My Dairy Note's

Life Style & Family Blog Indonesia

    • Home
    • About
    • Disclosure
    • Life Style
      • Books & Movie
      • Travel
      • Culinary
      • Fotografi
    • Women in Tech
      • Blogging
      • Techno
    • Midlife Series
      • Family
      • Wellness
    • Career & Project Management
      • Project Management


I wrote here, the best way to get to know the local you visit is by tasting the food.  Walaupun di Indonesia belakangan ini kuliner Korea relatif mudah dijumpai, khususnya di kota-kota besar.  Still the best way to savor the authentic cuisine is from the origin.

Samgyetang Ginseng Chicken Soup, Seoul

Ke Korea tanpa mencicipi Sup Ayam Ginseng (Samgyetang) ibarat ke Jogja minus makan gudeg.  Begitu perumpaan yang paling mendekati.  Dan saya terbilang beruntung karena dapat mencicipi Samgyetang di salah satu restoran (konon) terbaik di Kota Seoul.

Maka di suatu siang, serombongan turis Indonesia berbaris menuju Korea Samgyetang beralamat di Seoul-si Jung-gu Seosomun-dong 55-3.  Rumah makan yang hanya menyajikan sup ayam semenjak tahun 1960's ini,  selain tercatat dalam 50 Top “Hi, Seoul Korean Restaurants” oleh Pemerintah Kota Seoul juga mendapatkan Michelin Award di tahun 2018.  They put the Michelin sign on the wall, cool!

Secara tradisi, sejatinya sup ayam ginseng dikonsumsi pada tiga hari istimewa di musim panas yaitu chobok, jungbok, dan malbok (don't ask me what it is, LOL) yang merupakan tiga hari terpanas dalam setahun.  Namun demikian, rumah makan samgyetang selalu ramai sepanjang tahun.  Persis sebagaimana suasana resto yang kami alami di siang itu mengingat lunch time is peak hour.  Restoran yang menempati bangunan berlantai 4 itu memang padat pengunjung.


Restoran ini rupanya sering diliput oleh stasiun TV lokal seperti KBS dan SBS
Basically, Samgyetang adalah sup ayam dengan bahan-bahan yang diyakini baik untuk kesehatan.  Satu mangkok sup terdiri dari seekor ayam kampung muda utuh (that's right, utuh seekor!) yang direbus hingga empuk, bisa memakan waktu 2-3 jam.  Saking empuknya, daging ayam luruh dari tulang.  

Bagian perut ayam setelah dibersihkan, diisi dengan nasi ketan yang sudah direndam sebelumnya beserta ramuan tanaman obat yang dipercaya bermanfaat bagi kesehatan.  Selain ginseng, ramuan lainnya adalah buah jujuba kering, bawang putih, daun bawang dan jahe.  Agar khasiatnya maksimal, semua bahan tersebut dicampurkan dalam keadaan utuh.  Protein dan mineral dari seekor ayam utuh yang direbus dengan tanaman obat inilah yang dipercaya baik untuk kesehatan dan mencegah penyakit.

Kebiasaan lainnya adalah, menyiram arak ginseng ke dalam kuah sup sesaat sebelum dikonsumsi.  I certainly passed this!  Pantas saja, selain kimchi (as always) di atas meja juga terdapat cangkir-cangkir putih kecil berisi cairan bening.


Korean Grilled Chicken "Dakgalbi", Gapyeong-gun


Apa istimewanya makan ayam panggang Korea atau dakgalbi?  Nothing special to be honest 😬

Kombinasi hawa dingin, rasa lapar dan side dish yang meramaikan menu kemungkinan besar adalah faktor-faktor yang membuat rasanya jadi "enak".

Menurut saya, yang menjadikan dakgalbi buatan An Ring Chicken Ribs resto ini istimewa adalah pemandangannya.  Terletak tak jauh dari lokasi parkir bis yang membawa wisatawan ke Nami Island, posisi resto terbilang dekat dengan danau.  Dapat dikatakan seluruh dinding resto terbuat dari kaca.  Sambil menikmati hidangan, kita disuguhi pemandangan Pulau Nami yang siang itu dari kejauhan tampak misty ditutupi kabut tipis.

Paket makan ayam panggangnya sendiri berupa semangkok nasi dan semangkok sup rumput laut.  Kimchi (kimchinya enak, lho) is a must-side-dish, plus lettuce segar beserta dip sauce + potongan bawang putih.  Nah, yang ini membuat saya keinget lalapan.  Dip sauce ini semacam sambal begitulah.  Tapi jangan bayangin seperti sambalnya Indonesia, ya.  Sambal Korea ini tidak pedas sama sekali.

