My Dairy Note's

Life Style & Family Blog Indonesia

    • Home
    • About
    • Disclosure
    • Life Style
      • Books & Movie
      • Travel
      • Culinary
      • Fotografi
    • Women in Tech
      • Blogging
      • Techno
    • Midlife Series
      • Family
      • Wellness
    • Career & Project Management
      • Project Management



Assalamu alaikum Readers!

Yes, I'm back (again).  Setelah libur update blog semenjak bulan September, here I am now dengan postingan fotografi persisnya tentang editing.

Mengapa editing?

Bisa jadi ini merupakan akibat dari belakangan sering ngedit foto, jadinya terpikir untuk sharing pengalaman tentang foto editing.

Mulanya saya berpikir foto ciamik merupakan hasil jepretan paripurna seorang fotografer; kombinasi prima antara kemampuan teknis si pemotret, penguasaan atas kamera dan kualitas kamera itu sendiri.  Fotografer atur settingan kamera, jepret langsung jadi deh foto keren.

Ternyata ada hal lain yang luput dari radar saya yaitu proses editing.  Ada proses editing walau sedikit.  Diibarakant manusia; sudah cantik semacam Raisa atau Sofia Latjuba, masih perlu bubuhi make-up walau tipis.  

Secara bahasa, edit bisa berarti merubah, memodifikasi.  Artinya foto yang kita lihat sebagai hasil akhir, bisa jadi bukan jepretan orisinil dan sudah ada "campur-tangan" editing.

Jadi, edit foto itu diijinkan?  Jawabnya adalah IYESS!

Hasil menggali ilmu di beberapa workshop fotografi yang saya ikuti, para narsum selalu menyampaikan materi tentang editing selain tentang teori fotografi.  Masing-masing mempunyai aplikasi favorit berikut teknik editing yang dikuasai di mana hasilnya menjadi ciri khas karya mereka.

Sesungguhnya, apakah yang dimaksud dengan proses editing? 

Pengertian mudah untuk editing  adalah "memperbaiki kesalahan" eksposur dasar (ISO-Aperture-Shutter) yang luput kita lakukan dengan benar di kamera.  Dengan kata lain, editing merupakan proses perbaikan setelah "proses" pemotretan, maka lazim juga dikenal sebagai post-editing.

Semacam touch up make-up gitulah.


Editing dengan VSCO photo editor

Yang harus sering-sering ditanamkan dalam benak bahwasanya post-processing bukanlah pengganti kerja kamera yang bagus, meskipun kadang dapat meningkatkan hasil kinerja kamera. 

Bahkan seorang Darwis Triadi pun mengingatkan "Saat memotret, jangan berpikir untuk mengedit foto karena setiap operational system aplikasi editing itu tiada bedanya.  Jika bergantung pada aplikasi editing, foto yang dihasilkan tidak akan punya ciri khas."

  1. Lihat perbedaan antara gambar yang over expossed dan under expossed.  Lalu putuskan seperti apa tingkat exposure yang benar (atau diinginkan).
  2. Pahami white balance di mana warna putih terlihat putih, sebagaimana mestinya.  Bukan kuning atau biru atau oranye.
  3. Lihat kontras antara gelap dan terang.
  4. Perhatikan level of noise

Pasca-pemrosesan pada akhirnya merupakan pilihan pribadi.  For the shake of simplicity, biasanya setting editing ini dibikin standar.  Setiap kali buka aplikasi editingnya, by default sudah siap pakai.    Tak jarang jadi elemen yang mendasar dari gaya pribadi "editing" seseorang.  Atau biasa disebut preset.  

Terlebih jika Anda penggiat Instagram, I believe you know what I'm talking about 😊

Salah satu faktor akun IG seseorang disenangi banyak orang adalah jika feed-nya rapih, hasil jepretannya baik.  Plus -ini gak wajib walau nice to have- theme yang senada.  Theme yang memanjakan mata biasanya dicari orang.  Dan bagi yang nggak mau ribet ngedit or even oprek-oprek edit aps, opsinya adalah beli present.  Hal itu membuat preset jadi ladang bisnis yang menjanjikan.

