My Dairy Note's

Life Style & Family Blog Indonesia

    • Home
    • About
    • Disclosure
    • Life Style
      • Books & Movie
      • Travel
      • Culinary
      • Fotografi
    • Women in Tech
      • Blogging
      • Techno
    • Midlife Series
      • Family
      • Wellness
    • Career & Project Management
      • Project Management

Dalam hal potret diri atau self portrait, kebanyakan dari kita hanya berfokus pada wajah manusia saja. Ini tidak mengherankan, mengingat emosi yang terpancar dari ekspresi, mata, dan angle/sudut pengambilan.  Tanpa hal ini, kebanyakan kita khawatir potret "tanpa" wajah akan terlihat tidak menarik.

Pemikiran ini tidak sepenuhnya betul.  Faktanya, potret tak berwajah dikenal karena kedalaman emosionalnya, komposisi memukau, dan detailnya yang luar biasa.  

Masih ingat dengan karya spektakuler Murad Osmann?  Influencer traveller yang terkenal dengan serial #followmeto di akun Istagram.  Foto-foto ciamiknya di setiap landmark destinasi yang dikunjungi dengan istri tercinta "hanya" menampilkan bagian punggung sang istri.  
Courtesy of Murad Osmann Instagram

Setelah saya perhatikan koleksi foto, ternyata banyak dokumentasi pribadi saya pun yang "tampak pungung".  Apakah saya ingin menyaingi Om Murad?  😆😘

Kebiasaan saya melakukan foto tanpa wajah atau juga dikenal sebagai Genre Faceless Portrait dipicu oleh penolakan.  Tepatnya penolakan oleh anak sendiri.

Makin besar mereka makin sulit diminta pose kecuali atas kemauan sendiri yang sayangnya belakangan jarang terjadi.  Padahal sebagai ortu selalu keingin mengabadikan momen sebagai dokumentasi. 

Ternyata tidak semua orang merasa nyaman menampilkan wajahnya di dunia maya.  Dan sebagai orang tua, saya harus menghargai pilihan tersebut.

On the other, every moment matters. Right?

Karenanya, salah satu menyiasati keengganan mereka difoto adalah dengan cara *drumroll*  faceless photograph !

Dari namanya saja sudah ketebak ya; memotret tanpa wajah.  Atau hanya sedikit menampakkan bagian wajah.  Kira-kira yang seperti apa?




Angle dan Teknik Pengambilan

Berkat genre faceless portrait, saya punya beragam opsi dalam mendokumentasikan polah kami bersama anak-anak.

Membuat saya menjelajahi angle yang tidak biasa, memperhatikan detil, dan kreatif bereksperimen dengan pencahayaan natural serta belajar sabar menunggu momen yang WOW saat memotret a'la candid!

Fotografi mengenal banyak pilihan "angle" atau sudut pengambilan.  Eye level, down look atau flat lay, frog eye, tampak belakang, dari samping; itu adalah contoh-contohnya dan sering saya praktekan.

Foto di atas adalah contoh sudut gambar angle dari samping dengan sumber cahaya membelakangi wajah saat hunting foto di Pasar Triwindu Solo.

Masih bermain-main dengan angle, saya mengabadikan wajah Anak Gadis mari dari arah samping namun dengan semi frog eye.  Hanya sebagian sisi wajah bagian kanan yang terlihat dan sedikit frame kacamata yang nampak.  Seperti yang terlihat pada gambar kanan bawah.






Efek Bokeh


Bermain dengan depth of field dan fokus pada sesuatu di latar depan, memungkinkan untuk membuat buramdi latar belakangnya. Coba turunkan f-stop pada kamera atau gunakan mode potret pada ponsel pintar Anda untuk mendapatkan efek bokeh. 

Hal lainnya yang dapat digunakan untuk menutupi wajah adalah dengan penggunakan props.

Misalnya saat anak saya sedang memegang handphone.  

Fokus kamera saya arahkan pada handphone, bukan pada wajah.  Sebisa mungkin handphone dipakai sebagai media untuk menutup wajah.  Sudut pengambilan eye level dengan titik api pada telepon genggam, memberikan efek blur pada wajahnya.  Trik ini untuk mengalihkan pandangan kita ke arah telepon genggam, bukan kepada wajah.

