![]() |
Ada fase dalam hidup ketika kita merasa ingin mulai dari awal lagi. Bukan karena gagal, tapi karena kita ingin lebih selaras dengan diri sendiri, dengan Allah, dengan hidup yang terus berjalan.
Kalau ada yang tanya, “Buku apa yang paling ngaruh ke pola pikir kamu bahkan berkontribusi pada pengambilan keputusan besar dalam hidup saya?” Maka jawabannya adalah: The Secret karya Rhonda Byrne. Saya baca buku ini tahun 2011 (🫣 iyaa, udah lama banget!). Dari situ, saya kenal konsep Law of Attraction alias Hukum Tarik Menarik.
Yang menarik, buku itu nggak cuma saya baca. Tapi saya pelan-pelan coba praktikkan. Dan anehnya, waktu itu pas banget momennya: lagi galau berat soal kerjaan. Sampai akhirnya klimaks—saya memutuskan resign dan switch career. Bisa dibilang, saya ini “korban LoA”, karena konsep ini bener-bener mengubah cara pandang saya. Padahal kerjaan yang saya tinggalin waktu itu sudah cukup mapan dan menjanjikan.
Waktu berlalu, eh, belakangan saya mulai nemu konten tentang LoA ini bersliweran di media sosial, bahkan di kanal YouTube. Yang bikin makin menarik, ternyata banyak juga yang ngebahas konsep ini dari sudut pandang Islam, bahkan dikaitkan langsung sama ayat Al-Qur’an.
So, what is LoA atau Law of Attraction alias Hukum Tarik Menarik? Intinya sih, apa yang kita pikirkan, dan apa yang kita fokuskan—itu yang akan kita tarik ke dalam hidup.
Kedengarannya kayak sihir ya? Magical banget. Tapi ternyata, kalau direnungin lebih dalam, ini tuh nggak jauh beda sama nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam.
Sebagai muslim, saya juga sempat mikir, “Boleh nggak sih kita nulis keinginan secara detail? Bikin wish list? Visualisasi pakai vision board? Afirmasi?” Awalnya saya agak ragu juga. Takutnya ini cuma gaya hidup ala barat yang nyaru spiritualitas. Tapi setelah saya cari tahu dan pelajari lebih dalam, ternyata banyak banget prinsip-prinsip LoA yang justru sudah diajarkan Islam—bahkan dari sejak 14 abad lalu.
Doa, Husnudzon, dan Tawakal: LoA versi Islami?
Saat kita berbicara tentang doa, husnudzon (prasangka baik), dan tawakal (pasrah pada ketetapan Allah), kita sebenarnya sedang mempraktikkan Law of Attraction versi Islami.
Ketiga prinsip ini—doa yang sungguh-sungguh, husnudzon yang tak tergoyahkan, dan tawakal yang penuh keikhlasan—adalah inti dari bagaimana seorang muslim "menarik" kebaikan dalam hidupnyaKita sering dengar bahwa doa itu senjata orang beriman. Tapi ternyata bukan cuma doa aja; Allah juga mengajarkan pentingnya prasangka baik (husnudzon). Dalam QS Al-Baqarah ayat 186, Allah bilang:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka (jawablah), 'Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.' Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran."
Duh, mind blowing nggak sih? Artinya, kalau kita yakin Allah akan kabulkan, itu bisa banget terjadi. Tapi tentu, bukan sekadar afirmasi kosong. Dalam Islam, keyakinan itu harus diiringi usaha dan tawakal. Jadi kalau LoA versi Barat bilang "universe will give you what you attract", maka versi Islam-nya lebih ke: "kamu usahakan, kamu doakan, dan kamu yakin Allah Maha Mampu."
Dengan kata lain, ngga cukup berdoa saja. Kita juga harus walk the talk permintaan yang kita panjatkan.
Fokus Menentukan Arah: Tentang RAS dan Imajinasi
Jauh sebelum saya baca bukunya mba Rhonda ini, saya sudah punya kebiasaan bikin wish list. Kalau lagi pengen sesuatu, saya catat di notes. Mulai dari barang-barang kecil, sampai tempat-tempat yang ingin saya datangi. Tujuannya sih simpel—buat bahan pertimbangan sebelum belanja, semacam perencanaan anggaran plus riset pasar versi saya sendiri. Ternyata, saya tuh segitu well-planned-nya ya… uhuk 😂
Surprisingly, tidak sedikit dari wish list yang saya tulis di notes ala-ala yang kejadian. Entah gadget idaman, kamera mirrorless bahkan hingga destinasi liburan! Masya Allah.