Saya sendiri punya kecenderungan akan tone tertentu namun tidak ngoyo.  Dalam artian lebih menyukai hasil jepretan sebagaimana aslinya.  Hingga sekarang masih setia dengan pakem, ngedit seperlunya aja.  Seperti naikin or turunin brightness.

However, there is no Wright or Wrong in creativity.
Rute apa pun yang Anda ambil hanyalah bagian dari gaya pribadi Anda, bagian dari tumbuh-kembang kita dalam berkarya.

Selamat motret!



Share
Tweet
Pin
Share
3 comments



Mirip dua sisi mata uang, dibalik "happiness" sebuah perjalanan, ada hal-hal yang kurang tidak menyenangkan.  6 hal kehilangan yang saya rasakan dan sukses bikin kangen saat meninggalkan rumah.


1. Family Time

Wajar banget jika saya tulis ini di nomor urut satu.  Terbiasa bepergian berempat [baca paksu + 2 anak], rasanya dunia hampa jika terpaksa solo travelling.  Hallagh!  Cara saya mengatasi rasa kangen pada mereka, saya kupas tuntas di sini.


2. Favorite Food

Dimulai dari hal yang paling mudah; makanan halal.  Iyep, bener banget.  Jangan bahas soal menu atau rasa karena jika sudah kepepet, dua hal tadi jadi less priority , siiist.

Ketidaktahuan kadang menyesatkan.  Termasuk ketidakpahaman akan makanan daerah yang kita kunjungi.  Padahal tak jarang kuliner adalah pemicu utama keinginan mengunjungi suatu tempat.  Bagi saya yang seneng icip-icip kuliner lokal di tempat jajanan kaki lima, faktor ini jadi pe-er besar.

Nemu makanan halal ditengah rasa lapar yang mendera plus ketidakpahaman akan lokasi di mana kita berada saja sudah jadi stressor tersendiri yang harus di-manage.  

Tak jarang saya mengalami kejadian yang membayangkannya saja gak pernah!.

Mengabaikan etika plus malu sesudah memutuskan untuk hengkang di salah satu restoran Kota Hanoi saat lihat menu yang disajikan ternyata didominasi olahan "sapi kaki pendek" padahal sudah duduk manis dan ready to order, pernah saya lakukan.

Baca juga Bangkok Street Food; Eat Like Local

Sempet emosi di Singapura karena dihela -tepatnya diusir- oleh seorang pria yang jika ditilik dari pakaiannya menandakan dia seorang koki.  Padahal alasan saya melangkah masuk ke sana karena melihat seorang wanita muda berhijab [mungkin pelayannya?] sedang membereskan etalase tokonya yang berisi aneka menu layaknya yang banyak dijual di restoran Melayu.

Apakah si chef tadi bermaksud memberitahu bahwa makanan yang dijualnya tidak halal namun cara dia memberitahukannya dengan gesture yang tidak elegan?  Wallahu alam.

Lain halnya pengalaman di Philipina.

Keliling bolak-balik di salah satu mall di Manila demi mencari makanan halal padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 malam waktu setempat pun dijabanin.  Akhirnya menyerah pada ayam goreng Sang Kolonel janggut putih berkacamata jua.  Baca basmallah.

Sempet syedih hati di Korea.

Cuma bisa nonton aneka macam street food saat kluyuran malam di Myeong-Dong .  Padahal semua penampakannya menggiurkan, sayangnya timbul perasaan ragu untuk mencoba.  Bersandar pada ajaran yang mengatakan kalau ragu lebih baik tinggalkan, alih-alih jajan saya sibukkan diri memotret riuhnya penjaja kuliner kaki lima ala Negeri Ginseng.  Itupun sambil nelan ludah berkali-kali 😂!!


Baca juga My Korean Food Adventure

Etapi perjalanan di negeri sendiri pun bukan berarti tak pasang mata-telinga lho ya, khususnya saat berkunjung di daerah dengan penduduk minoritas muslim.    Contohnya saat ke Bali.  Berangkat dari rasa penasaran, saya sempat bertanya pada supir taksi bagaimana caranya membedakan rumah makan yang halal dengan non-halal.  