Selain style; props seperti buku, majalah, topi, boneka yang lazim dipakai dan dapat membantu foto lebih bercerita.

Momentum

Angle lainnya adalah dari belakang.  Entah sejak kapan, dalam banyak kesempatan khususnya saat berkumpul; saya prefer mengambil gambar secara candid dari arah belakang.  Walau hanya tampak punggung, ternyata hasilnya pun seekspresif wajah pada umumnya.   Body language atau gesture sang objek dari belakang pun ternyata mampu bercerita.

Faceless portrait yang hanya menampilkan penampakan punggung seringnya saya lakukan diam-diam alias candid tanpa diketahui oleh objek foto.

"A candid photograph is a photograph captured without creating a posed appearance. The candid nature of a photograph is unrelated to the subject's knowledge about or consent to the fact that photographs are being taken.

 

Foto candid adalah foto yang diambil tanpa membuat penampilan berpose. Sifat candid sebuah foto tidak terkait dengan pengetahuan subjek tentang atau menyetujui fakta bahwa foto sedang diambil"

Gambar dengan ekspres natural ini yang saya paling sukai dari candid; tidak dibuat-buat, tanpa pose yang direkayasa. 

Dua hal yang saya rasakan.  Pertama, saya jadi terbiasa mengambil dengan teknik ini.  Jadi belajar gesture dari belakang sekaligus belajar sabar menemukan the best moment saat candid.

Demi momen dari belakang, saya sering berada di posisi paling belakang jika bepergian bahkan sempat ketinggalan rombongan gara-gara kebiasaan ini.  😜


Teknik Long Shot

Pengambilan jarak jauh pun dapat menyembukan "wajah" kita.  Biasanya tujuan pengambilan foto dengan teknik pengambilan jarak jauh ini adalah untuk mengangkat landscape sebagai background.

Elemen manusia lebih pada "pelengkap" saja.  


Setelah saya coba, cara ini ampuh "menyembunyikan" wajah sementara kita bisa bersenang-senang dengan beragam gaya.


Bermain dengan Cahaya

Sembunyikan wajah dengan cahaya.  

Over exposure bisa sama baiknya dengan under exposure.  Jikalau fotografi sering disebut sebagai melukis dengan cahaya.  Maka foto dengan cahaya minim, siapa tahu jadi gambar siluet yang keren.  Who knows?

Saya sendiri masih belajar soal pencahayaan ini dan masih banyak "errornya" dibanding tingkat keberhasilan  😩



Detil

Faceless portrait atau potret tanpa wajah menuntut saya untuk mencari Point of Interest (POI) lain; seperti memperhatikan lingkungan, detail, dan komposisi.  

Tanpa komponen itu, hasilnya mungkin terlihat tidak menarik. Karenanya permintaan ini, mendorong saya jadi lebih memperhatikan detil dan menjelajahi setiap kemungkinan yang akan tampil jika ditangkap kamera.

Menutupi wajah dengan benda-benda yang berada dalam keseharian semisal buku, telepon genggam, topi atau bagian tubuh seperti rambut atau telapak tangan.  Sederhana bukan?



Looking Down Capture


Ini masih kelanjutan dari detil di atas.

Hingga kini masih sangat populer untuk ditampilkan dalam gambar.  Perhatikan saja di Instagram terutama akun food dan still life style, akan banyak ditemui konsep look down atau #flatlay.

Mulai dari kondisi jalan yang kita lalui, pasir pantai yang kita pijak hingga memotret lantai dengan desain yang unik.  Bagi saya ini cara lain untuk ikut berbagi 'pemandangan' apa yang kita lihat dari sudut pandang kita sendiri.


Kesimpulan

Fotografi potret wajah tanpa wajah mengajari saya cara bercerita tanpa menggunakan ekspresi.  Cara lain menghargai bagian lain dari diri sendiri dan membuat saya menjadi lebih memperhatikan apakah ada objek menarik di lingkungan sekeliling.  

