Hanoi, City of Lakes

by - November 12, 2013

Tulisan ini pernah dimuat sebagai notes di FB sepulang dari perjalanan [lagi-lagi !] urusan kantor.  Dan setelah dipikir-pikir, it's too valuable kalo cuma ngendon di sana, makanya dakuw repost di sini. Mungkin ada beberapa kondisi yang sudah tidak valid lagi semenjak perjalanan tahun 2009 lalu. Lagipula Vietnam kabarnya is doing her homework untuk mengejar ketinggalannya dibanding negara-negara ASEAN lainnya.  Gak heran, kalo negara yang resmi jadi anggota ASEAN tahun 1995 ini mulai dilirik oleh para traveller sebagai salah satu negara tujuan wisata untuk kawasan Asia Tenggara.


Di depan tempat menginap


Aksara Cacing Joget

  1. Rasanya kok susah nemu orang yang bisa bahasa Inggris di negara yang tulisannya mirip cacing meliuk-liuk ini.  Sekalinya ketemu sama yang bisa berbahasa Inggris, teteubb susah juga ngertinya karena pronunciation mereka terdengar rada ajaib di telinga.  Kalo udah capek buka telinga lebar-lebar; jurus pamungkasnya adalah minta mereka mengulang perkataannya atau bilang Thank you seraya ngeloyor pergi.  Capek juga ngobrol seperti itu, hihihi.
  2. Entah faktor nasionalis atau belum siap untuk menerima orang asing, papan nama toko dan nama jalanan masih ditulis dengan huruf bahasa lokal.  Namun sesekali terlihat juga papan nama dalam bahasa Perancis.  Percuma juga, dakuw sama ga ngertinya *tepok jidat*.
  3. Selintas, tulisan Vietnam ini sejenis dengan huruf Siam (Siamese, Thailand).  Dakuw sok tahu gak seehh ?!
  4. Karena gak PeDe untuk mencoba naik kendaraan umum selain taxi disebabkan kendala bahasa dan tulisan mirip cacing joget tersebut, alhamduillah jadi banyak berjalan kaki plus waspada tingkat tinggi (baca perihal Chaotic Road berikut).
  5. Kendala bahasa ini ternyata diamini pula oleh wisman lain yang kami sapa ketika menanyakan arah. Unless you understand or speak French, then talking with native is hopeless!  Begitu terangnya.  Kalo gitu sama donk penderitaannya sama kita.  Kirain kita aja yang nyaris putus asa karena ngga ada penduduk lokal yang bisa diajak ngomong, hehehe.
  6. Alhasil selama di Hanoi, saya lebih banyak menggunakan bahasa tarzan daripada bercakap-cakap sebagaimana lazimnya orang berkomunikasi.  

Pho atau Pooh ?
  1. Soal makanan karena masih serumpun Asia, jangan takut, nasi mudah dicari.  Namun jika diperhatikan, mereka juga hobi menkonsumsi mie atau dalam bahasa aslinya disebut 'Pho'. Belakangan baru tahu kalo Pho itu dibacanya "feu" bukan selazimnya po dalam Bahasa Indonesia. 
  2. Nah, si Pho ini atau lazim disebut Pho Hoa Noodle Soup sudah mulai dikenal banyak orang termasuk di Indonesia.  Disajikan sederhana yaitu terdiri dari isian kuah kaldu, mie, diberi taburan toge dan irisan tipis daging.  Diberikan pula irisan jeruk nipis dan rajangan cabe sebagai pelengkap. Jika diaduk semua maka rasanya jadi mirip rasa soto mie gitu. Namun kita harus hati-hati untuk urusan "perdagingan" ini.
  3. Untuk yang sangat memperhatikan standard kehalalan a'la MUI, urusan "daging" yang masuk ke perut memang jadi ribet karena selain daging unggas mereka seringya menyajikan kategori daging non-halal. Jadi, untuk amannya pilih sea food atau ayam.  Biasanya jika berkunjung ke suatu tempat dan menemukan kesulitan terkait halal-non-halal ini, ujung-ujungnya adalah mencari fast food restaurant. Sepanjang di Hanoi, saya cuma nemu 1 oultet KFC itupun di kawasan "internasional" Old Town.

