Katedral - Istiqlal, Romantisme Dua Agama Besar Indonesia

by - May 08, 2016

Mesjid Istiqlal


Seperti de ja vu ketika siang itu shalat zuhur di Mesjid Istiqlal bersama teman bloggerku Dona Imelda.  Belasan tahun lalu, saya dan Mama sesekali menyempatkan diri untuk shalat zuhur di sini sebelum kami melongok toko-toko di sepanjang Pasar Baru.  

Ingatan yang tak pernah pergi adalah anginnya yang menyejukkan, terutama jika mengambil shaf di lantai atas.  Demikian juga dengan siang itu.  Anginnya masih semilir berhembus dari jendela ke jendela, menyelinap antara selasaran. Sinar matahari tak malu-malu menerobos setiap lubang dan rongga berbentuk geometris yang menyelimuti keseluruhan bangunan mesjid.



Istiqlal dari halaman Katedral


Saya awam akan ilmu bangunan.  Tapi melihat konsep mesjid yang minimalis dan relatif ramah lingkungan dalam artian mesjid tidak perlu alat pendingin ruangan, melahirkan kesimpulan pribadi jika sang arsitek seorang visioner.  Ketika sekarang kita berkutat dengan masalah penghematan energi, mesjid yang didesain untuk menampung kapasitas 120ribu umat serta butuh waktu 17 tahun untuk penyelesaiannya itu, tak pusing akan AC.  Di masa itu, manalah ada issue Go Green, betul?  




Siang itu saya benar-benar menyimak interior mesjid yang ternyata juga minim ornamen.  Kubah berdiameter 8 meter, simbolik dari bulan Agustus, ditopang oleh sejumlah pilar.  Begitu kita jejakkan kaki di bagian dalam hall, sudah terbaca tulisan Allah dan sebelah kiri dan Muhammad (SAW) di kanan dinding tempat imam memimpin shalat.  Kaligrafi hanya terlihat di sekeliling kubah bagian dalam.


Selasaran Istiqlal








Bukan tanpa maksud pula Presiden Soekarno menempatkan Mesjid Istiqlal berdampingan dengan Gereja Katedral yang telah berdiri dari awal tahun 1900-an.  Dari situs tentang sejarah Mesjid Istiqlal, saya baru tahu jika lahan ini dahulunya adalah Taman Wilhelmina.  Selain mengadopsi filsafah Jawa di mana bangunan pemerintahan dan rumah peribadatan dipusatkan di tengah kota yang biasanya juga terdapat alun-alun (baca Lapangan Banteng), pemilihan lokasi juga sebagai tujuan simbolik agar kedua umat tetap selalu berdampingan.

Seperti siang itu, azan zuhur berkumandang tak lama lonceng panggilan misa Gereja Katedral berdentang.




Gereja Katedral

Curiousity kills the cat.  Begitu proverb (peribahasa - English) yang pernah terbaca oleh saya. Maksudnya, rasa ingin tahu yang teramat sangat dapat menjerumuskan seseorang pada kesulitan. Tapi itu tak berlaku ketika akhirnya saya bisa masuk ke dalam Gereja Katedral.  Yup, rasa penasaranlah yang membawa saya dan Donna ke sana di suatu hari minggu lalu.



Langit-langit gereja dengan desain gotik


Pertama, penasaran ingin tahu seperti apa sih bagian dalam gereja.  Kalo ke pura sudah, ke klenteng juga iya, so why not church then?  Apalagi ini Gereja Katedral.  Bisa dibilang Katedral adalah ikon bangunan jaman kolonial Belanda yang masih tegap berdiri.  Walau ternyata bukan bangunan asli karena pernah roboh setelah terbakar pada tahun 1890.  Katedral yang dikenal sekarang adalah hasil renovasi yang kemudian resmi digunakan semenjak tahun 1901.





Sebagai penyuka sejarah dan sesuatu yang terkait dengan sejarah itu sendiri termasuk bangunanannya.  dengan diijinkannya mengambil foto dalam gereja yang dibangun dengan konsep gotik itu adalah sesuatu banget.  "Asal tidak naik ke area ke Altar dan tidak mengganggu (umat) yang beribadah ya, Mba", demikian pesan pengurus yang kami jumpai siang itu.  





Salah satu lukisan dinding


Halamannya tidak luas. 
Di hari raya, kendaraan umat yang membludak bisa menggunakan parkiran Mesjid Istiqlal.
Nice isn't?