Saya jadi termotivasi untuk belajar teknik pemotretan dengan sudut pengambilan yang tak biasa.  Berusaha kreatif membuat foto yang "tidak diinginkan" oleh orang yang sebetulnya kita sasar.   Mencari cara merekam momen dan menangkap pesan tanpa ada unsur emosi wajah sebagaimana foto pada umumnya.

Ternyata potret tak berwajah alias faceless photograph ternyata sama istimewanya dengan potret biasa. 😉

Atau Readers punya pengalaman lain?  Ditunggu sharingnya.

Share
Tweet
Pin
Share
3 comments



Assalamu alaikum Readers!

Yes, I'm back (again).  Setelah libur update blog semenjak bulan September, here I am now dengan postingan fotografi persisnya tentang editing.

Mengapa editing?

Bisa jadi ini merupakan akibat dari belakangan sering ngedit foto, jadinya terpikir untuk sharing pengalaman tentang foto editing.

Mulanya saya berpikir foto ciamik merupakan hasil jepretan paripurna seorang fotografer; kombinasi prima antara kemampuan teknis si pemotret, penguasaan atas kamera dan kualitas kamera itu sendiri.  Fotografer atur settingan kamera, jepret langsung jadi deh foto keren.

Ternyata ada hal lain yang luput dari radar saya yaitu proses editing.  Ada proses editing walau sedikit.  Diibarakant manusia; sudah cantik semacam Raisa atau Sofia Latjuba, masih perlu bubuhi make-up walau tipis.  

Secara bahasa, edit bisa berarti merubah, memodifikasi.  Artinya foto yang kita lihat sebagai hasil akhir, bisa jadi bukan jepretan orisinil dan sudah ada "campur-tangan" editing.

Jadi, edit foto itu diijinkan?  Jawabnya adalah IYESS!

Hasil menggali ilmu di beberapa workshop fotografi yang saya ikuti, para narsum selalu menyampaikan materi tentang editing selain tentang teori fotografi.  Masing-masing mempunyai aplikasi favorit berikut teknik editing yang dikuasai di mana hasilnya menjadi ciri khas karya mereka.

Sesungguhnya, apakah yang dimaksud dengan proses editing? 

Pengertian mudah untuk editing  adalah "memperbaiki kesalahan" eksposur dasar (ISO-Aperture-Shutter) yang luput kita lakukan dengan benar di kamera.  Dengan kata lain, editing merupakan proses perbaikan setelah "proses" pemotretan, maka lazim juga dikenal sebagai post-editing.

Semacam touch up make-up gitulah.


Editing dengan VSCO photo editor

Yang harus sering-sering ditanamkan dalam benak bahwasanya post-processing bukanlah pengganti kerja kamera yang bagus, meskipun kadang dapat meningkatkan hasil kinerja kamera. 

Bahkan seorang Darwis Triadi pun mengingatkan "Saat memotret, jangan berpikir untuk mengedit foto karena setiap operational system aplikasi editing itu tiada bedanya.  Jika bergantung pada aplikasi editing, foto yang dihasilkan tidak akan punya ciri khas."

  1. Lihat perbedaan antara gambar yang over expossed dan under expossed.  Lalu putuskan seperti apa tingkat exposure yang benar (atau diinginkan).
  2. Pahami white balance di mana warna putih terlihat putih, sebagaimana mestinya.  Bukan kuning atau biru atau oranye.
  3. Lihat kontras antara gelap dan terang.
  4. Perhatikan level of noise

Pasca-pemrosesan pada akhirnya merupakan pilihan pribadi.  For the shake of simplicity, biasanya setting editing ini dibikin standar.  Setiap kali buka aplikasi editingnya, by default sudah siap pakai.    Tak jarang jadi elemen yang mendasar dari gaya pribadi "editing" seseorang.  Atau biasa disebut preset.  

Terlebih jika Anda penggiat Instagram, I believe you know what I'm talking about 😊

Salah satu faktor akun IG seseorang disenangi banyak orang adalah jika feed-nya rapih, hasil jepretannya baik.  Plus -ini gak wajib walau nice to have- theme yang senada.  Theme yang memanjakan mata biasanya dicari orang.  Dan bagi yang nggak mau ribet ngedit or even oprek-oprek edit aps, opsinya adalah beli present.  Hal itu membuat preset jadi ladang bisnis yang menjanjikan.