Setelah berkeluarga dan punya anak, wish list-nya makin beragam. Bukan cuma mimpi dan target pribadi, tapi juga harapan untuk anak-anak dan pasangan ikutan masuk daftar. Soalnya, doa dari istri dan ibu itu insyaAllah manjur, kan? 😄
Wish list saya nggak selalu soal yang besar-besar. Memang ada impian liburan, sampai ke luar negeri, tapi ada juga hal kecil tapi penting yang saya tulis dengan sungguh-sungguh. Misalnya, ingin aktif blogging lagi (yes, ini wish list 2025), punya produk digital dengan niche project management, belajar investasi buat persiapan pensiun, sampai harapan Si Bungsu bisa keterima di PTN lewat jalur undangan.
Belakangan, pengetahuan saya tentang LoA bertambah lagi. Saya kenalan dengan yang namanya RAS—Reticular Activating System. Pernah dengar? Ini semacam radar internal di otak kita. Dia yang nyaring informasi dan menentukan mana yang layak kita perhatikan. Nah, ketika kita sering mikirin satu hal—misalnya mau belajar digital skill atau pengen umroh—otak kita mulai nge-zoom in ke hal-hal yang nyambung sama itu. Tiba-tiba nemu info webinar, ketemu e-course, baca promo tiket. Padahal semuanya udah ada dari dulu, tapi baru kelihatan setelah kita fokusin.
Dan yang bikin makin takjub, otak manusia itu ternyata nggak bisa bedain mana kenyataan dan mana imajinasi. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai mental imagery. Ketika kita membayangkan sesuatu dengan detail dan emosi, otak kita memprosesnya seolah-olah itu sedang terjadi beneran. That’s why, visualisasi dan afirmasi itu bisa jadi alat yang luar biasa kuat—asal dilakukan dengan niat yang benar dan fokus yang terjaga.
Menjaga Niat
Dalam Islam, semua berawal dari niat. “Innamal a’malu binniyat,” kata Nabi. Dan menurut saya, visualisasi itu adalah bentuk nyata dari niat yang dijaga terus-menerus. Saat kita membayangkan sesuatu—dengan detail dan kesungguhan—itu seperti bilang ke diri sendiri: “Aku serius loh sama keinginan ini.” Kalau ditambah dengan doa, afirmasi positif, dan langkah nyata, maka kita sebenarnya sedang membuka jalan buat pertolongan Allah datang. Mudahnya; niat yang tulus adalah fondasi, doa adalah bensinnya, husnudzon adalah keyakinannya, dan tawakal adalah penutupnya
Di momen-momen seperti itu, wish list bukan cuma jadi catatan iseng. Tapi jadi semacam reminder hidup, titik fokus kita. Supaya nggak kejadian tuh yang suka dialami banyak orang—hari ini pengen A, besok doanya B, lusa mikir lagi mau C. Padahal, kalau keinginan aja belum jelas, gimana Allah mau bantu arahkan?
Dan sering kali, waktu keinginan nggak terwujud, kitanya yang buru-buru mish-misuh: “Kok nggak kesampaian sih?” Padahal kalau ditelusuri, bisa jadi antara doa yang kita panjatkan dan usaha yang kita lakukan belum sepakat. Belum sinkron. Jadi bukan soal gagal, tapi lebih ke: belum disambungin aja antara niat dan langkah..
Kesehatan Mental dan Harapan di Usia 50+
Masuk usia 50+ itu rasanya seperti masuk babak baru dalam hidup. Banyak hal berubah, dan seringkali datangnya barengan. Ada perubahan fisik yang mulai terasa, tubuh pun mulai kasih sinyal—terutama bagi perempuan yang bersiap melewati fase menopause. Perubahan hormon estrogen, yang salah satu fungsinya menjaga suasana hati dan kemampuan kognitif, mulai terasa berbeda. Kesehatan mulai perlu diperhatikan lebih serius.
Anak-anak makin besar, mulai jarang di rumah. Anak pertama sudah menikah dan punya sarangnya sendiri. Anak kedua anak saya memutuskan untuk kost saat kuliah. Otomatis rumah mendadak sepi, nggak ada lagi yang bisa dicerewetin 😆. Officially empty nester, deh.
Di sisi lain, transisi karier yang bikin mikir ulang soal arah hidup. Mulai menkhawatirkan banyak hal, salah satunya : “Nanti kalau pensiun, hidup gue gimana ya?” Semua pikiran itu numpuk. Kadang bikin kepala penuh, tapi hati kosong. Dan kalau semuanya cuma disimpan sendiri… bisa-bisa bikin kita nggak waras 😅
Di titik itulah, saya merasa konsep Law of Attraction bukan cuma teori manis, tapi bisa jadi cara buat bertahan—bahkan bangkit. Fokus pada potensi diri, bersyukur atas hal kecil, dan mulai memvisualisasikan harapan-harapan sederhana, ternyata bisa banget menggeser energi harian.
