Jakarta Food Traveler; Mengenal Kuliner Peranakan di Old Chinatown Petak Sembilan Glodok

by - November 22, 2017





Suka jalan blusukan dengan tema vintage sekaligus icip-icip makanan?  Nah, Sabtu tanggal 18 November 2017 kemarin, saya dan beberapa teman dari Asinan Blogger melakukannya.

Tertarik dengan flyer Food Tour Jakarta yang saya peroleh dari salah satu orang, saya iseng lempar ke grup teman-teman Asinan Blogger and surprisingly, piknik ngga syantik ini banyak peminatnya.

Kenapa saya bilang "piknik ngga syantik"?  Karena ada beberapa destinasi yang disebutkan dalam flyer tersebut jauh dari cantik.  Notabene lokasi tersebut berada dalam kawasan padat penduduk seputaran Glodok sana.

Yup; karena jalan-jalan kali ini adalah Food Tour Jakarta Old Cina Town - Glodok dengan rute Pantjoran Tea House, Deretan Toko Obat, Petak Sembilan, Vihara Dharma Bhakti, Gereja St. Maria de Fatima, Gang Kali Mati dan Es Kopi Tak Kie.



Image from http://www.nowjakarta.co.id/reviving-old-town-charm-at-pantjoran-tea-house



Jadilah kami berenam, di Sabtu lalu berkumpul di Stasiun Bogor pada pukul 7 pagi untuk menuju Stasiun Kota.  Sesuai prakiraan, kami tiba di Stasiun Kota setelah berkereta selama nyaris dua jam.  Tergopoh-gopoh [bingung sih, persisnya] kami mencari meeting poin yang ditetapkan panitia; Pantjoran Tea House.  

Sesampainya di meeting point, rombongan lain sudah siap dan memang tinggal kami yang ditunggu.  Rupanya sang pemandu di hari itu adalah Ira Latief, seorang blogger yang juga aktif di Jakarta Food Traveler.


Mba Ira Latief (in the middle)


Tradisi Patekoan

Meeting poin dilakukan di selasaran Pantjoran Tea House yang dikenal sebagai rumah teh.  Rumah teh ini punya kebiasaan unik yaitu menyediakan 8 teko air teh (Patekoan) yang bisa dinikmati oleh umum.   Tradisi ini bermula dari Kapiten Gan Djie dan istrinya yang meletakkan teko berisi air teh bagi mereka yang beristirahat di depan kantornya.

Selain tersedia meja berisi jejeran cangkir kaleng dan teko jadul, di bagian muka restoran ini dapat ditemukan flyer tentang sejarah perjalanan gedung yang ternyata sudah berdiri semenjak tahun 1635.  Beragam alih fungsi sempat dilakoni dan sempat menjadi Apotheek Chung Hwa yang dicatat sejarah sebagai apotek kedua tertua di Jakarta pada tahun 1928.   Mengingat usia dan eksistensi gedung bersejarah tersebut di tengah hiruk-pikuknya ibukota, konon pihak Pemda DKI mengajukan lokasi ini  pada UNESCO sebagai situs warisan budaya dunia.

Jika Apotheek Chung Hwa sudah beralih fungsi, lain halnya dengan rumah obat yang berada di sekitarnya.  Hingga kini, di kawasan tersebut masih dapat kita temukan jejeran rumah obat tradisional Tionghoa.  Saking banyaknya rumah obat hingga disebut-sebut sebagai sentra toko obat tradisional Cina terbesar dan terkomplet di Indonesia.


Toko Obat Bintang Terang


Umumnya toko obat di sentra ini dikelolan secara turun-temurun.  Generasi yang terakhir tidak sedikit yang sudah merenovasi bentuk toko obatnya namun masih ada yang tetap memelihara bentuk bangunan sebagaimana pendahulunya.  Diantara yang sedikit itu, adalah Toko Obat Bintang Terang.

Dari penuturan Mba Ira, keunikan bentuk toko tersebut menjadi perhatian banyak orang hingga tidak sedikit pengunjung yang datang hanya untuk melihat-lihat saja.  Seperti yang dilakukan rombongan kami kemarin.  Mengingat kesibukan pemilik toko melayani pembelinya, maka kami diwanti-wanti agar melihat kondisi toko dari luar saja.

Sebetulnya kurang seru sih.  Sama halnya seperti di Pantjoran Tea House, kami pun hanya bisa melihat bagian luar bangunan saja.



Kesibukan dalam Toko Obat Bintang Terang


Selain terkenal sebagai sentra toko obat tradisional, kawasan Pecinan Glodok ini terkenal akan kulinernya; baik yang halal maupun non-halal.  Maka siang itu, rombongan Food Tour Jakarta pun melangkah kaki menuju Gang Gloria.  