Saya sendiri punya kecenderungan akan tone tertentu namun tidak ngoyo.  Dalam artian lebih menyukai hasil jepretan sebagaimana aslinya.  Hingga sekarang masih setia dengan pakem, ngedit seperlunya aja.  Seperti naikin or turunin brightness.

However, there is no Wright or Wrong in creativity.
Rute apa pun yang Anda ambil hanyalah bagian dari gaya pribadi Anda, bagian dari tumbuh-kembang kita dalam berkarya.

Selamat motret!



Share
Tweet
Pin
Share
3 comments


Assalamu alaikum Reader, ketemu lagi dipostingan kedua di tahun 2020 😁

Saya mau sharing pengalaman tentang motret [lagi!] niii.  Terinspirasi dari kegiatan di akhir pekan belum lama ini yang saya gunakan untuk belajar motret.  Betul sekali, seharian tadi bisa dikatakan saya motret terus.  Baru terasa lelahnya menjelang petang.  Entah karena sudah lama tidak "angkat" kamera, segala rupa objek di rumah jadi korban jepretan.  Memangnya di rumah bisa motret apa?  Kenapa ngga di luar rumah, coffee shop misalnya, atau bahkan ke luar kota?  Ini mirip pemikiran saya dulu banget yang ternyata keliru!  😂

Banyaknya gambar makanan atau suasana kafe resto yang diposting di sosial media oleh para penggiat foto belakangan ini memberikan kesan bahwa potret itu harus melulu makanan.  Belum lagi informasi untuk belajar fotografi umumnya diselenggarakan di kafe atau resto.  Tidak heran juga jika pada akhirnya menggiring opini bahwa belajar motret itu harus food related.  Padahal ngga juga.

Belajar motret dapat dilakukan di mana saja termasuk di rumah.  In fact, there's a lot of things at home yang bisa dijadikan challenge object foto.

Mau tahu benda atau objek apa saja di sekitar rumah yang dapat dijadikan bahan untuk belajar motret?

Children (Anak-anak)

Yep, that's right.  Your own kids!

Lebih spesifiknya lagi adalah framing kegiatan keseharian mereka di rumah. Apalagi jika usianya masih kategori bocah yang notabene aktif bermain, menjurus tidak bisa diam hahaha.

Selain mengabadikan polahnya, di saat yang bersamaan saya jadi belajar teknik panning (memotret objek bergerak).  Apparently put a moving object in a frame is very challenging.






Butuh praktek berulang kali hingga dapat menghasilkan gambar panning yang sempurna baik.  Seringnya objek bergerak berujung pada gambar yang blurry.  Tantangan lazimnya foto outdoor adalah perubahan intensitas cahaya dalam hitungan detik.  Di saat bersamaan, tidak ingin ketinggalan momentum.

Walaupun sudah mengaktifkan fitur continuous shooting pada kamera dan setting sesuai kondisi matahari, tetap saja hasilnya tak seragam seperti terlihat pada gambar di bawah saat saya mengabadikan Si Bungsu bermain bola.

Selain bereksperimen dengan kondisi lighting yang dinamis, manfaat lainnya adalah eksplorasi fitur lain yang tersedia di kamera sebagai bagian dari pengenalan dan pendalaman kamera itu sendiri.



Food (Makanan)

Walau masih seputaran makanan, berikut adalah beberapa gambar yang saya hasilkan dari studio "odong-odong" di rumah 😀.

Objeknya beragam, mulai dari bahan mentah hingga yang sudah siap santap.  Tak sedikit beli makanan jadi, namun ada juga hasil dari dapur sendiri.  Yang ini niat pake banget karena seringnya saya malas dibanding rajinnya 😋.

