1-Day with Jakarta Corners part One

by - November 22, 2015

Menara Syahbandar


I don’t why but China Town success in getting my interest.  If I got a chance come to new places and know there is a China town, I always try to visit them.  Jika berkunjung ke suatu daerah dan tahu ada bagian Pecinannya, saya berusaha sempatkan diri untuk mendatanginya karena selalu ada aja menemukan hal-hal menarik untuk dilihat.

Saking fascinatenya sama yang berbau-bau Cina, sampai bela-belain naik mobil brandweer demi lihat arak-arakan Barongsai ^_^ .  Sebelumnya pernah juga ikutan hunting di kawasan Petak Sembilan dalam rangka menyambut Imlek (lagi !) yang diselenggarakan oleh salah satu komunitas foto.  Jadi ketika tahu hadiah blog competition yang diselenggarakan oleh Jakarta Corner dan Grand Zuri BSD yang saya ikuti; selain voucher menginap adalah juga 1-Day City Tour dengan salah satu visiting point-nya adalah Pecinan Tangerang, so it is a big YEAY !!

Iya, ternyata tulisan yang saya ikut sertakan ini dianggap salah satu yang diperhitungkan oleh Tim Penilai dari 33 peserta lainnya.  Alhamdulillah.  


Membaca itinerary tour sehari yang sudah dirancang pihak penyelenggara, it's gonna be a whole day program; from dawn 'till dusk.  Starting point dari Grand Zuri BSD pukul 7 pagi.  Sesi pagi mengambil fokus di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa dan sekitarnya.  Ishoma [istirahat-shalat-makan siang] di Zuri Ekspress.  Lanjut sesi siang ke daerah Pecinan Tangerang dan ditutup makan malam bersama bertempat di Grand Zuri BSD lagi.  Wuih, padat bok !

Yang terbersit di kepala pertama kali adalah; kudu jam berapa dari Bogor supaya sampai di BSD pukul 7 pagi ?  Gak kurang akal, saya propose ke panitia untuk bertemu rombongan di Pelabuhan Sunda Kelapa mengingat saya bakal menggunakan commuter line dengan tujuan akhir Kota. Ternyata salah satu founder JC yaitu Dewi Rieka yang khusus datang dari Semarang akan berangkat juga dari Bogor.  Kami berdua akhirnya sepakat akan menggunakan commuter line pukul 6 pagi.

Ada kejadian kocak gegara kesepakatan tersebut.


Gegara Handphone

14 November pagi menjelang pukul 6, saya sudah sampai di Stasiun Bogor.  Sebuah pesan saya kirimkan pada Dedew, begitu saya biasa memanggil si empunya buku Anak Kost Dodol ini.  Sesaat saya sadar jika jaringan provider 3G yang saya pakai hang alias dut alias matek !  Adduuh, kenapa sih, selalu ada aja gangguan ketika diperlukan ?  Saya coba telepon Dedew.  Nggak diangkat. Hingga kaki melangkah ke peron dan naik kereta lalu memilih tempat duduk; Dedew masih ngga bisa dihubungi dan pesan saya sudah 5 menit nongkrong di outbox.  Hadeeuhhh !  

Mata saya masih tertuju pada layar smart phone dalam genggaman. Bolak-balik restart berharap si telephone kembali befungsi seperti biasa.  Saking fokusnya sama si telepon genggam dan sibuk mikirin nasib Dedew yang harusnya jadi teman seperjalanan, hingga ngga peduli sekililing.  Tak lama kereta pun bergerak pelan.  Yah, Dew, belum jodoh nih jalan bareng elo.  Batin saya.

Akhirnya saya coba telepon Dedew lagi.  Last one, pikir saya.  Eh, nyambung. Terdengar suara Dedew di seberang sana.

"Dew, di mana ?" semburku setelah kata halo berlalu.
"Udah di kereta nih" jawab Dedew.  Pantes, backsound suara Dedew riuh, pikir saya.
"Aku juga di kereta" kataku lagi.  Wah, jangan-jangan kita di rangkaian yang sama.  Artinya Dedew ada di kereta yang sama.  Tinggal tanya di gerbong mana.  Bisa dicari nih, saya semangat lagi.
"Di gerbong mana ?!" seru Dedew.

Selama berbincang saya nengok ke arah kanan sambil mata mencari Dedew, karena saya duduk di gerbong wanita yang paling belakang.  Manakala mendengar seruan Dedew terakhir, kok rasanya sumber suara itu deket banget.  Ketika menoleh ke kiri, nampak seorang wanita berkerudung sedang memegang handphone, sedang berbicara.  Tanpa ragu saya jawil dia sambil ngomong, "Eh, eh, di sebelah sini."