Persis di depan Gang Gloria, kami disambut oleh toko manisan.  Aneka kudapan manis, kacang-kacangaan dijajakan dalam toples-toples besar berjejer.  


Toko manisan di depan Gang Gloria 





Keramaian berlanjut hingga dalam Gang Gloria.  Di sepanjang gang sempit itu berjejer aneka penjual makanan.  Mulai dari yang halal hingga non-halal.





Tidak mau kalah tua dengan toko obat, kedai kopi ini konon sudah beroperasi semenjak tahun 1927.  Menurut cerita kondisi kedai kopi yang letaknya di Gang Gloria Glodok ini tidak banyak berubah.  Perpaduan hiasan dinding, kondisi interior berikut perangkatnya seolah berkata bahwa "jaman now" belum menggerus kedai yang hanya menyediakan dua jenis kopi; kopi hitam dan kopi susu, dengan atau tanpa es.

Saya turut memesan es kopi yang "heits" itu.  Orderan disampaikan secara lisan alias gak pake catatan.  Agak lama pesanan datang mungkin karena banyak pengunjung mengingat itu akhir pekan.  Semua meja terisi penuh.  Pembeli yang datang harus antri menanti meja kosong.  Kami pun sempat mengalaminya tadi.

Sambil menunggu es kopi disajikan, saya melihat sekeliling.  Bisa dibilang situasi kedai riuh sangat.  Kesimpulannya jika ingin santai, datang selain akhir pekan.  Pembeli terlihat asik dengan pesanannya.  Kebanyakan menyeruput minuman es kopi atau melahap mie.   





Saat pesanan yang ditunggu datang, tak sabar saya langsung menyesapnya.  Sensasi segar dari es langsung melegakan tenggorokan.  Yang juga terasa adalah rasa kopi dan susu dengan komposisi rasa manis yang pas.  Tidak manis sekali atau kurang manis.  Sesederhana itu.  Absolutely different dengan rasa kopi di kedai kopi kekinian.

Mungkin kesederhanaan ini yang membuat es kopi Tak Kie tetap bertahan hingga sekarang.


Beres menenggak es kopi yang dibandrol Rp 20.000 per gelasnya, tour dilanjutkan ke Vihara Dharma Bhakti.  Mungkin karena sudah pernah ke sini maka saya tidak terlalu excited hehe.  Pardon me.

Kondisinya tidak banyak berubah.  Masih banyak pengemis berkeliaran di halaman depan klenteng yang sayangnya jauh dari bersih.  Yang niatannya hanya sejenak, kunjungan diperpanjang sedikit karena rintik hujan mulai mendera.  Tunggu hingga berhenti, ya; usul Mba Ira pada rombongan.



Saya - Winny - Selvi


Formasi lengka rombongan Asinan Blogger - abaikan penampakan background 😁


Di samping Vihara Dharma Bhakti, tempat ibadah yang kami kunjungan adalah Gereja Katolik St. Maria de Fatima.  Kami harus berpuas diri karena tidak dapat eksplore ke dalam bangunan gereja yang sarat arsitektur Cina.  Bukannya dilarang masuk, namun ruang gereja sedang dipakai acara pemberkatan pernikahan.

Pemberhentian terakhir kami siang itu adalah Gang Kali Mati.  Mirip dengan Gang Gloria, ini pun merupakan lokasi kuliner lawas peranakan.  Bedanya di sini lebih meriah oleh penjaja kue-kue basah.  Mulai dari bakpao, kue talam, lapis, kue mangkok hingga kue keranjang yang lazim dijual saat Imlek (Tahun Baru Cina) dapat ditemukan di sini.




Begini cara goreng bakpia


Makanan khas lain yang bisa dijumpai di sini adalah bakpia dan cempedak goreng.  Saking banyaknya penjual cempedak goreng, aromanya mendominasi sepanjang gang.  Keunikan lain adalah ukuran kue-kue basahnya menurut saya lebih besar dibandingkan dengan yang biasa dijumpai.

Mumpung di sini, saya mencicipi Bakpia Beijing.  Disebut demikian karena pembuatnya asli dari Beijing dan menetap di Jakarta.  Kini usahanya diteruskan oleh generasi penerus.  Ukurannya  lebih besar dibandingkan bakpia dari Jawa Tengah.  Kulit bakpia pun lebih mampyur (gak nemu istilah Indoenesianya, maapkeun).  Rasanya juga tidak semanis bakpia Jawa.  Bakpia Beijing tersedia dalam rasa durian, nanas, keju dan kacang hijau. 