Begini jawabnya; "Biasanya warung makan yang pakai tulisan Jawa Timur atau Malang itu bisa dimakan [maksudnya halal], Bu."

"Tukang bakso gerobak yang ada Jawa Timurnya  itu juga boleh.  Kalau ngga ada tulisan Jawanya, jangan dibeli, Bu"  imbuhnya lagi.  Kenapa mesti Jawa Timur?  Karena notabene banyak pendatang berasal dari daerah tersebut yang mencari nafkah di Pulau Dewata.

Singkatnya pasang radar baik-baik di mana pun kaki melangkah.


3. Suara Azan

Harus saya akui, acap kali mendengar azan berkumandang, yang terlintas adalah waktu kok cepet banget berlalu.  Bagi muslim, suara azan adalah panggilan untuk salat lima waktu.  Selain tanda tibanya salat lima waktu, buat saya, azan adalah penanda waktu yang ampuh.  Tanpa melihat jam, saya bisa mengira-ngira waktu.  Ngga mesti persis namun tak meleset jauh.

Lain cerita saat berada di daerah yang minim atau tak terpapar suara azan.  Apalagi jika beda zona waktu pulak.  Matahari masih kelihatan, anehnya mata sudah sepet dan berkali tak kuasa menguap kantuk.  Pas lihat jam, lhoo, kok sudah malam.  Pantes ngantuk 😮

Cerita tentang azan, saya pernah pergi ke daerah Indonesia bagian Timur.  Rasanya baru tidur sebentar, ehh sudah terdengar azan.  Melirik jendela kamar yang gordennya sengaja tak ditutup rapat, di luar masih menyisakan gelap.  Cek penunjuk waktu di telepon genggam, tinggal beberapa menit menuju pukul 4 pagi!  Saya lupa kalau di sini waktu Subuhnya lebih cepat hehehe.

Seringnya saat berada di tempat yang minim [atau gak ada mesjid], tak mendengar suara azan jadi satu kerinduan tersendiri.

Something is missing.


4. Tempat Beribadah

Kehilangan lain yang saya rasakan saat traveling bisa dibilang terkait #3 .  Kalau dengar azan dipastikan dikumandangkan dari tempat ibadahnya.  Dan berburu tempat ibadah pun sama serunya dengan mencari makanan halal.  Maka bisa dipahami jika ada lokasi yang bisa menyatukan dua hal tersebut menjadi sasaran destinasi wisatawan muslim.

Limitasi akses pada tempat beribadah mendorong saya untuk mempelajari tata-cara ibadah sebagai pejalan berdasarkan keyakinan yang saya anut.  Minimal jadi paham dan praktek langsung bagaimana tayamum dan salat di atas kendaraan yang sedan melaju.

Pengalaman yang tak terlupakan adalah saat melaksanan salat subuh di atas pesawat.  Yang biasanya mendirikan salat usai mendengar azan, waktu itu saya melakukannya berdasarkan intensitas sinar matahari.  Saat semburat kuning tampil mencolok di gelapnya langit, teman seperjalanan lantas melakukan tayamum; tanda waktu Subuh telah tiba.

Usai melaksanakan salat wajib dua rakaat dalam kondisi duduk.  Saya pusatkan kesadaran menatap titik kuning keemasan yang semakin lama semakin luas pancaran sinarnya hingga tirai malam yang pekat berganti benderang.  

Suatu proses pergantian dari malam ke siang yang luar biasa yang sayang untuk dilewatkan.  Tidak setiap waktu mendapatkan fenomena alam seperti ini, di atas angkasa pula!


5. Guling

Kehilangan selanjutnya jika saya traveling adalah *drum roll* ... GULING.

Iya, guling!

Konon -di seantero jagad ini- hanya penduduk Indonesia yang punya kebiasaan tidur memakai guling sebagai salah satu perlengkapan tidurnya.  Kalau benar adanya maka ini bisa jadi ke-Unik-an kita.  