Katedral view dari Mesjid Istiqlal


Orgel 1000 pipa buatan Belgia


Dan akhirnya, saya dan Donna pun masuk ke bagian dalam gereja yang selama ini cuma dilihat di media cetak atau film.  Kami berdua pun larut dengan keindahan seni yang ada di dalamnya.  Sibuk mengabadikan sudut-sudut unik klasik dengan kamera.  Melihat ornamen yang vintage, saya serasa berada dalam musium.  Sayangnya musium Katedral tidak beroperasi hari itu.  Musium hanya dibuka pada hari Senin, Rabu dan Jumat mulai pukul 10:00 - 12:00.  Meskipun banyak dipamerkan memorabilia dalam musim, pihak Gereja tidak mengijinkan pengunjung untuk mengambil foto-fotonya.  Well, too bad however we need to respect it, right?

***

Mendatangi tempat ibadah dua agama besar tersebut menambah khasanah baru pengetahuan dan pemahaman akan perbedaan. Desain Mesjid Istiqlal ternyata dilombakan, bukan melalui proses tender tunjuk langsung yang sarat nepotisme.  Dari sekian banyak kontestan, salah satunya adalah seorang Nasrani bernama F. Silaban.  Kabarnya sang arsitek meluangkan watku 3 bulan untuk mempelajari dan memahami literatur tentang Islam dan akhirnya menuangkan rancang bangun yang sarat akan simbol agama yang disiarkan oleh Nabi Muhammad SAW kurang lebih 14 abad yang lalu.

Sejarah Indonesia akhirnya mencatat maket mesjid yang diberi judul "Ketuhanan" karya Frederich Silaban -si anak pendeta itu- sebagai pemenang desain mesjid dari 22 peserta sayembara.

Dan mungkin, itulah upaya Tuhan untuk mengingatkan bangsa ini agar selalu damai dalam perbedaan.





Referensi:
http://jakartapedia.bpadjakarta.net/index.php/Sejarah_Masjid_Istiqlal
https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Katedral_Jakarta

You May Also Like

9 comments

  1. Ke dua gedung tersebut sering saya lintasi tapi belum pernah sekalipun memasukinya. Membaca tulisan diatas berasa ikutan kedalam...

    ReplyDelete
  2. belum pernah masuk ke katedralnya paling lewat aja selama ini mbak

    ReplyDelete
  3. romantisme, duuh judulnya itu lhoo, menghanyutkan.
    Yups aku setuju, itu simbol harmonisasi kehidupan di negeri ini. Harapan kita, dua rumah ibadah yang bersejarah ini menginspirasi ya mba

    ReplyDelete
  4. Wow bagus banget Mbak Ratna. Sayang aku belum pernah masuk ke dalam 2 tempat ibadah ini. Keterlaluan ya?

    ReplyDelete
  5. Aku suka judulnya mbak. Semoga kerukunan umat beragama seindah simbol kedua rumah ibadah ini ya

    ReplyDelete
  6. Semoga kerukunannya menyebar ke area Jakarta lainnya ya

    ReplyDelete
  7. Istiglal memang keren banget bangunannya. Waktu ke sana,kebetulan menjelang senja,dan saya beruntung bisa menikmati senja yang sangat cantik dari sebuah lorong di lantai atasnya. Seisi lorong diserbu cahaya matahari yang memerah. Saya juga punya keinginan untuk bisa masuk ke dalam Gereja Katedral. Sayang, belum ada teman dan belum punya kesempatan. Semoga bisa menikmati arsitektur bangunannya yang gotik, kapan kapan.

    ReplyDelete
  8. Friedrich Silaban juga setahu saya bukan seorang Islam. Itu memberi nilai banget pada bangunan dan sejarah Istiqlal, meski citadel yang digusur buat pembangunan masjid agak disayangkan juga, hehe.
    Melihat dua tempat ibadah yang bertetangga itu membikin hati sejuk ya, Mbak. Sesungguhnya kerukunan dalam perbedaan itu sangat mungkin dan bisa jadi kenyataan. Kantor saya dekat dengan dua gedung ini, cuma saya belum pernah sempat ke sana, haha.

    ReplyDelete
  9. Wow. Mesjid dan gereja yang berusia tua memang ibarat sebuah museum, menyimpan banyak cerita masa lalu yang menarik untuk kita kulik.
    Sayang ya ada bagian2 yang tidak boleh difoto di katedral. but it's ok, should respect for that.

    ReplyDelete

Hai ^_^
Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan saya di blog ini.
Silakan tinggalkan komentar yang baik.
Mohon maaf, komentar anonim maupun yang sifatnya spam, tidak akan dipublikasikan.
Keep reading and Salam !