My Dairy Note's

Life Style & Family Blog Indonesia

    • Home
    • About
    • Disclosure
    • Life Style
      • Books & Movie
      • Travel
      • Culinary
      • Fotografi
    • Women in Tech
      • Blogging
      • Techno
    • Midlife Series
      • Family
      • Wellness
    • Career & Project Management
      • Project Management
Seperti yang diterangkan oleh Rancho ketika ditanya oleh dosennya dalam film 3 Idiots bahwa teknologi seyogyanya untuk memudahkan kerja manusia.  Jadi barang sekecil resleting pun, menurut Pancho, bisa dikategorikan sebagai mesin.

Ketika hidup kita sudah diinvasi oleh teknologi plus internet di masa kini, pernah terpikir ga kalau ternyata kita sudah jarang melakukan hal-hal berikut ?



Share
Tweet
Pin
Share
4 comments
Image from Google


Almarhum nyokap bilang, trend itu semacam siklus.  Sesaat hype, hilang untuk kemudian timbul lagi.  Saat Lupus Reborn di tahun 2013 yang lalu, gue jadi inget lagi serial Lupus yang dimuat di majalah Hai.  Lupus booming berbarengan dengan masa SMA gue.  Seandainya Lupus ini beneran orang, bisa jadi udah seumuran gue juga.

Buat yang ga kenal Lupus, dia adalah anak laki-laki SMA Merah Putih yang hobi mengunyah permen karet, tokoh iconic remaja tahun 80-an.  Gegara dia, angkatan kami jadi ikutan belajar gelembungin permen karet.  Para remaja cowok ramai-ramai berpotonganan rambut jambul dengan semi gondrong di bagian belakang; somehow mirip syle rambutnya Roger Tyler, vokalis Band Duran-Dura!  Kalau pun bagian gondrongnya terpaksa dipotong karena razia di sekolah, minimal bagian jambul masih bisa dipertahankan.  Ngga ketinggalan, tas bertali panjang yang diselempangkan, mirip postman style gitu deh.

Setelah booming menjadi serial di majalah remaja Hai, cerita yang dianggap mewakili remaja di jamannya itu pun naik kelas jadi buku.  Anehnya, walau hobi membaca, gue ngga sampai mengkoleksi serial ini.  Sempet baca sih, satu-dua bukunya.  Itupun hasil minjem temen, hehehe.

Dari hasil baca buku pinjeman itu, Gue jadi paham jika sang pengarang Hilman Hariwijaya pandai ”menghidupkan” tokoh Lupus sehingga tidak sedikit yang berpendapat bahwa Lupus memang benar adanya. Bahkan beranggapan Hilman adalah personafikasi Lupus yang sesungguhnya.  Tidak sedikit remaja cewek yang saking kesengsemnya sama si Lupus sampai bela-belain cari SMA Merah Putih!  Ketika Lupus tak bisa ditemukan wujudnya, maka Hilman sang pengarang lah yang jadi serbuan para fansnya.

Walau Gue gak termasuk Lupus fans club, Tuhan berbaik hati memberikan kesempatan pada Gue untuk bertemu langsung dengan Hilman.  Tidak lain karena tugas negara eh, tugas sekolah.  Jadi waktu SMA dulu, Gue ngga bisa diem gitu.  Ada yang dilakukan.  Kalo bisa semua kegiatan sekolah diikutin.  Selain kepengurusan OSIS, Gue juga menceburkan diri di redaksi majalah sekolah.

Dari keterlibatan di majalah sekolah yang diberi AKSARA itulah, gue jadi paham ribetnya ngurusin majalah mulai dari milih tema untuk tiap edisi, cari nara sumber (biasanya wawancarain temen-temen sendiri), ngetik naskahnya yang jaman segitu masih pake mesin tik yang segede meja itu.  Pe-er banget saat ngetik, ehh pita mesinnya putus atau pita habis.   Alhasil tangan jadi kotor kehitaman sehabis mengganti dengan pita baru.   Jaman segitu belum ada laptop untuk ngetik syantique!  Editing, ngatur lay-out majalah, matching-in naskah sama gambar, nguber-nguber team ilustrasi yang notabene para cowok dimana mereka mendahulukan main bola padahal deadline udah deket.  

Yang terakhir, nganterin naskah siap naik cetak ke percetakan.  Biasanya hal ini kami lakukan bergantian antar teman redaksi yang lain, tak lain untuk cerewetin si Bapak tukang cetak supaya majalah bisa terbit tepat waktu.  Yah, semacam cheer leader percetakanlah walau seringnya sih telat terbit, hahaha! 