Cara makannya; ambil selembar daun, isi dengan potongan ayam panggan dan bawang putih.  Bungkus, cocolin ke sambal lalu happ!


"Godeungeo gui" Grilled Mackerel, Sokcho

Penampakan Grilled Mackarel beserta teman-temannya.  Jepret dulu sebelum diserbu.
Lesehan ala Korea dengan penampakan hidangan yang tandas! 😉
Seperi yang dijelaskan di sini, Sokcho adalah daerah pantai.  Maka menu lokal yang dicicipi di salah satu malam adalah ikan bakar, tepatnya Makarel panggang atau Godeungeo gui.  

Dari semenjak menginjakkan kaki di dalam rumah makan, nostril kami sudah disambut oleh aroma khas makanan laut.  Sayangnya saya tidak mencatat nama kedai yang memang mengandalkan ikan bakar sebagai menu utama.

Rumah makan sederhana ini dikelola oleh sepasang suami istri (that's how they look to me) yang malam itu sibuk melayani rombongan kami yang notabene memang hanya kami pengunjung rumah makannya 😁

Menunya pun tidak fancy ala resto.  Selama masa kunjungan, baru kali saya melihat Tteok-bokki (baca topoki) dihidangkan sebagai side dish.  Kue beras dengan bumbu pedas tersebut umumnya dijadikan camilan.  Selain itu ada sup labu siam dan so pasti kimchi.  Walaupun rasa kimchi di sini tidak seenak kimchi di restoran dakgalbi, rumput laut produksi rumahannya malah enak banget.  

Malam itu, tidak hanya kembali ke hotel dengan happy-tummy, tak sedikit diantara kami yang membeli rumput lautnya!


Korean Braised Chicken "Jjimdak", Seoul


Sebelum getting around Myeong Dong, kami recharge tenaga dahulu dengan menu ini.  Letak restonya di keramaian Myeong Dong.  Jadi saat keluar restoran, langsung disambut kemeriahan tempat belanja yang jadi must-seen-place-for-foreigner di Kota Seoul.


Satu mangkuk besar Jjimdak disajikan di tengah meja dengan kimchi sebagai side-dish.  Lainnya standar restoran Korea; semangkok nasi, sumpit-sendok serta gelas serta sebotol air.

Pas dicicip, rasa menu ini mengingatkan akan semur ayam yang di-amini oleh teman satu meja.  Bedanya, "semur ayam Korea" ini pakai potongan kentang, wortel yang diberi sedikit soun serta potongan daun bawang sebagai garnish.  

Kalo ada sambal terasi dan kerupuk (teteuub yaaa 😚) mungkin rasanya jadi naik kelas.  

Sambil melahap habis Jjimdak (lafaaarrr...) menu ini melahirkan ide bagi "emak-emak-gak-mau-rempong-masak" cem saya ini.  Terpikir nanti untuk meniru di rumah dengan membuatnya sebagai hidangan rice-bowl; yaitu semangkok nasi dengan 1 macam lauk yang lengkap ingredients.  As you see, menu ini mempunyai protein dari ayam, kandungan serat wortel dan daun bawang.  Additional a chop of brocolli would it perfect, I guess.  

Dan ternyata prakiraan saya tidak meleset.  Dari hasil browsing, membuat Jjimdak ngga ribet.  Yang perlu resep aslinya, bisa nyontek di sini http://www.beyondkimchee.com/korean-braised-chicken-jjimdak/


Korean BBQ, The Tree Korean Resto, Seoul

Gambarnya blur akibat motret terburu-buru pake handphone. 
Ga enak hati sama yg lain, tiap mau makan ga pernah alpa jepret dulu 😂

The resto is packed by us!
And the last one is, well literally I forgot what the food name, yet remember the restaurant's name ie. The Tree Korean BBQ.  We had our last dinner here a while before went to Namsan Tower.

Walaupun judulnya BBQ, tapi menu yang kami santap malam itu semacam daging dengan bumbu semur with a LOT of garnish (green onion & carrot) on top of the beef.  Dan sebagaimana menu khas Korea, selalu ada side-dish yang menemani sajian utama.

Seperti terlihat pada gambar, side-dish yang disajikan terdiri dari irisan telur dadar, kimchi, acar sayuran, lainnya saya lupa 🙈

Sebenarnya masih ada satu tempat lagi; kami sempat makan di restoran dengan Chinese Food di Seoul.  Namun rasanya tidak perlu saya posting deh.  Well, who doesn't know Chinese Food?  Mie goreng, cap cay beserta kawan-kawannya hehe.