Wanita berkerudung yang dijawil pun menoleh, Dedew bingung lihat saya.  Kita berdua masih dalam posisi berbicara dengan handphone padahal lawan bicara duduk di hadapan masing-masing.  Kami terdiam sesaat dan pecahlah tawa kami kemudian.  Saking kerasnya suara tawa kami, hingga mengundang tatapan herang dari penumpang lain.


Dedew, My "missing" train mate

Kalo dipikir lagi, mirip lawakan banget.  Bicara dengan orang yang duduk di samping kok pake telepon.  Hihihi.  Begitulah, jika kita terlalu sibuk sendiri dan ngga perhatikan sekeliling.  Gara-gara jaringan ngadat, nih !

Selama perjalanan, Bogor - Stasiun Kota, kami berdua bertukar cerita. Tapi rasanya saya yang lebih banyak mendengar update Dedew.  Tentang komunitas blogger Semarangnya.  Tentang proyek buku anaknya dengan pihak asing.  Tentang ide membuat novel Anak Kost Dodol yang ternyata nge-hits banget dan jadi serial.  BTW, buku ini merupakan salah satu favorit Kakak Cantik, hingga punya koleksinya lengkap.  Tentang writers block yang dialaminya dan break the routine adalah opsinya untuk menimba ide-ide baru.  Wah, banyak pokoknya !

Sesekali tertawa lagi, terutama kalo inget kekonyolan pagi tadi.  Sesuai estimasi, kami tiba di tujuan akhir setelah 2 jam kemudian.  Dari kejauhan saya sudah melihat Donna Imelda, salah satu dari enam founder Jakarta Corners.  Ketika kejadian itu kami ceritakan pada Donna Imelda, si ibu dosen yang juga satu-satunya peserta Indonesia di Kerala Travel World Blogger Competition 2014 cuma bisa geleng-geleng kepala.

Ternyata peserta yang berkumpul di Stasiun Kota cukup banyak; total ada 5.  Selain kami bertiga, ada Evrina dan Nunik Utami yang bergabung kemudian.  Dengan menggunakan taksi, kami berlima segera meluncur ke Menara Syahbandar.

Menara Syahbandar

Sejatinya Pelabuhan Sunda Kelapa adalah tujuan pertama kami hari itu, namun karena kami termasuk rombongan yang kesiangan, maka luput sudah impian untuk foto-foto di sana.  Belakangan saya baru tahu, pilihan waktu yang baik berkunjung ke pelabuhan kuno yang konon juga merupakan pelabuhan di era Kerajaan Pajajaran, adalah di waktu pagi sebelum pukul 8 atau sore sekalian. Buat penggemar foto, kombinasi sinar matahari dan aktivitas pelabuhan menjanjikan suguhan gambar yang ciamik.  Harus dicoba nih, kapan-kapan.

Menara Pengawas Sunda Kelapa


Walau hari belum siang, tapi matahari terasa sudah tinggi dan panas mulai menggigit. Mungkin karena lokasinya di Utara Jakarta yang notabene sudah jarang pepohonan.  Nampak pula rombongan-rombongan kecil lain pengunjung bangunan yang konon dibangun oleh Belanda di tahun 1600-an. Walau demikian, bangunan yang usianya nyaris berusia 4 abad ini masih tampak apik terawat. Halamannya bersih dan ada beberapa pohon rindah di tengahnya.  Bikin suasana jadi agak teduh dan tempat yang tepat sebagai area untuk berkumpul.




Di sini pula, panitia membagikan kaos merah sebagai kostum kami hari itu.  Jadi kalo kebetulan pada hari itu ada yang lihat gerombolan pake kaos merah di sekitaran kawasan tersebut, nah...itulah kami ^_^.

Meniti tangga ke menara yang dibangun untuk menunjang kegiatan navigasi kapal dagang VOC, saya seperti de ja vu ketika menaiki tangga mercu suar di Pulau Lengkuas, Belitung beberapa waktu yang lalu.  Bedanya, menara ini dibangun tahun 1600-an dengan ketinggian 40m dengan tangga terbuat dari kayu.  Sedangkan mercu suar Pulau Lengkuas setinggi 70m dan dibangun tahun 1882 terbuat dari lempeng besi.

Di lantai 2 menara, ada ruangan berpintu, mungkin dahulunya berfungsi sebagai kantor.  Tidak ada perabotan.  Yang nampak di ruangan kosong ini hanya terlihat jejeran lukisan dengan gambar aneka bentuk kapal.  Menilik dari tampilannya, sepertinya gambar-gambar tersebut sudah berumur pula.