Dan saya termasuk wong endonesah yang sulit tidur tanpa guling plus bukan tipe pelor alias nempel molor.  Terlebih jika bermalam di tempat baru.  Retjeh ya?  Tapi itulah faktanya.

So, walau saya menikmati bepergian, saat tidur perasaan senang tadi berubah menjadi double trouble; adaptasi kamar tidu dulu plus tak ada guling.  Alhasil jadi bikin mata melotot beberapa saat sebelum jatuh tidur walaupun ngantuk warbiyasak!

Jadi manakala menginap di Ibis Manado dan menemukan guling terbujur manis di sandaran tempat tidur; it was like YIPPEEEAAAYY!  

Kamar hotel Ibis Manado


6. Bahasa [Ibu]

Pernah gak mengalami keterasingan padahal Anda berada dalam keramaian?  Lalu panik karena tidak mengerti not even single word of what people around are saying?

Atau mendadak berasa bego, lemah otak, tidak bisa mengingat lagi vocabulary pelajaran bahasa Inggris yang sudah kita pelajari dari semenjak bangku sekolah dasar?  

Kalau jawabnya PERNAH, maka Anda paham betapa nikmatnya berkomunikasi dalam bahasa ibu.  Sepandai-pandainya menguasai bahasa asing, ada satu tempo di mana otak akan tidak kompak dengan mulut.  Buat saya, artinya stamina berpikir sudah di titik terendah.  Biasanya dialami jika sedang training atau rapat dengan orang asing dalam hitungan lebih dari sehari.  

Bayangkan saja, mau ngomong sesuatu; kita harus mikir "ini vocabnya apa ya?"  Pakai grammar ala sekolahan kadang malah gak sampai isi pesan yang disampaikan.  Kalaupun lawan bicara paham, kita harus menyimak every word they said.  Ada proses berpikir lagi dalam otak, menerjemahkan maksud si orang tersebut.  Terlebih jika mereka memiliki aksen yang "unik".  Walau kuping serasa udah dibuka selebar-lebarnya, tetap aja donk ga paham apa yang mereka ucapkan.  Hampir seminggu siang-malam komunikasi seperti ini, alhasil lelah otak haha.  Kepala makin panas rasanya jika trainingnya serius atau meetingnya alot!

So, dibalik berkah dapat kesempatan ke luar negeri dibayarin kantor, harus dibayar dengan kram otak gegara bahasa.  Paling apes, jika pergi sendirian, gak ada kawan seperjalanan dari kantor.  Alhasil manyun sendirian selama perjalanan.  Pe-er tambahan jika negara yang dikunjungi, penduduk lokalnya juga tidak memakai Bahasa Inggris sebagai bahasa utama.  

Namun dari beberapa kali perjalanan saya ke tanah asing, [kendala?] bahasa ini lebih banyak menjadi bahan cerita yang bikin ketawa dibanding kisah sedih atau seram.  Ihh, semoga tidak deh!



Kesimpulan saya jika kita pergi sejenak dari rutinias, the missing of absence can't be denied.  Ternyata ada hal-hal yang kita rasa hilang dari keseharian.

At the same time, "The missing of absence" membuat saya belajar mensyukuri kemudahan yang sehari-hari diperoleh.  Saking mudahnya saya cenderung -atau bahkan?- take it for granted.  

Saya jadi belajar memahami perbedaan. Selama hal tersebut tidak menjadi gangguan yang berarti, tidak prinsip, so leave it as it is.  Don't sweat our life with small stuff juga 'kan?

Mensyukuri diberikan kesempatan untuk sesekali merasakan artinya menjadi minoritas atau merasa "terasing".   Karena ternyata dari sanalah tumbuh rasa untuk simpati, bahkan empati juga rindu.