Itulah lima makanan khas Korea yang sempat saya cicipi selama perjalanan 5 hari.  Dari kelimanya, Samgyetang adalah menu yang paling berkesan.  Mungkin karena itu kali pertama pengalaman mencoba sup ayam ginseng.  There is always first time for everything 😉

Khusus restoran Samgyetang dan Dakgalbi yang saya sebutkan dalam postingan ini, sudah banyak diulas oleh para pelancong manca negara.  Means, they are recommended restaurants you may put the list for your Korean's food adventure.  Beberapa ulasannya bahkan dilengkapi keterangan "how to get there".  Silahkan googling to found out.  

Semoga pengalaman singkat saya icip-icip makanan Korea yang tak seberapa ini bisa jadi referensi tentang kuliner Negara Ginseng.  Well, at least you know what to eat on your next visit to South Korea, right?

Mas-issge deuseyo


Baca rangkaian jalan-jalan South Korea The Series



Share
Tweet
Pin
Share
41 comments



Lagi-lagi, ini perkara selera, karena rasa adalah personal.  Tsaah!

Jadi nih, gegara mencoba es kopi susu saat berkunjung ke Belitung, saya jadi ketagihan.  Padahal mulanya saya tidak suka minuman berwarna hitam pekat ini.  Kesukaan saya sebatas mencium aromanya yang eksotis itu jika menyeduh kopi tubruk kesukaan suami.  Nasib berkata lain sesaat menyesap es kopi susu Tong Djie khas Belitung.  Lho, kok enak?  Where was I all of this time?  #lebay

Kemudian dimulailah petualangan jelajah es kopi susu di Bogor.  Kebetulan di Kota Hujan ini, kedai kopi lokal mulai berjamuran.  Dari sekian banyak gelas es kopi susu yang pernah saya coba, ada tiga yang mengena di hati lidah dan menjadi favorit. 

Here they are!


Kopi Kenalan by Imah Nini

Selain kopinya, kedai kopi Imah Nini juga tempat nongkrong favorit saya.  Dari pertama datang ke tempat ini, langsung "kena" di hati.  Walaupun bukan co-working space, tempat ini selalu jadi tujuan untuk menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan jika sedang ingin intermezzo dari sudut kerja di rumah.

Seperti kedai kopi pada umumnya, kedai ini juga menyediakan non-kopi makanan ringan.  Tapi coba signature drink es kopinya yang diberi nama Kopi Kenalan.  Kombinasi rasa manis dan kopinya pas!

Kopi Kenalan @ Rp 25K
Alamat: Jalan Bangbarung Raya No.6c, Bantarjati, Bogor Utara, Bantarjati, Bogor Utara, Kota Bogor, Jawa Barat 16153

Open hour: 8 AM - 11 PM


Kopi Rakyat by Kemenady Coffee & Co-working Space

Pembeli dapat mengakses racikan Kemenady Coffee di dua tempat; food stall Kemenady Xpress, Mall Botani Square atau di Kemenady Coffee & Co-working Space.  Keduanya available di aplikasi Go Food. 

Es kopi buatan Kemenady Coffee diberi nama Kopi Rakyat dengan bandrol harga menurut ukurannya.  Kopi Rakyat ukuran medium @ Rp 18K dan Rp 25K untuk size Large.

Tapi saya lebih sering membelinya langsung di Kemenady Xpress jika sedang bertandang ke mall Botani dibanding ke Co-working space di Jl. Pengadilan No. 23B, Bogor Tengah.  Karena lokasi yang persisnya di seberang gedung sekolah Regina Pacis Bogor ini lebih jauh dari rumah saya hehe.

Oiya, outlet di Co-working space ini melayani pembelian hingga pukul 22:00


Soy Coffee Latte by Janji Jiwa

Dibanding dua lainnya, outlet kopi ini tergolong belum lama beroperasi di Bogor dan cihuy-nya, lokasi Janji Jiwa ini paling dekat dengan rumah.  Seringnya saya memanfaatkan layanan pesan antar aplikasi online untuk mengonsumsi minuman ini.

Dari akun sosmednya, hanya ada 1 outlet Janji Jiwa di Kota Bogor.  Buka dari pukul 8 pagi hingga jam 8 malam, outlet mini Janji Jiwa bisa ditemukan di Jl. Raya Tajur No.32, Pakuan, Bogor Sel., Kota Bogor, Jawa Barat 16134

Keunikan Janji Jiwa, mereka menyediakan kopi yang diracik tidak hanya air panas atau campuran susu tapi juga dengan soy milk bahkan ada yang menggunakan air kelapa muda.  Nah, kesukaan saya adalah Ice Soy Coffee Latte yang dibandrol Rp 25K per cup-nya.