Aroma nostalgia di lokasi ini makin dikuatkan dengan kehadiran sirup rasa sarsaparila merk Cap Badak dan Liang Teh yang dijual oleh pemilik kedai Bakmi Belitung.   Gānbēi!





***

RSVP -

IG - FB - Twitter: Jakarta Food Traveler
www.foodtourjakarta.blogspot.co.id


You May Also Like

30 comments

  1. Belum move on aku nih. Kapan yuk jalan bareng lagi

    ReplyDelete
  2. Serunya jalan-jalan di kawasan kota tua, jadi pengen nyicip bakpianya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayo dicoba walk around Kota Tua, mba Muti. Menyenangkan kok.

      Delete
  3. Memang jajajan non halal di glodok ini gk ada obatnya. Yang bisa menghentikan saya untuk jajan di sana hanyalah perut yang kekenyangan atau dompet yang menipis :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya naksir sama siomay & mie ayam. Seandainya...ah sudahlah ^_^

      Delete
  4. Eksplor kawasan yang banyak kue tradisional emang bikin happy. Secara sekarang udah agak susah nemu kue kue tradisional yang enak itu :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup, food supposed to make us happy. Not the other way around. And yes, saya salah satu penyuka kue-kue basah tradisional *anak jaman old* hehehe

      Delete
  5. Nah ternyata begitu ya goreng bakpia, mirip goreng martabak HAR Palembang. Kirain dicempulngkan ke dalam minyak hingga tenggelam adonannya. Foto2nya cakep, toko obatnya mengingatkanku sama toko obat di sini juga :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya juga baru tahu kalo goreng bakpia seperti itu. Awalnya malah kupikir dipanggang/oven.

      Delete
  6. Seru banget yaaa.. Kapan AB hamg out kaya gini lagi, ikut aah 😊

    ReplyDelete
  7. Padahal yaaa ini tempatnya ga jauh ama kantorku di manggadua :D. Tp sekalipun blm prnh jalan2 ke glodok -_- .. Pengen ihh nyobain kuliner halal di sana...

    ReplyDelete
  8. Ajak aku ke petak sembilan, kak. Ajak akuu. Huhuu. Pingin nyetok foto juga :v

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bawa sekalian pasukan krucilmu itu ya; Baby K and Bang Ranu ^_^

      Delete
  9. Jadi mampyur itu yg kayak gimana rasa/bentuknya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mampyur itu sulit dijabarkan dengan kata-kata. Lebih mudah dirasakan sambil makan bakpianya :))

      Delete
  10. Kalau ke chinatown gitu jadi pengin bubur chinese + cakue kesukaan kami. Waktu di Pekanbaru sering sarapan itu. Di Jogja nggak ada.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku juga penggemar bubur Chinese. Teksturnya Lebih encer dibanding bubur ayam kampung, ya?

      Delete
  11. yaampuuuun dari jaman kapan aku mau datengin tempat tempat kuliner yang kamu tulis ini mbak *belom kesampean sampai detik ini hikz.

    ReplyDelete
  12. aku kok g diajak mbak ? :) .....seru ya jalan2 ma temen2 sehobi....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Suka juga toh blusukan model gini? Berkelompok memang lebih berasa serunya.

      Delete
  13. Ada yang terlewatkan, Mbak. Rujak Shanghai. Isinya ubur-ubur diberi cuka pedas. Itu cuma ada di Glodok.

    ReplyDelete
  14. Di balik wajahnya yang moderen, Jakarta masih memegang erat masa lalunya. Sejarah tak lekang oleh waktu yang ujudnya bisa kita lihat pada gedung-gedung, toko-toko, makanan dan minumannya ya..Jakarta itu ibarat anak jaman now yang santun banget, menjejak kaki di dunia moderen sambil memeluk erat masa lalunya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo kata orang bijak, Sejarah itu pengingat, mba. Mengingatkan kita who we are..

      Delete
  15. Hi mba ratna...wah makasih byk utk ulasannya yg sgt ciamikk...liat foto2nya saya jd laper ;0....ikutan lg yuuk rute rute food tour lainnya - IRA

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi mba Ira. The tour was awesome, nulisnya pun jadi asik. And yes, aku mau ikutan lagi programnya Jkt Food Traveler yang keren lainnya.

      Delete
  16. glodok sudah jadi kawasan perdagangan selama ratusan tahun

    ReplyDelete

Hai ^_^
Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan saya di blog ini.
Silakan tinggalkan komentar yang baik.
Mohon maaf, komentar anonim maupun yang sifatnya spam, tidak akan dipublikasikan.
Keep reading and Salam !