Yang tidak kalah pentingnya: jualin majalah ke kelas-kelas sekaligus penagihan.  Lengkap sudah tugas gandanya; dari reporter, tukang ketik naskah sampe jadi debt collector.  Semua dilakonin.  And I found the experience was priceless!

Balik lagi ke lap...eh Lupus.  Hasil rapat memutuskan akan mengetahkan Lupus sebagai feature.  Eh, kok berani-beraninya, anak sekolahan putih abu-abu (bukan judul sinetron ya !) mewawancarai seorang Lupus maksudnya Hilman.  Ini tidak lain karena -Shinta- salah satu teman redaksi bertetangga dan kenal baik dengan Hilman.  Berdasarkan KKN yang positif tersebut maka kami pun memberikan diri untuk mewawancarainya.

Di jadwal yang telah disetujui, kami berkunjung ke rumah Hilman. Wawancara dilakukan seusai jam sekolah.  Supaya gak malu-maluin, daftar pertanyaan sudah disiapkan.  Kamera poket isi film 24 pun siap beraksi (belum ada kamera digital apalagi ponsel berkamera, hadeeuuh ketahuan jadulnya !).  Biar kelihatan lebih profesional, Shinta yang notabene tetangga Hilman pun tumben-tumbennya bawa recorder.  Pokoknya, everything is ready!

Alhamdulillah wawancara berlangsung seperti yang diharapkan.  Dari sesi tersebut Gue jadi paham jika Hilman itu aslinya pemalu.  Mengaku introvert, ga banyak bicara.  Sekalinya bicara, suaranya haluuus sekali, cenderung pelan.  Kami sampai harus mencondongkan badan menajamkan telinga untuk mendengarkan jawaban-jawaban si penulis Lupus tersebut. Jauh beda dibanding karakter rekaannya; Lupus yang ngocol nan ceria itu.

Sore itu kami (Titi, Shinta dan gw) pulang ke rumah dengan puas hati.  Tugas wawancara berlangsung baik.  Rasanya sudah seperti wartawan profesional.  Rencananya, hasil wawancara akan kami olah besok sepulang sekolah.

Manusia boleh berencana, Tuhan yang menentukan.  Siang seusai sekolah, kami bertiga (Shinta-Titi-Gue) terbengong-bengong di ruang OSIS yang merangkap ruang redaksi.  Tak berkedip menatap tape recorder milik Shinta.  Berulang kali diputar ulang tapi yang terdengar cuma suara Shinta ketika bertanya berdasarkan daftar pertanyaan, sesekali terdengar suara tukang jualan keliling yang kemarin lewat di muka rumah Hilman.  Tapi sama sekali ga kedengeran suara jawaban sang pengarang. Alamak !  Kami jadi teringat wawancara kemarin, bagaimana kami harus memanjangkan telinga untuk mendengar setiap jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.   Woalaaahhhh, saking pelannya suara dia sampe rekamannya pun gak kedengaran  !

Semangat tinggi kami bertiga langsung drop.  Memandang sedih tape recorder dan kertas kosong yang sudah terpasang di mesin tik.  Kerjaan siang itu gak bisa selesai karena kami hanya mengandalkan tape recorder.  Tidak satupun dari kami yang menyalin secara tertulis jawaban-jawaban Hilman. Speechless abis.  Akhirnya diambil keputuskan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.  Wawancara harus diulang, gak ada pilihan lain.  Biar malunya nggak berjamaah, maka hanya Shinta sendiri yang datang lagi ke rumah Hilman soalnya ‘kan tetanggaan, hihihi.  Untungnya sang pengarang tidak keberatan dan majalah sekolah edisi Lupus pun terbit sesuai rencana.

Entah karena faktor itu atau bukan, dari kami bertiga, saat ini hanya Shinta yang benar-benar nyemplung jadi kuli tinta di salah satu majalah wanita terkemuka.  Titi sudah disibukkan oleh klinik khusus anak-anak di Bandung dan Gue?

Gue memilih jadi pegawai yang sesekali menulis di media blog, hehehe.

Makanya begitu baca di media tentang Lupus Reborn, ingatan Gue pun kembali ke wawancara memalukan itu sambil wondering, kira-kira sekarang ini Hilman kalo bicara masih pelan atau nggak ya ?

Semesta seolah mendengar pertanyaan gue. Setelah sekian puluh purnama tidak berkabar, kalau tidak salah sekitar tahun 2018, ada undangan dari Shinta untuk bertemu lagi dengan sang Penulis.  Maka di suatu siang, beberapa mantan Tim Aksara bertatap muka kembali dengan Hilman “Lupus” Hariwijaya.  