Kepsyen kekinian 😄

Image owned by @kopijanjijiwa.bogortajur

Itulah 3 es kopi susu favorit saya.  Apa es kopi susu favorit Readers? 


Share
Tweet
Pin
Share
42 comments

A nation's culture resides in the hearts and in the soul of its people  
Mahatma Gandhi

Selain makanan, cara mudah mengenali karakter suatu bangsa dalam jangka waktu relatif singkat adalah dengan mengunjungi museum.  Dan dua tempat berikut sarat dengan budaya tradisional Korea; ruang saji penuh informasi tentang kultur Negeri Kimchi, jauh dari hiruk-pikuk KPOP yang belakangan melanda dunia.

National Folk Museum



Menurut saya, National Folk Museum ibarat Taman Mini Indonesia Indah.  Bedanya, jika TMII adalah ajang display Indonesia dari Sabang sampai Merauke.  Maka museum ini menampilkan replika yang menggambarkan kehidupan tradisional Korea mulai dari pakaian, gerabah, alat angkut berupa tandu hingga kerajinan tangan Korea yang dikenal berkualitas baik.

Museum terbagai atas 3 area ruang pamer.  Exhibition Hall 1 mengenai sejarah Korea termasuk transformasi teknologi Korea.  Kehidupan masyarakat Korea yang sebenarnya adalah tipe masyarakat agraris dipertontonkan pada Hall 2.  

Ada satu diorama yang paling menarik perhatian saya di Arena Eksebisi 3 yaitu prosesi pernikahan tradisional Korea.  Selain diperagakan oleh patung seukurang manusia hidup dalam berbagai pose yang menggambarkan kesibukan sebuah perhelatan perkawinan.

Selain prosesi tersebut, di Exhibition Hall 3 juga menyajikan kehidupan warga kelas atas tradisional Korea dari lahir hingga mati, termasuk hari ulang tahun, pendidikan, pernikahan, keluarga, hingga karier.

Semua tiruan yang disajikan dalam bentuk diorama mirip seperti yang dilihat jika menonton drama Korea bergenre sejarah.  

Foto group di National Folk Museum
Museum ini buka setiap hari dengan jam operasional tergantung musim.  Operational Hour pada musim panas adalah yang paling lama; mulai pukul 9 pagi hingga 7 malam dan satu jam sebelum tutup, masih bisa menerima pengunjung.  Jadi, jika berencana akan ke sini, ngga ada salahnya untuk cek dulu operating hour nya.  Googling aja.  Semudah itu kok 😀

Walaupun tidak ada peringatan dari tour guide tentang memotret dalam ruangan, namun saya tidak melakukannya.  Karena setahu saya,  museum biasanya menerapkan aturan dilarang memotret.  Apalagi jika ruang pamernya banyak dihiasi oleh artefak atau barang seni dengan nilai tinggi.

Seandainya penasaran seperti apa penampakan museum ini, bisa dilihat di Youtube dari akun The Seoul Guide atau klik link ini.

Oiya, karena museum ini masih berada satu komplek dengan Istana Gyeongbokgung, maka harga karcis masuk jadi satu.  Pembelian HTM cukup saat masuk ke istana saja.  Pihak museum juga menyediakan tour guide yang dapat berbahasa Inggris tanpa dipungut bayaran.  Jadi sayang banget rasanya jika sudah ke istana tanpa melihat National Folk Museum ini.

Gyeongbokgung Palace

Sudah jauh-jauh datang ke Korea Selatan, sempatkan juga donk berkunjung ke Istana Gyeongbokgung.  Istana ini dibangun di era Joseon (~1390) yang tercatat sebagai salah satu warisan dunia yang dilindungi UNESCO.  Karena letaknya di sebelah utara Seoul juga dinamakan sebagai Northern Palace.  Dari kelima istana yang dimiliki Korea Selatan, Gyeongbokgung merupakan istana utama dan termegah dibanding lainnya.

Mirip seperti keraton yang kita miliki di Pulau Jawa, istana ini juga memiliki komplek yang luas.  Saking luasnya sampai memiliki tiga gerbang akses; yaitu Sinmumun Gate, Yeongchumun Gate, Heungnyemun Gate dan paling terkenal adalah Gerbang Gwanghwamun.  Di gerbang utama inilah tempat berlangsungnya prosesi pergantian penjaga istana yang dilakukan setiap hari pada pukul 10 pagi dan jam 2 siang.  Too bad we missed this rare-uniqe event! 😓

Oiya, selain National Folk Museum yang kami kunjungi, masih di tempat yang sama terdapat dua museum lainnya yaitu National Palace Museum of Korea dan National Museum of Modern and Contemporary Art Seoul Hall.  Sayangnya dua museum ini tidak kami kunjungi pula.  Namun dari namanya, we able to figure out what those two places is showing.

