung sekian lama, hingga si anak mencapai
usia balita. Ketika siap masuk sekolah
dasar, paket kiriman mulai tersendat. Dampak
LDR (Long Distance Relation) antar
ayah-ibu sudah mulai terasa.
Jarak yang
tadinya bisa ditanggulangi dengan daily
phone call ternyata tak terbukti. Physical appearance does matter. Akhirnya
keduanya memutuskan untuk berpisah. Tak
bisa mempertahankan impian manis ketika menikah sekian tahun yang lalu walau tahu
dari awal bahwa mereka akan terpisahkan oleh jarak.
Perceraian seringnya menghadirkan cerita sedih. Pun yang satu ini. Karena dulu si istri tidak pernah bekerja,
sekarang dia harus mencari nafkah sambil menata hidup dari awal lagi.
Bisa dibayangkan tanggung jawab dan bebannya
sebagai single parent beranak satu dengan pengalaman kerja nol. Masih untung ada sang nenek yang berbesar
hati membantu mengasuh sang cucu manakala si ibu pergi bekerja.
Jadi anak ini benar-benar tumbuh besar dengan kondisi minim
figur ayah, praktis dari kelahirannya hingga usianya yang kini beranjak remaja. Kala kecil dimanja blas oleh sang ibu dan
ketika orang tuanya bercerai, dia diasuh oleh si nenek.
Saya tidak (mau) bilang hal itu tidak baik karena tidak
sedikit kisah anak produk keluarga tidak lengkap, namun mereka berhasil memanage hidupnya dan menjadi orang
sukses; bahkan lebih baik dari orang tuanya.
Namun dalam hal ini saya melihat ada hal lain yang mempengaruhi sikap
serta perilaku anak si kerabat.
Percaya Diri
Kebersamaan yang tercipta dari kehadiran kedua orang tua (Be there always) ternyata merupakan hal
mendasar dalam mendidik anak. Karena ternyata
hal tersebut erat kaitannya dengan menumbuhkan kepercayaan diri anak. Mengapa demikian ?
Dengan melihat kebersamaan kedua orang tuanya, si anak
merasa aman. She or he believes that their parents will be there for them whether
they’re right or wrong. Rasa aman inilah yang kemudian menumbuhkan
rasa percaya diri mereka. Such confidence will avoid them from wrong doing, Insya Allah.
Rasa percaya diri akan terpancar dari tatapan mata anak yang
secara refleks melakukan kontak mata ketika bicara face-to-face. Self confidence juga akan nampak dari cara bicara anak dalam
menyampaikan pendapatnya. Out spoken.
Ada keyakinan dalam nada bicaranya.
Role Model
Tumbuh kembang dengan pola pengasuhan minim keberadaan ayah,
di mana (sialnya !) kini pun sang ayah juga tidak punya keinginan untuk
meluangkan waktu dengan si anak, otomatis dia tidak punya panduan dalam
bersikap how to be a man.
Suka tidak suka, Sang Maha Pemilik
Kehidupan menciptakan software yang berbeda untuk perempuan dan laki-laki. Secara mendasar, ada hal-hal yang tidak bisa
dilawan oleh manusia yaitu kodrati. Female’s approaches differs than male and so vice versa.
Efek Man from Mars and
women from Venus tidak bisa diabaikan.
Dalam hubungan orang tua dan anak pun, ada masa diperlukan one-on-one model communication di mana diperlukan
kombinasi man-to-man, women-to-woman or cross gender type communication.
Father-to-son
communication mengajarkan mereka bagaimana bersikap gentlemen, seperti apa
jika berhadapan dengan teman sesama peer.
Bagaimana harus berbagi kepada yang lebih tua, kepada sesama dan pada
yang lebih muda.
Father-to-daughter
conversation bisa menjadi simulasi awal on how a woman deal with their opposite
sex.
You’re (not) Special
(When you are think
that you are not special, at the same time you will not feel special too).
When your Dad do not (want
to) spend time with you, then you are starting to feel that you are meant nothing for him.
Ketika perasaan istimewa itu tidak ada, maka tidak ada excitement pada perilaku anak. Datar-datar aja, ‘gitu. Ibarat makanan tanpa bumbu, ga ada rasanya. Sekalinya dibumbuin, dosisnya berlebih, too
much, rasanya malah jadi ga karuan. Sekalinya ada
kesempatan diperhatiin oleh orang lain, bawaannya jadi lebay.
Emosi si anak jadi seperti yoyo, naik turun, gak
stabil. Celakanya ketika dia ingin
diperhatikan, gak ada yang merhatiin -no one is there for him-, akibatnya anak akan rewel, ujung-ujungnya berbuat sesuatu
yang tujuannya minta diperhatikan.
Sebaliknya,
manakala tidak ingin jadi fokus, orang-orang di sekelilingnya malah memberinya
perhatian lebih. Biasanya sih, dia juga
akan berbuat yang ekstrem. Bagi sebagian
orang sikap yang demikian dipersepsikan berbeda; antara nakal atau ga tahu
aturan.
Padahal itu hasil dari ngga ada yang kasih tahu sebagai
akibat dari absennya sang role model dan minimnya rasa percaya diri.
And those are things
that I could not find from that boy.
8 comments
nice words! :)
ReplyDeleteketika salah satu orang tua tidak ada, memang kelihatannya akan terasa ada 'kepincangan', ya, Mbak. Saya juga gak setuju kalau penggantinya adalah benda.
ReplyDeleteTapi, bisa belajar dari pengalaman para single parent yang sukses mendidik anak-anaknya :)
karena kehadiran kita tak tergantikan oleh apa pun. kenangan akan hidup selamanya, ya 'kan mak Chi ?
Deletesetuju mbak....dan memang seperti itu kenyataannya ..no role model. kalaupun ada yang berhasil, jarang sekali prosentasenya ;)
ReplyDeleteperan ayah memang sangat penting ya mak
ReplyDeletebanget-nget-ngedd !
DeleteKaget sebentar lihat fotonya, kirain mak Ratna itu wkwkwkwkkk. Orangtua memang seharusnya lengkap karena masing2 punya peran berbeda dalam perkembangan anak.
ReplyDeletesekseh ya, mak ?! hihihi
DeleteHai ^_^
Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan saya di blog ini.
Silakan tinggalkan komentar yang baik.
Mohon maaf, komentar anonim maupun yang sifatnya spam, tidak akan dipublikasikan.
Keep reading and Salam !