Chaotic Road
  1. Orang boleh bilang "Traffic in Jakarta is like hell".  Well, Dear, wait until you visit Hanoi.  It's not even better, I can tell you that !  
  2. Jumlah kendaraan di jalanan memang tidak full packed seperti Jakarta, tapi riuh dan semrawutnya beda tipis.
  3. Ga siang ga malem, baik motor maupun mobil seneng banget kayaknya bunyiin klakson. Malam hari pun, di jalanan tetep rame riuh rendah.  Padahal, setahu dakuw, etika berkendara di malam hari adalah fungsi klakson digantikan oleh lampu "dim" kendaraan.  Ajaibnya, biar rame klakson, kendaraan yang dimaksud tidak minggir jua.
  4. Ngga cuma di Jakarta aja yang harus menoleh kiri-kanan sebelum menyeberang.  Di Hanoi pun demikian karena biarpun posisi kita sudah jelas-jelas mau menyeberang, bisa-bisanya kendaraan nyelonong melintas dengan tidak menurunkan kecepatan. Whuzzzzzz !!!
  5. Ketika berjalan-jalan di tengah kotanya serasa melipir di seputaran Pasar Senen taon doeloe; gloomy, dusty & smelly...
  6. Selain kendaraan bermotor, jalanan juga diriuhi oleh dering bel sepeda.  Sepeda ontel masih dipakai sebagai alat transportasi baik oleh wanita maupun pria.  Selain sepeda, motor juga kendaraan favorit di Hanoi.  Hmm, sounds familiar, isn't it ?

Trivia Facts
  1. Negara komunis miskin ?  Jangan salah bo' secara udah banyak mobil mewah dijumpai di sana.  You can easily see the luxurious Bentley moving around on the road ! Lenyap sudah bayangan tentang negara miskin yang belum lama pulih pasca konflik internal yang berkepanjangan.
  2. Walaupun banyak berseliweran mobil mewah di jalanannya, untuk soal mall harus diacungi jempol kalau Jakarte emang kagak ade matinye !  Yes indeed they have mall but do not even think it looks like the ones in Jakarta.  Nop !  ITC di Jakarta kalah jauh lebih bagus dibanding shopping mall yang sempat saya kunjungi.  Kabarnya mall yang saya datangi tersebut sudah merupakan mall yang paling "happening" di sana saat itu.
  3. Selain kondisi bangunan mall-nya, saya lihat juga beberapa merek yang di Jakarta aja udah ga dijual lagi.  Oh ya, di sana ada toko sepatu BATA juga lho....[hihi....norak.com]
  4. Aura 'komunis' baru terasa ketika melihat petugas aparat dengan seragamnya yang kaku plus warnanya yang gelap.  Langsung keingetan film-film Hollywood 'gitu deh ! Potongan tubuh mereka boleh kecil berhubung masih termasuk ras Asia, tapi raut muka para officer yang minus senyum plus sorot mata mereka yang tajam tetap menghadirkan kesan "dingin" itu.
  5. Walaupun Hanoi termasuk salah satu kota besar di Semenanjung Vietnam, menurut saya sih ceweknya belum sadar fashion jika dibandingkan dengan perempuan-perempuan di Jakarta pada umumnya.  Dari hasil pengamatan sekilas, ada dua kriteria cara berpakaian.  Yang pertama, golongan pekerja (kuli ?).  Mengingat mereka menggunakan kendaraan umum atau naik sepeda, biasanya mereka bercelana panjang warna gelap dengan atasan berwarna terang seperti putih (masih warisan komunis kayaknya ya ?) dan dilengkapi dengan jaket mengingat suhunya yang relatif dingin.  Kelompok kedua adalah cewek-cewek yang status sosialnya lebih baik dari golongan yang pertama.  Kalo yang ini menurut saya agak berlebihan karena para wanitanya is trying too hard to look fashionable by wearing the most update outfit. Saking trying too hard, mereka mengenakan segala rupa di badan, belum lagi kombinasi mix & match yang tabrak lari, alhasil malah jadi ga keren.  Kelihatannya para wanita di sini masih harus banyak belajar dari perempuan Hongkong, Korea atau bahkan Jepang yang terkenal stylish untuk ukuran Asia.  Eh, fashionista Indonesia termasuk gak ya ?
Kira-kira bacanya gimana ya ?  Apa artinya sama seperti WC seperti di Indonesia ?

You May Also Like

0 comments

Hai ^_^
Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan saya di blog ini.
Silakan tinggalkan komentar yang baik.
Mohon maaf, komentar anonim maupun yang sifatnya spam, tidak akan dipublikasikan.
Keep reading and Salam !