Background adalah Geunjeongjeon Hall, the main throne hall of Gyeongbokgung Palace
Sama seperti atraksi turis lain, istana ini juga mempunyai operasional hour yang berbeda setiap musimnya.  Jadi sangat-sangat dianjurkan untuk cek dulu jam operasinya just to make sure you could see what you have planned earlier.  Satu lagi, istana ini tutup setiap hari Selasa.  So, sesuaikan itinerary Anda ya!

Bagi yang ingin didampingi tour guide istana agar dapat cerita langsung dari narsum, ada fasilitas tour guide dalam Bahasa Inggris kok.  And it's free, yeay!  Free guided tour in English ini hanya tersedia pada waktu-waktu tertentu; 11:00, 13:00 dan 15:30 setiap harinya.



Ada yang menarik perhatian hingga membuat saya terus menekan tombol shutter kamera.  Selepas dari National Folk Museum menuju area istana, mulai terlihat orang hilir-mudik mengenakan hanbok aneka warna, sejenak menanggalkan baju-baju tebal karena Seoul siang itu berlimpah ruah sinar matahari walau angin masih terasa dingin.  

Mulai kanak-kanak, hingga orang dewasa, berjalan sepanjang komplek istana seolah ingin meresapi kehidupan Korea masa lalu.   Ada yang bergerombol dalam grup besar, tak sedikit yang berpasangan.  Pemandangan yang mungkin sulit ditemukan di tempat lain; melihat orang yang mengenakan baju tradisional berbaur dengan yang memakai baju kekinian.  Tapi mungkin hal itu yang membuat suasana dalam kompleks istana menjadi joyfull dan festive.  

Sayangnya saat di lokasi, saya tidak melihat any signage yang mengarahkan tempat penyewaan baju hanbok.  Lagipula Anna, tour guide kami, sebelumnya sudah menginformasikan bahwa dalam program tur sudah dijadwalkan mencoba hanbok hanya saja tidak di tempat ini.  Well, what can I say.






Ki - Dekoratif di salah satu bagian Heungnyemun Gate
***

Itulah yang bisa saya sharing selama berada di Komplek Istana Gyeongbok.  Bagi yang ingin tahu cerita jalan-jalan Korea lainnya, bisa mengaksesnya sebagai berikut.

Bagian 1

Bagian 2

Baca seluruh rangkaian jalan-jalan Korea Selatan di: South Korea The Series


Share
Tweet
Pin
Share
12 comments


Gerimis salju di Mount Seoraksan, batal ke Gwonggeumsung Fortress 

Setelah bermalam di Sokcho usai jalan-jalan sehari penuh Hari Pertama di Korea Selatan, tujuan selanjutanya di Hari Kedua ini adalah Taman Nasional Gunung Sorak.  Oiya, kami diinapkan di The Class 300 Hotel dan mendapatkan kamar dengan pemandangan menghadap ke laut.  Ternyata pantai di kawasan Sokcho ini termasuk salah satu lokasi favorit shooting drama juga.

Selain dikenal akan pantainya, best thing to do di sini adalah menikmati hidangan lautnya -terutama ikan dan cumi- seperti yang sudah kami santap tadi malam.  Untuk makanan yang sempat saya cicipi, Insya Allah rencananya akan saya tulis terpisah walau sebagian sudah sempat saya tulis tipis-tipis  di sini.  Cusslah dibaca 😉


Ki: Pemandangan dari kamar.  Jalanan lebar nan lengang.
Ka: Saya di depan The Class 300 Hotel, Sokcho
Kembali ke Sokcho.  Meskipun kawasan pantai, jangan berharap cuacanya sebagaimana Bali ya gaesss, mengingat secara geografis letak Korea bukan di garis khatulistiwa hehehe.  Dengan suhu udara rata-rata di bawah 10℃ di bulan Maret bisa disebut gak ramah buat kita-kita yang terbiasa digarang matahari.   Wait March?  Now is December!  Iyaaa, semalas itu saiah menuliss 😒

Gegara urusan cuaca ini, saya dan teman-teman serombongan punya ritual baru selama perjalanan.  Tiap pagi cek wheather status di smart phone.  Hari ini cuacanya bakal berapa derajat.  Apakah bakal dingin terus atau menghangat, pake ditambah hujan atau nggak.  Di Jakarta, mana pernah kek gini.  Urusannya cuma dua; hujan atau nggak.  Kalau pun hujan, ada ojek payung hehehe.  Aaah, kucinta sangat endonesah! 