Ketika sampai di lantai 3, pandangan mata lepas ke segala penjuru mata angin.  Di situ saya baru tersadarkan akan keseriusan Belanda dalam mengeksplorasi hasil bumi tanah air.  Dari titik ini, terlihat bebas jejeran kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa.  Mengingat kepadatan bangunan empat abad yang lalu tidak seperti sekarang, saya yakin horizon nampak jelas di cakrawala.  Mata telanjang bebas melihat kapal yang hendak masuk maupun yang angkat sauh hendak berlayar.


Tampak Musium Bahari di sisi kiri
Jejeran kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa di sisi kanan
Di belakang bangungan tinggi apartment itu adalah Laut Jawa


Di masanya dahulu, Menara Syahbanda yang letaknya persis di sisi Sungai Ci Liwung ini disebut sebagai Gedung Colombo.  Konon, meniru nama bangunan pendahulunya di tanah Belanda sana. Namun keindahan Sungai Ci Liwing sudah tak nampak lagi.  Sekarang di jalur sungai yang sama yang nampak adalah tumpukan pasir, semacam delta, serta genangan air yang menghitam karena polutan.  Sayang sekali.

Tanda keseriusan Belanda lainnya tercetak jelas dari komplek bangunan tua di sekitaran menara.  Sebut saja Galangan VOC yang dulunya berfungsi sebagai gudang penyimpanan rempah-rempah dan gudang kapal.  Gedung Galangan VOC ini letaknya tepat di seberang Menara Syahbandar.  Terpisahkan oleh kali yang airnya tidak lagi bersih.

Di sisi lain, masih sejajar dengan Menara Syahbandar, nampak deretan bangunan tua yang dahulunya digunakan sebagai gudang utama penyimpanan kargo dagang VOC atau yang sekarang dikenal sebagai Musium Bahari.

Untuk jelasnya, tempat-tempat yang saya sebutkan di sini ditandai oleh stabillo warna kuning. Sayangnya nama Musium Bahari tidak nampak di Google Maps berikut.

 Sumber Google Maps


Musium Bahari

Musim ini letaknya tepat di belakang Menara Syahbandar.  Jalan kaki nggak sampe lima menit. Jalanan di depan Musium Bahari sekarang dipenuhi oleh jejeran kios.  Sesuai dengan namanya; Jalan Pasar Ikan.

Menurut tour guide yang mendampingi kami siang itu, Musium Bahari atau dulunya disebut sebagai Gudang Barat dibangun belakangan setelah Menara Syahbandar.  Sama seperti Menara Syahbandar, bangunan ini pun masih menggunakan bahan aslinya dahulu.  Terlihat jejeran kayu-kayu besar sebagai pasak penyangga bangunan.  Rupanya itu kayu jati asli tanah Batavia.  

Masih menurut tour guide, Batavia juga dahulunya salah satu penghasil kayu jati yang bagus. Perhatikan nama-nama daerah yang mengandung kata-kata "jati", nah itulah daerah penghasil kayu jati; tutur beliau.  Pikiran saya langsung ingat dengan daerah Jatinegara, Pangkalan Jati, hmmm apalagi ya ?

Bukti bagusnya kualitas kayu jati Indonesia 

Kalau menilai dari penampakan kayu yang digunakan dan masih bertahan hingga sekarang, rasanya gigi rayap juga bakalan rompal kalo berani gigit-gigit kayu ini hihihi.

Sesuai dengan namanya, musium ini menyimpan segala sesuai yang bersinggungan dengan dunia kemaritiman.  Selain memajang aneka perahu beserta atribut kapal seperti papan kemudi papan yang panjangnya sepuluh meter lebih, replika kapal Phinisi yang konon pernah mencapai Venezuela dalam hitungan 80 hari hanya dengan mengandalkan angin semata.  Jaman dahulu belum kenal kapal mesin, bok !  Betul-betul menunjukkan kepiawaian orang Indonesia dalam dunia pelayaran.

Yang saya nilai unik dari musium ini adalah konsep diorama yang diajikan dalam 3 bagian berbeda. Diorama pertama tentang penjelajah laut, menampilkan semua orang-orang ternama dalam dunia kelautan.  Di bagian ini terlihat replika Ibnu Batuta, the first moslem traveller, Marcopolo hingga Vasco da Gama.




Bagian kedua menyajikan folklore dunia yang bersinggungan dengan air.  Terakhir, diorama legenda tanah air yang kental berhubungan dengan kelautan; mulai dari Legenda Si Malin Kundang hingga Nyai Roro Kidul.





Masih dalam diorama, yang saya nilai paling menarik adalah The Room of Spice Inter-Continent.  The Black Gold yang menarik hati bangsa Eropa untuk mencengkeramkan kekuasaannya di tanah khatulistiwa.  Aneka rempah inilah yang menjatuhkan hati VOC untuk menetap dan mengeruk sebanyak mungkin.  Dari sekian banyak rempah yang dipamerkan, ada dua jenis yang sama sekali asing bagi saya yaitu jungharab dan sepranto.  Ngga familiar banget dengan nama-nama tersebut.  Kalau Anda ?