Wish list yang awalnya cuma ditulis di notes, sekarang menyadarkan saya bahwa daftar ini bukan cuma daftar angan, tapi bisa jadi titik awal untuk membangun vision board yang lebih terarah—dan lebih terasa hidup.
Dibarengi dengan kontemplasi; questioning myself: “So, what’s next? Mau saya bawa ke mana hidup saya setelah ini?” Insya Allah adalah ikhtiar saya memaknai hidup menjadi lebih baik lagi.
Bukan yang langsung bikin semuanya baik-baik saja, tapi cukup buat nambah semangat dan harapan. Ini juga salah satu alasan kenapa akhirnya saya memutuskan untuk kuliah lagi di usia yang tak lagi muda.
Dan di sinilah vision board datang sebagai “alat bantu hati”. Menuliskan harapan, memvisualisasikan kebaikan, dan mengucapkannya dalam doa. Bentuk self-healing yang kalau diresapi bisa nenangin jiwa. Kita jadi inget bahwa hidup belum selesai. Masih bisa banget diisi dengan makna, tujuan, dan rencana. Nggak ada istilah ketinggalan kereta. Karena buat berharap… nggak pernah ada kata terlambat.
Vision Board dan Wish List: Old Habit, Hard to Die
Setelah punya daftar harapan, biasanya saya lanjut cari gambar-gambar yang cocok buat vision board. Sesuai namanya, vision akan lebih “mantul” kalau divisualisasikan. Semakin detail gambarnya, semakin jelas niat dan arah pikirannya. Bisa ditambahin deskripsi juga biar makin kuat kesannya.
Nggak bisa gambar? No worries.
Nggak bisa gambar? No worries.
Saya pun nggak jago gambar, kok 😄 Tapi sekarang banyak cara. Bisa ambil dari Pinterest, pakai elemen di Canva, atau bahkan foto sendiri. Saya suka banget cari kata-kata afirmasi atau kutipan yang bisa nyentuh hati dan memunculkan perasaan hangat waktu dibaca ulang.
Dan yang paling penting: saya sisipkan unsur spiritual berua doa-doa harian favorit, kutipan ayat Al-Qur’an, atau afirmasi Islami yang saya tulis sendiri.
Untuk Vision Board 2025, saya cetak dan tempel di dinding meja kerja. Tujuannya, agar sering terlihat dan menjadi pengingat bahwa saya sedang berikhtiar. Ini juga jadi booster semangat saat kemalasan datang tanpa aba-aba, membuat saya lebih fokus dan bersemangat menjalani hari.
Yuk, Coba Bikin Vision Board Islami
Kalau kamu belum pernah bikin vision board, coba deh mulai. Nggak usah nunggu tahun baru. Bisa dimulai kapan aja—hari ini juga. Caranya simpel kok:
- Tulis keinginanmu.
- Cari gambar/kata yang mewakili harapanmu.
- Susun di atas kertas, versi manual.
- Jika ingin dalam bentuk digital bisa pake Canva (versi gratis juga cukup banget!).
- Sisipkan kutipan spiritual atau afirmasi Islami. Tambahkan doa (optional).
- Simpan di tempat yang sering kamu lihat.
Khusus untuk pengguna Canva, platform desain yang belakangan juga dipakai oleh desainer profesional punya segudang template vision board. Tinggal pilih dan modifikasi sesuai selera. Atau mau samaan dengan template yang saya pakai? Boleh. Tinggal akses dan isi sendiri, ya. Dan ini pake versi gratisan, kok!
👉 Klik di sini untuk mulai membuat versimu: [Link Canva Template Vision Board Islami – Gratis]
📌 Kalau kamu ingin coba bikin wish list versi kamu sendiri, saya juga udah siapkan template printable-nya di bagian ini, lho! Bisa langsung diunduh dan mulai coret-coret dari sekarang ✍️
Jadi, Law of Attraction versi Islami bukan sekadar visualisasi kosong. Ini adalah kombinasi dari doa yang tulus, husnudzon yang kokoh kepada Allah, dan tawakal yang penuh keyakinan bahwa semua kebaikan akan datang pada waktunya. Itulah mengapa, bagi saya, berharap dan berikhtiar adalah perjalanan yang penuh berkah
Selamat menyusun harapan, teman.
Semoga Allah kabulkan semua niat baik kita. Aamiin. 🩷