Seperti yang pernah saya tulis di sini, food fotografi itu melelahkan terlebih jika kita melakukannya semua sendirian.  Mulai dari cooking preparation, mengolah sang makanan, sekaligus menjadi food stylist plus fotografernya.  Padahal cucian kotor hasil memasak beserta situesyen rumah yang pabalatak akibat jadi studio dadakan masih menanti untuk dibereskan.  Singkatnya; merepotkan tapi anehnya ngga bikin saya kapok! 😂




Gardening or plants


Dibanding makanan, item ini yang relatif jarang saya pakai untuk belajar motret.  Mungkin karena saya lebih senang mengunyah dibanding berkebun 😅

Tidak hanya bunga hidup, bunga kering dan kembang artificial dari plastik pun tak jadi masalah untuk bahan latihan foto.  Malah untuk keperluan props [baca: properties] saya sampai nyetok beberapa macam tanaman plastik xixixi.




[your favorite] Books

Punya buku bacaan favorit?

Ngga ada salahnya sesekali diabadikan, yess?





Miscellaneous

Menurut kamus Bahasa Inggris, artinya bermacam-macam.  

Kenapa saya kategorikan sebagai "miscellaneous"?

Karena memang objeknya segala rupa barang yang saya temukan di rumah di luar 4 kategori yang sudah saya tulis sebelumnya di atas.   Apa saja itu?  Mulai dari parfum,  tempelan kulkas oleh-oleh dari teman & kerabat, uang 'retjeh', sepatu, alat makan, label tag bahkan jemuran; semuanya sudah pernah saya framing 😬!







Hanya empat hal itu saja yang bisa dipakai untuk belajar motret dari rumah?

Cencu cydak 😉

Masih panjang daftarnya.   Dimulai dari dapur dengan bahan masakan seperti sayur-mayur beserta bumbu masaknya.  Pindah ke ruuangan favorit di rumah, mainan anak-anak, alat masak bahkan alat tulis (stasionaries).  Masih mentok ide?  Biasanya saya akan berkelana di lautan gambar Instagram dan Pinterest .  Usai berselancar di dua platform sosial media yang sarat image ini, akan muncul inspirasi untuk belajar motret dengan konsep yang baru.

Jadi sahihlah bahwasanya kita dapat meningkatkan kemampuan motret dengan memakai benda yang sehari-hari kita jumpai dengan mudah di sekitaran rumah. 

Pendek kata, all can be an object for us in mastering photography.  So give it a try!



"The question is not
what you look at,
but what you see."

-Henry Thoreau-


Share
Tweet
Pin
Share
16 comments


Semenjak mengakrabkan diri dengan fotografi, saya jadi mengenal istilah negative space.

in art, is the space around and between the subject(s) of an image. Negative space may be most evident when the space around a subject, not the subject itself, forms an interesting or artistically relevant shape, and such space occasionally is used to artistic effect as the "real" subject of an image

Dalam seni khususnya seni visual, yang dimaksud sebagai ruang negatif adalah ruang yang lebih di sekitar obyek utama. Rupanya ketertarikan akan negative space ini sudah dimulai dari semenjak lama.

Berbasis pengalaman yang pernah saya praktekkan, si negative space ini dapat dihasilkan dari penggunaan props yang minimalis atau sebagai akibat dari over exposure.

Foto minimalis pernah saya tulis di sini.  Sedangkan over exposure lebih tepat jika disebut sebagai "kesalahan" dalam merekam dokumentasi visual.  Kumpulan kesalahan tersebut, saya kumpulkan di sini.

Walau sebutannya negative space, namun ruang kosong ini banyak kegunaannya, lho.  Tiga contoh berikut sudah pernah saya lakukan.

1. Make your own calendar

Berangkat dari ingin memamerkan hasil jepretan, dua tahun yang lalu, saya pernah memproduksi eh, membuat kalendar meja dan saya jual ke teman-teman terdekat.  

Semuanya dikerjakan sendiri; mulai dari motret, foto editing, lay-out, design konsep, kurasi foto , mencari tukang, promosi, taking order hingga delivery.  Untuk proyek percoabaan ini, saya batasi produksi di angka 50 pieces dan habis! 😎

Capek?  Pastinya.

Dapet keuntungan berapa dari hasil jualan kalender? 

Alih-alih menghitung keuntungan ekonomi, saya sudah "cukup" bahagia mendengar komentar teman-teman akan kalender buatan saya.  Segala keriweuhan, kantuk efek ngedit sampai larut malam; musnah sudah.  Walaupun secara ekonomi belum bisa dikatakan "untung", ada rasa tersendiri yang membuahkan bangga en sing penting bagja alias happy!  Kepuasaannya nggak ketaker sama duit, ceileeee!