Sekarang saya jadi bisa mencerna makna ayat dari kitab agama yang saya yakini;

"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.[QS 49:13]

---

Tulisan yang dibuat karena rasa kangen akan jalan-jalan ke tempat baru.  Semoga covid segera berlalu.
Share
Tweet
Pin
Share
22 comments
Newer Posts
Older Posts

Follow Me


          

recent posts

Popular Posts

  • 5 Mie Ayam Enak di Bogor
  • Serunya Wisata Satu Hari di Cirebon
  • Paralayang; Uji Nyali di Puncak Kebun Teh

Blog Archive

  • ►  2025 (1)
    • ►  June 2025 (1)
  • ►  2022 (2)
    • ►  June 2022 (2)
  • ►  2021 (12)
    • ►  August 2021 (1)
    • ►  July 2021 (3)
    • ►  June 2021 (2)
    • ►  May 2021 (1)
    • ►  February 2021 (1)
    • ►  January 2021 (4)
  • ▼  2020 (7)
    • ▼  December 2020 (2)
      • Foto Editing, Yeay Or Nay?
      • Saat Travelling, Saya Kehilangan 6 Hal Ini
    • ►  October 2020 (1)
    • ►  April 2020 (2)
    • ►  March 2020 (1)
    • ►  January 2020 (1)
  • ►  2019 (17)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  October 2019 (2)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  July 2019 (1)
    • ►  May 2019 (2)
    • ►  March 2019 (5)
    • ►  February 2019 (1)
    • ►  January 2019 (4)
  • ►  2018 (25)
    • ►  December 2018 (4)
    • ►  November 2018 (4)
    • ►  October 2018 (3)
    • ►  August 2018 (2)
    • ►  July 2018 (5)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  March 2018 (1)
    • ►  February 2018 (2)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (18)
    • ►  December 2017 (5)
    • ►  November 2017 (3)
    • ►  October 2017 (1)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  August 2017 (3)
    • ►  June 2017 (1)
    • ►  April 2017 (1)
    • ►  February 2017 (1)
    • ►  January 2017 (1)
  • ►  2016 (37)
    • ►  December 2016 (1)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (4)
    • ►  May 2016 (2)
    • ►  April 2016 (9)
    • ►  March 2016 (8)
    • ►  February 2016 (3)
    • ►  January 2016 (6)
  • ►  2015 (75)
    • ►  December 2015 (2)
    • ►  November 2015 (7)
    • ►  October 2015 (3)
    • ►  September 2015 (6)
    • ►  August 2015 (5)
    • ►  July 2015 (19)
    • ►  June 2015 (4)
    • ►  May 2015 (3)
    • ►  April 2015 (7)
    • ►  March 2015 (5)
    • ►  February 2015 (9)
    • ►  January 2015 (5)
  • ►  2014 (39)
    • ►  December 2014 (2)
    • ►  November 2014 (1)
    • ►  October 2014 (2)
    • ►  September 2014 (4)
    • ►  August 2014 (5)
    • ►  July 2014 (2)
    • ►  June 2014 (3)
    • ►  May 2014 (4)
    • ►  April 2014 (2)
    • ►  March 2014 (2)
    • ►  February 2014 (5)
    • ►  January 2014 (7)
  • ►  2013 (36)
    • ►  December 2013 (5)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (5)
    • ►  August 2013 (1)
    • ►  June 2013 (1)
    • ►  May 2013 (4)
    • ►  April 2013 (6)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (2)
  • ►  2012 (28)
    • ►  December 2012 (2)
    • ►  November 2012 (3)
    • ►  October 2012 (3)
    • ►  September 2012 (4)
    • ►  August 2012 (4)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  May 2012 (1)
    • ►  April 2012 (1)
    • ►  March 2012 (1)
    • ►  February 2012 (1)
    • ►  January 2012 (3)
  • ►  2011 (28)
    • ►  December 2011 (2)
    • ►  November 2011 (3)
    • ►  October 2011 (1)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  August 2011 (4)
    • ►  July 2011 (2)
    • ►  June 2011 (4)
    • ►  May 2011 (1)
    • ►  April 2011 (4)
    • ►  March 2011 (3)
    • ►  January 2011 (3)
  • ►  2010 (2)
    • ►  December 2010 (1)
    • ►  June 2010 (1)

Created with by BeautyTemplates