Seperti pagi itu, begitu melangkah keluar hotel, langsung disergap hawa dingin musim semi rasa winter.  Ditambah lagi dengan angin yang kencang, wess dingin maksimal!  Mungkin karena hal itu maka jarang terlihat orang lalu-lalang.  Jalan raya Sokcho pun lengang kendaraan.  Padahal jalanan di sini kondisinya lebar dan bagus lho.  Bahkan untuk daerah luar kota semacam Sokcho pun sama baiknya dengan jalanan di kota besar macam Seoul.  Saking lengangnya, saya sampai mikir, ini ada orangnya atau ngga?  hehehe.

Saya yang awalnya berniat strolling around sekitaran hotel, memutuskan untuk kembali masuk dalam hotel.  Lebih baik menghangatkan diri di lobby hotel sambil menanti bis serta teman-teman lainnya.

Mount Sorak as a background
Ternyata travel time dari Sokcho ke Mount Sorak hanya sekitar satu jam.  Secara daerah, keduanya berada di provinsi yang sama yaitu Gangwond-do.  Bedanya, Sokcho pantai sedang Sorak daerah daratan tinggi.

Antara faktor cuaca atau masih relatif pagi, hanya terlihat beberapa kendaraan pengunjung saat tiba di lokasi.  Selain bis besar yang kami pakai, sisanya adalah mobil dan kendaraan tanggung.  Mirip kemarin, hari itu pun matahari masih belum menampakkan diri.  Suhunya malah lebih rendah dibanding Sokcho.  Sampai-sampai saat bicara seperti keluar asap dari mulut.  Dinginnya?  Jangan ditanya!  Di saat itulah saya merasakan manfaat lain dari berhijab.  Alih-alih topi atau ear puff untuk menghangatkan kepala, kerudung sudah menggantikan fungsi semua itu 😉

BTW, ngapain juga bela-belain ke gunung ditengah cuaca yang nggak bersahabat, memangnya ada atraksi turis apa?

Selain menawarkan pemandangan alam, ada dua landmark di Mount Sorak yaitu kuil Shinheungsa dan Gwongeumseong Fortress.  Keduanya merupakan situs sejarah nasional Korea Selatan.

Wefie dulu ^_^

Coffee shop!  Unfortunately, they closed 😐
Gwongeumseong Fortress adalah reruntuhan kastil yang konon dibangun oleh dua orang jendral bermarga Kim dan Gwon di era Raja Goryeo ke-23 (918 - 1393).  Tak heran jika bangunan yang mulanya diperuntukan guan menghindari peperangan ini, dikenal juga sebagai "kerajaan Kim-Gwon".

Uniknya, kastil ini terletak di puncak Gunung Seoraksan.  Bagi para pencinta hiking, kastil dapat dicapai dengan berjalan kaki dengan waktu tempuh sekitar satu jam.  Namun harus esktra hati-hati mengingat kondisi track yang lumayan menantang karena faktor jalanan yang licin, bertebing dan tidak berpagar.  Untuk memudahkan para pengujung maka sudah tersedia cable car yang beroperasi mulai waktu 06.30 pagi waktu setempat dan akan datang silih berganti setiap 7 menit sekali.

Mendengar uraian Anna, our Korean tour guide, saya excited pake banget.  Sudah terbayang naik cable car hingga ketinggian 1.200 mdpl disuguhi panorama Seoraksan yang putih diselimuti salju bukan pengalaman yang biasa; melainkan ruaaarrr biasa.

Walaupun, lanjut Anna lagi, landscape tercantik di titik ini adalah ketika pergantian musim khususnya saat musim gugur dimana hamparan hutan dipenuhi oleh warna-warni dedaunan.  Ga pa-palah batin saya; kapan lagi naik cable car ke salah satu puncak gunung tertinggi di Korea Selatan?

Manusia berencana, Tuhan yang menentukan.  Kondisi cuaca yang buruk saat kami di lokasi; turun salju, membuat perjalanan menggunakan cable car tidak dapat terpenuhi.  Padahal rombongan sudah dalam posisi menunggu; siap naik ke atas.  Walaupun salju yang turun tak seberapa, namun situasi di puncak gunung tidak demikian.  Pihak pengelola tempat wisata tidak mau mengambil risiko.  Untuk sementara, akses ke atas ditutup hingga cuaca mengijinkan.