Ada pembuktian bahwa saya bisa membuat calendar yang layak jual.  Dan semuanya diawali dari keinginan sederhan "mendayagunakan" foto-foto yang bertema negative space 😎

Readers tak ingin kalender untuk keperluan komersil dan maunya kalendar yang lebih bersifat personal?  Bisa mencobanya menggunakan foto-foto keluarga.  Hasilnya kalendar tampil berbeda dan sekaligus jadi hiasan yang dekoratif.






2. Homemade thumbnail post

Readers juga ngeblog dan sering download free image from photo stockist untuk keperluan blogging?  Gak pa-pa juga sih kalo masih melakukannya.  Saya pun terkadang melakukannya 😄

Namun selama masih ada stok gambar hasil jepretan sendiri dan sesuai dengan konten yang sedang saya tulis, biasanya saya memilih menggunakan foto sendiri.  Selain mempercantik konten blog pribadi, kapan lagi pamer foto hasil jepretan pribadi 😄

Dan level kepuasannya itu maksimal warbiyasak!

Mengapa?
Karena rasanya double attack.  Mulai dari konten, gambar termasuk thumbnail semuanya dikerjain sendiri!









3. Digital Hari Raya Card

Kartu ucapan Hari Rarya seperti Lebarang menggunakan foto keluarga itu sudah biasa.  Coba sesekali membuat yang anti mainstream.

Pilih koleksi foto Readers di mana objek fotonya mewakili tema Hari Raya.

Contohnya foto dengan POI handle pintu yang saya ambil saat mengunjungi Lawang Sewu, Semarang ini.

Ruang kosong itu sebetulnya adalah over exposure karena foto diambil secara backlight.  Justru space itu dimanfaatkan untuk menulis greeting hari raya dengan menyematkan keyword pintu.  Jadinya nyambung 'kan?  #maksa hahaha

Kira-kira begitulah ilustrasinya.  Bisa dieksplore lagi, siapa tahu Readers malah memiliki ide-ide yang lebih briliant.



4.  Ada ide lain?

Sharing di kolom komentar, yoook! 😄


Share
Tweet
Pin
Share
6 comments

Hi there!

I'm back after "loss" for a while.  Since my rally posts about the trip to Korea, now I am with a post about photography.  Ready?

When it comes to style, I have always believed "less is more."

Less make-up stands out the beauty of a woman.  Less talk is telling me someone's prominence acumance.  As Hans Hofmann saying; "The ability to simplify means to eliminate the unnecessary so the necessary may speak."

Alhasil, justru kesederhanaan itu yang jadi fokus utamanya (Point of Interest)!

Sebagai bagian dari seni/style, konsep minimalis diusung tidak hanya oleh fotografi melainkan oleh design furniture, web design, fashion, arsitektur bahkan kini diserap sebagai salah satu trend gaya hidup.

Saya sendiri tidak men-genre-kan diri sebagai pengikut aliran foto minimalis.  Walau harus diakui, ketidaksukaan saya akan hal-hal yang berbau "ribet" pada akhirnya mempengaruhi hasil jepretan.  Alasan lain?  Karena ternyata membuat foto dengan banyak props itu, capek beresinnya siiist 😂

Dan yang namanya minimalis atau simpel mestinya gampang, yekan?  Kalau ada yang jawab "iya", pliz jangan percaya karena sesungguhnya motret objek minimalis itu is a lot harder than you think.

Merujuk berbagai referensi tentang fotografi minimalis, ternyata ada banyak hal yang perlu diperhatikan.  To make it simple (aha!); saya hanya akan menuliskannya 4 saja di sini.

Alasan pertama, buat saya yang masih taraf belajar alias beginner, ke-4 hal tersebut adalah "the main basic".  Alasan lain, karena 4 poin basic berikut yang saya terapkan sejauh ini.  When you master these four, Insha Allah  you have them all.