Selain kekokohan bangunan, hal unik lainnya adalah arsitektur bangunan yang jika diperhatikan adalah kombinasi antara Cina dan Eropa.  Mengapa demikian ?  Karena desain dibuat oleh orang Eropa sedangkan pekerjaannya dilakukan oleh orang Cina.  Jadi ketika membangun, oleh pekerja Cina tetap dimasukkan unsur-unsur Cina.  Hal mana terlihat dari kayu jati yang dicat merah ataupun ujung bangunan yang lancip layaknya bangunan Cina.  Another form when East meats West.


Perhatikan warna merah pada pintu (kiri) dan bentuk puncak bubungan  (kanan)


Betah rasanya berlama-lama di sini.  Ada banyak sudut cantik yang bisa diabadikan. Ini sebagian yang bisa saya share dengan Anda.  Di beberapa bagian, khususnya pintu lengkung, di atasnya ditorehkan tahun pembuatan.  Salah satunya tertulis Anno 1774.  Jadi umur pintu itu kurang lebih 300 tahun !






Saking luasnya bangunan ini, peserta tour jadi tersebar terutama setelah melihat banyak spot cantik yang rasanya sayang jika tidak diabadikan.  So pasti, foto-foto judulnya.  Walau matahari kian terasa menggigit namun hasrat selfie dan wefie lebih ganas.  Hehehehe.

Sebelum lanjut dengan cerita selanjutnya di bagian 2, iya masih panjang ceritanya !  Tonton dulu video pendek ini dulu ya...




to be continued ...

  

You May Also Like

24 comments

  1. Serasa baru kemarin. Eh tahu-tahu sdh seminggu yang lalu, Mbak Ratna :)

    ReplyDelete
  2. Wah, jakarta corners benar2 dibutuhkan nih buat warga.

    Banyak spot cantik di jakarta yg bisa diliput soalnya

    ReplyDelete
  3. Perjalanan yang seru Mbak, saya terakhir ke museum bahari pas SMA hihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini malahan perjalanan pertamaku, mba Titis. Makanya sedikit norak gitu ^_^

      Delete
  4. Kejadian saling telpon padahal berdekatan itu bikin aku senyum-senyum terus mbak :D

    Catatan ini sangat menarik, sarat informasi. Aku terkesan dengan tulisan mbak Ratna :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya tuh, Dedew kocak banget. Bikin kita ketawa-ketawa terus kali inget.
      Hadooh, aku terbang dikomentari begitu sama mba Rin. Semoga bisa mengikuti jejakmu exist di majalah flyer ya, mba ^_^

      Delete
  5. jadi kangen sama Kota Tua. Pengen ah ajak anak-anak lagi ke sana. Karena gak cukup menjelajahi Kota Tua kalau cuma sehari :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kota Tua memang spot yang tak kunjung bosan untuk didatangi

      Delete
  6. Replies
    1. apane sing apik, mba Nurul ?
      Musiumnya ? Iya, masih terjaga rapih. Salut sama pengelola. Semoga makin banyak pengunjung musiumnya.

      Delete
  7. Replies
    1. History is to remember. Banyak hal yang bisa dipelajari.

      Delete
  8. wah ini sih keren habsi secara aku suka sekali yg berbau sejarah

    ReplyDelete
    Replies
    1. keren pake bingits, mba Tira. Worth experience deh

      Delete
  9. Wah serunya yang jalan-jalan, aku belum pernah nih ke Jakarta.
    Kejadian yg telpon itu bikin ngakak deh mbayanginnya, itu mb Dedew duduk di sebelah kiri persis ya? Kok mb Dedew juga nggak nyadar hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. mba Lianny, Dedew duduknya persis di sebelah kiri aku. Kita aja kalo ngebayangin, ngikik-ngikik kok

      Delete
  10. wkwkwkw srimulaaat maak...aku kalau inget geliii...semoa kita bisa jalan-jalan bareng lagi yaa..seruu...

    ReplyDelete
  11. Tulisannya detail dan sangat informatif. Foto-foto anglenya pas, menampilkan wisata budaya peninggalan masa lalu yang selalu menarik . Pembacanya seperti diajak jalan ke Kota Tua beneran.
    Sepertinya tempat yang layak dikunjungi ya mba.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau suka sejarah, akan suka dengan lokasi yang aku ceritakan, mba Yanti

      Delete

Hai ^_^
Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan saya di blog ini.
Silakan tinggalkan komentar yang baik.
Mohon maaf, komentar anonim maupun yang sifatnya spam, tidak akan dipublikasikan.
Keep reading and Salam !