Wajah-wajah kecewa pun hanya bisa menatap puncak Seoraksan dari kejauhan yang pagi itu memang lebih mirip gunung kapur kombinasi kabut dan salju yang menutupi punggung gunung.
Foto group dengan latar belakang pohon red pinus
Masih (mencoba) gaya dibawah rintik salju 😆

Sinheungsa Temple 

Selain reruntuhan kastil, di area taman nasional ini dapat ditemukan Grand Bronze Budha statue.  Sebuah patung Budha dengan tinggi 18 meter yang dibangun pada abad 18.  Patung ini merupakan simbol perdamaian dan Korea bersatu karena ternyata secara geografis, Seoraksan berada di satu provinsi.  Namun harus terbagi menjadi dua dan masuk dalam wilayah Korea Selatan saat Negeri Ginseng memilih jalan politiknya masing-masing.  Sedih ya jika terpecah-belah, makanya bersatu terus NKRI!  #eh

Bagi pengunjung yang memilih berjalan kaki menuju lokasi kastil maka akan menemukan "harta karun" lainnya yaitu kuil kuno Budha.  Salah satu trek yang banyak "dijual" pada wisatawan adalah jalur Sinheungsa Temple.  Keren nih pastinya.

Dan lagi-lagi karena alasan cuaca yang tak mendukung, rombongan tidak dapat mengunjungi kuil yang konon sudah berdiri dari abad ke-7!

Jadi tuh ya, walaupun sudah memasuki musim semi, tapi kondisi di Taman Nasional Seoraksan ini masih winter walau tipis-tipis.  Masih terlihat salju yang belum mencair.  Banyak pepohonan yang hanya ranting tanpa daun.  Saya ngga bisa bayangin jika sesungguhnya musim dingin di sini.  Mana jauh dari pemukiman.  Bagaimana para biksu -terutama di jaman dulu- yang mendiami kuil-kuil di lerang gunung itu bertahan hidup terlebih dalam cuaca yang ekstrim?  Ternyata ada rahasia lho.  

Untuk menjaga stamina dan menyambung hidup, konon para biksu mengonsumsi kulit batang pohon pinus merah.  Do you see above photo group in front of the red pine?  That's the tree I am talking about.

Khasiat pinus merah yang sudah terbukti dari masa ke masa kini dioptimalkan oleh Bangsa Korea sebagai suplemen walaupun pamornya di luar Korea tidak sehits ginseng.  Insya Allah tema ini akan saya tulis terpisah sebagai rangkaian South Korea The Series yaahh! #bulatkan niat menulis 😎

Namsan Tower 

Masih gak jauh-jauh dengan ketinggian, destinasi wajib liburan Korea Selatan yang patut dikunjungi adalah Namsan Tower atau N Seoul Tower or Seoul Tower.

Bagi yang suka melototin drakor, pasti sudah familiar dengan bentuk bangunannya.  Saking sering banget nongol entah sebagai lokasi shooting atau sekedar zoom out dari kejauhan.  Ibarat Monas di Jakarta, maka Namsan Tower bisa dibilang landmarknya Seoul.

Jika Monas sarat histori sejarah Indonesia, hingga menyimpan rekaman suara Soekarno saat pembacaan proklamasi.  Maka Namsan Tower merupakan bangunan menara radio yang menjadi tempat sight seeing dilengkapi aneka restoran.

Sebagai data teknis, tepat di kota Seoul, menara setinggi 236 m ini berada di atas Bukit Namsan yang letaknya 479 mdpl.  Jadi jika kita naik hingga ke atas menara, maka posisinya kira-kira 600 mdpl.  Bagaimana kira-kira suhu di luar ruangan pada ketinggian tersebut?  Nyengir kedinginan hehehe

Uniknya menara ini, mereka mempunyai toilet di atas ketinggian dengan ruangan full kaca.  Jadi sambil p*e, kita akan disuguhi landscape Kota Seoul.  Berani?

Foto bareng Lisa

Sayangnya rombongan kami tiba di malam hari.  It was a very windy night.  Walaupun beroperasi hingga almost until mid night, saya udah ga interest untuk naik.  It must be colder than down here.  Lelah campur muka beku diterpa angin musim semi ternyata bukan kombinasi yang bagus untuk eksplore tempat no matter how interesting it is.  Atau saya aja yang sudah malas?

Bahkan rasa penasaran akan pagar Namsan Tower yang dipenuhi love pad lock pun mendadak lenyap dibekukan oleh sergapan angin yang menderu di Bukit Namsan malam itu.