1. Concept, draw in your mind first!

Namanya juga seni, harus jelas konsepnya.  Konsep minimalis seperti apa yang mau diterapkan.  Apakah mau menghadirkan warna.  Or playing with lights and shadow perhaps, as matter of fact, photography is drawing with lights.  Atau ingin menonjolkan tekstur, bermain dengan bentuk geometri atau komposisi?

Jika fokeusnya pada komposisi maka erat kaitannya dengan rule of third.  Dan ini merupakan konsep yang paling banyak saya terapkan.

Bicara konsep, kebiasaan yang sering saya lakukan adalah membayangkan terlebih dahulu gambar seperti apa yang akan dihasilkan.  Nampak jelas karakter the day-dream-nya yaakkk 🙈

From the imaginery visualisation, then I shot the real picture.  Salah satunya, foto yang dipakai sebagai judul postingan ini.  Dari semenjak melihat si bunga, sudah ada dalam bayangan hanya kelihatan bunga di sisi kanan menggunakan bird eye angle dan negative space mendominasi area kiri (rule of third base).  Adapun negative space diperuntukan sebagai ruang teks; bisa judul, quotes or whatever I want to write.

 Kiri: fokus pada tekstur roti
Kanan: food color wheel


2. Keep it Simple

Namanya juga minimalis, artinya tidak banyak pernak-pernik, props dan sebangsanya.  Take out unnecessary elements or keep to a minimum level but it doesn't lose its soul.  

Ngomong sih gampang.  Prakteknya?  

Sampai pusing kepala berbi pake keringetan dan encok pinggang gegara ambil gambar dengan beragam angle! 😆

Perfection is achieved, not when there is nothing more to add, but when there is nothing left to take away. — Antoine de Saint-Exupery
Dominasi putih

3. Get Creative

Being minimalist doesn't mean boring.  

In fact; when dealing with minimalism, it’s important to understand the relationship between subject and viewer, texture and pattern, and light and shadow.  Naah...

Pada kenyataannya, memunculkan rasa kreativitas itu bisa bikin frustasi, beiiib!  Perasaan udah kreativ sampai mentok level dewa, hasilnya kok "gitu lagi-gitu lagi."  Di titik itulah, menjelajahi jagat stok dunia fotografi atau gudang gambar macam Pinterest ibarat mendapat hikmah cahaya Ilahi.

Tidak sedikit foto yang saya hasilkan setelah mendapatkan inspirasi dari sana.  And yes, bisa dilakukan di rumah dengan perangkat yang kita miliki.  Ngga selamanya mesti ke kafe atau restoran untuk bisa mendapatkan foto yang bagus.  Foto cookies di bawah saya ambil setelah baking saat Lebaran yang lalu.  Sedangkan cake roll adalah parsel dari tetangga.

Eiya, ngomong-ngomong udah folo Pinterest saya, belon?  #promo 😋
 Play with light; backlight or side light


Kiri: traveling theme photo challenge; modal passport dan tempelan kulkas
Kanan: simply bunga plastik









4. Pictures with message

A picture tells a thousand words.  O yeah, heard it many times.  But can minimalist picture do that?

TBH (To Be Honest) my pictures are not reaching this level yet.  Not now, maybe later.  Crossed finger.

Butuh kelihaian tingkat "mastah" untuk berada di tingkatan ini.  Perlu praktek banyak kali sampai bisa menguasai konsep-konsep secara ilmu pencahayaan saya masih nyungsep dan eksposure pun kadang lari keman-mana 🙈

But we shall not stop to try, agree?

"Simple can be harder than complex.  You have to work hard to get your thinking clean to make it simple.  But it's worth it in the end, because once you get ther, you can move mountains".  Steve Jobs

Itulah tips esensial saya dalam membuat foto minimalis.  Kalau teman-teman punya saran lainnya, silahkan diposting di kolom koment.  .

Kalau masih ingin lihat gambar saya lainya, bisa lihat di akun Instagram @ratna17amalia #promolagi 😚


Single but not alone

Less is more

Monochromatic or color

Kiri: latihan pakai permen warna-warni
Kanan: book collection for personal usage such blog post purpose


View this post on Instagram



A post shared by Ratna Amalia (@ratna17amalia) on Jul 16, 2018 at 6:57pm PDT
Tekstur dan bayangan

Senja dan nelayan Belitung

Share
Tweet
Pin
Share
8 comments
Older Posts

Follow Me


          

recent posts

Popular Posts

  • 5 Mie Ayam Enak di Bogor
  • Serunya Wisata Satu Hari di Cirebon
  • Paralayang; Uji Nyali di Puncak Kebun Teh

Blog Archive

  • ▼  2025 (3)
    • ▼  August 2025 (1)
      • Mulai Lagi dari Awal: Law of Attraction, Doa, dan ...
    • ►  July 2025 (1)
    • ►  June 2025 (1)
  • ►  2022 (2)
    • ►  June 2022 (2)
  • ►  2021 (12)
    • ►  August 2021 (1)
    • ►  July 2021 (3)
    • ►  June 2021 (2)
    • ►  May 2021 (1)
    • ►  February 2021 (1)
    • ►  January 2021 (4)
  • ►  2020 (7)
    • ►  December 2020 (2)
    • ►  October 2020 (1)
    • ►  April 2020 (2)
    • ►  March 2020 (1)
    • ►  January 2020 (1)
  • ►  2019 (17)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  October 2019 (2)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  July 2019 (1)
    • ►  May 2019 (2)
    • ►  March 2019 (5)
    • ►  February 2019 (1)
    • ►  January 2019 (4)
  • ►  2018 (25)
    • ►  December 2018 (4)
    • ►  November 2018 (4)
    • ►  October 2018 (3)
    • ►  August 2018 (2)
    • ►  July 2018 (5)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  March 2018 (1)
    • ►  February 2018 (2)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (18)
    • ►  December 2017 (5)
    • ►  November 2017 (3)
    • ►  October 2017 (1)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  August 2017 (3)
    • ►  June 2017 (1)
    • ►  April 2017 (1)
    • ►  February 2017 (1)
    • ►  January 2017 (1)
  • ►  2016 (37)
    • ►  December 2016 (1)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (4)
    • ►  May 2016 (2)
    • ►  April 2016 (9)
    • ►  March 2016 (8)
    • ►  February 2016 (3)
    • ►  January 2016 (6)
  • ►  2015 (75)
    • ►  December 2015 (2)
    • ►  November 2015 (7)
    • ►  October 2015 (3)
    • ►  September 2015 (6)
    • ►  August 2015 (5)
    • ►  July 2015 (19)
    • ►  June 2015 (4)
    • ►  May 2015 (3)
    • ►  April 2015 (7)
    • ►  March 2015 (5)
    • ►  February 2015 (9)
    • ►  January 2015 (5)
  • ►  2014 (39)
    • ►  December 2014 (2)
    • ►  November 2014 (1)
    • ►  October 2014 (2)
    • ►  September 2014 (4)
    • ►  August 2014 (5)
    • ►  July 2014 (2)
    • ►  June 2014 (3)
    • ►  May 2014 (4)
    • ►  April 2014 (2)
    • ►  March 2014 (2)
    • ►  February 2014 (5)
    • ►  January 2014 (7)
  • ►  2013 (36)
    • ►  December 2013 (5)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (5)
    • ►  August 2013 (1)
    • ►  June 2013 (1)
    • ►  May 2013 (4)
    • ►  April 2013 (6)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (2)
  • ►  2012 (28)
    • ►  December 2012 (2)
    • ►  November 2012 (3)
    • ►  October 2012 (3)
    • ►  September 2012 (4)
    • ►  August 2012 (4)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  May 2012 (1)
    • ►  April 2012 (1)
    • ►  March 2012 (1)
    • ►  February 2012 (1)
    • ►  January 2012 (3)
  • ►  2011 (28)
    • ►  December 2011 (2)
    • ►  November 2011 (3)
    • ►  October 2011 (1)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  August 2011 (4)
    • ►  July 2011 (2)
    • ►  June 2011 (4)
    • ►  May 2011 (1)
    • ►  April 2011 (4)
    • ►  March 2011 (3)
    • ►  January 2011 (3)
  • ►  2010 (2)
    • ►  December 2010 (1)
    • ►  June 2010 (1)

Created with by BeautyTemplates