Praktis hanya ambil beberapa foto diri dengan latar belakang Namsan Tower.  Sisanya menikmati Seoul city view dari ketinggian.  Jika siang menara ini nampak sebagaimana pada umumnya, namun tidak saat malam hari.  Aneka warna lampu yang menerangi N Tower membuatnya nampak lebih cantik pada malam hari.





City view from the top.  The beauty of sparkling Seoul
.
.

Bagian 1

Bagian 3

Baca rangkaian jalan-jalan di South Korea The Series


Share
Tweet
Pin
Share
15 comments
Newer Posts
Older Posts

Follow Me


          

recent posts

Popular Posts

  • 5 Mie Ayam Enak di Bogor
  • Serunya Wisata Satu Hari di Cirebon
  • Paralayang; Uji Nyali di Puncak Kebun Teh

Blog Archive

  • ►  2025 (1)
    • ►  June 2025 (1)
  • ►  2022 (2)
    • ►  June 2022 (2)
  • ►  2021 (12)
    • ►  August 2021 (1)
    • ►  July 2021 (3)
    • ►  June 2021 (2)
    • ►  May 2021 (1)
    • ►  February 2021 (1)
    • ►  January 2021 (4)
  • ►  2020 (7)
    • ►  December 2020 (2)
    • ►  October 2020 (1)
    • ►  April 2020 (2)
    • ►  March 2020 (1)
    • ►  January 2020 (1)
  • ▼  2019 (17)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  October 2019 (2)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  July 2019 (1)
    • ►  May 2019 (2)
    • ►  March 2019 (5)
    • ►  February 2019 (1)
    • ▼  January 2019 (4)
      • My Korean Food Adventure
      • Rekomendasi 3 Es Kopi Susu Enak Kota Bogor
      • Destinasi Wajib Liburan Korea Selatan - Bagian 3
      • Destinasi Wajib Liburan Korea Selatan - Bagian 2
  • ►  2018 (25)
    • ►  December 2018 (4)
    • ►  November 2018 (4)
    • ►  October 2018 (3)
    • ►  August 2018 (2)
    • ►  July 2018 (5)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  March 2018 (1)
    • ►  February 2018 (2)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (18)
    • ►  December 2017 (5)
    • ►  November 2017 (3)
    • ►  October 2017 (1)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  August 2017 (3)
    • ►  June 2017 (1)
    • ►  April 2017 (1)
    • ►  February 2017 (1)
    • ►  January 2017 (1)
  • ►  2016 (37)
    • ►  December 2016 (1)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (4)
    • ►  May 2016 (2)
    • ►  April 2016 (9)
    • ►  March 2016 (8)
    • ►  February 2016 (3)
    • ►  January 2016 (6)
  • ►  2015 (75)
    • ►  December 2015 (2)
    • ►  November 2015 (7)
    • ►  October 2015 (3)
    • ►  September 2015 (6)
    • ►  August 2015 (5)
    • ►  July 2015 (19)
    • ►  June 2015 (4)
    • ►  May 2015 (3)
    • ►  April 2015 (7)
    • ►  March 2015 (5)
    • ►  February 2015 (9)
    • ►  January 2015 (5)
  • ►  2014 (39)
    • ►  December 2014 (2)
    • ►  November 2014 (1)
    • ►  October 2014 (2)
    • ►  September 2014 (4)
    • ►  August 2014 (5)
    • ►  July 2014 (2)
    • ►  June 2014 (3)
    • ►  May 2014 (4)
    • ►  April 2014 (2)
    • ►  March 2014 (2)
    • ►  February 2014 (5)
    • ►  January 2014 (7)
  • ►  2013 (36)
    • ►  December 2013 (5)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (5)
    • ►  August 2013 (1)
    • ►  June 2013 (1)
    • ►  May 2013 (4)
    • ►  April 2013 (6)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (2)
  • ►  2012 (28)
    • ►  December 2012 (2)
    • ►  November 2012 (3)
    • ►  October 2012 (3)
    • ►  September 2012 (4)
    • ►  August 2012 (4)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  May 2012 (1)
    • ►  April 2012 (1)
    • ►  March 2012 (1)
    • ►  February 2012 (1)
    • ►  January 2012 (3)
  • ►  2011 (28)
    • ►  December 2011 (2)
    • ►  November 2011 (3)
    • ►  October 2011 (1)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  August 2011 (4)
    • ►  July 2011 (2)
    • ►  June 2011 (4)
    • ►  May 2011 (1)
    • ►  April 2011 (4)
    • ►  March 2011 (3)
    • ►  January 2011 (3)
  • ►  2010 (2)
    • ►  December 2010 (1)
    • ►  June 2010 (1)

Created with by BeautyTemplates