Menurut kalian, kira-kira suaranya masih sama kayak dulu atau berubah?


Ki-ka
Hilman – Shinta – Sri “Atiek” Saraswati - gue




(Teruntuk teman-teman Aksara SMA 7889; Shinta Tetriana & Putri "Titi" Anggun, Wibowati “Bowie”, Bernie “Beben” Medise, Sri “Atiek” Saraswati, almarhumah Siska “Chika” Anggia Tarmelia.  Para illustrator Novi dan Ochie).


Share
Tweet
Pin
Share
8 comments

http://www.life-in-spite-of-ms.com/multiplesclerosispictures.html
Courtesy Image of Life In Spite of MS
Myelin atau muscle memory adalah lapisan yang menyelubungi rantai sel mata rantai informasi pada jaringan sistem syaraf manusia.  Ia berfungsi meningkatkan kecepatan arus informasi jaringan sistem manusia dan menyebarkannya ke seluruh jaringan otot.  Semakin tebal lapisan itu berarti semakin tinggi kecepatan arus informasinya, semakin mahir gerakannya.
(Myelin, hal. 107, Rhenald Kasali)

“Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang kali. Dengan demikian, kecemerlangan bukan tindakan, tetapi kebiasaan.”
(Aristoteles)

Artinya, kalau mau menghasilkan tulisan yang baik, maka harus banyak menulis, menulis dan menulis.

Dan saya pun menulis, lagi.
Share
Tweet
Pin
Share
1 comments

Semenjak punya blog 3 tahun yang lalu, saya jadi rajin menulis (lagi).  Sadar dengan kemampuan menulis yang minim membuat saya tambah semangat untuk belajar menulis  lebih baik lagi.  Rajin blog walk sambil ikut komunitas kelompok menulis adalah salah satu kiat saya nambah ilmu.  Ga cukup satu, saya ikut juga Kelompok Emak-emak Blogger atau bekennya KEB yang digawangi oleh Mira Sahid.  Berawal dari group discussion emak-emak di forum FB, sampai akhirnya dibuat web bersama sebagai etalase keroyokan hasil tulisan para emak.

Namanya emak, segala rupa dibahas.  Begitu pula dengan blog KEB; berbagai hal diulas.  Mulai dari curhat, puisi, resep sampai tips.  Nama boleh 'emak', tapi keanggotaan tidak eklusif bagi yang hanya menyandang status emak saja.  Selama tertulis resmi jenis kelamin di KTP sebagai perempuan dan suka nge-blog, sok aja gabung.


Share
Tweet
Pin
Share
21 comments

Ngga afdol rasanya pulang bepergian tanpa membawa oleh-oleh.  Pulang bawa sayur-mayur dari Puncak ?  Bosen ah !  Sekarang ada pilihan baru yang patut dicoba kalau kita habis jalan-jalan di sekitaran Puncak. 




Share
Tweet
Pin
Share
3 comments
Masih tentang foto dengan menggunakan kamera ponsel yang praktis bisa dibawa kemana-mana.

Sekalian mau pamer (ehm !) hasil jepretan dengan kamera ponsel.  Foto-foto berikut ada yang diambil dengan Blackberry Bold (lensa 2 MP) dan ada pula dengan menggunakan Soner Xperia 10 (lensa 7 MP).  Beberapa foto sudah ada yang di-retouch dengan efek untuk mendramatisir hasil gambar walau sebetulnya saya lebih suka yang original version.  




Share
Tweet
Pin
Share
4 comments
Newer Posts
Older Posts

Follow Me


          

recent posts

Popular Posts

  • 5 Mie Ayam Enak di Bogor
  • Serunya Wisata Satu Hari di Cirebon
  • Paralayang; Uji Nyali di Puncak Kebun Teh

Blog Archive

  • ►  2025 (1)
    • ►  June 2025 (1)
  • ►  2022 (2)
    • ►  June 2022 (2)
  • ►  2021 (12)
    • ►  August 2021 (1)
    • ►  July 2021 (3)
    • ►  June 2021 (2)
    • ►  May 2021 (1)
    • ►  February 2021 (1)
    • ►  January 2021 (4)
  • ►  2020 (7)
    • ►  December 2020 (2)
    • ►  October 2020 (1)
    • ►  April 2020 (2)
    • ►  March 2020 (1)
    • ►  January 2020 (1)
  • ►  2019 (17)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  October 2019 (2)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  July 2019 (1)
    • ►  May 2019 (2)
    • ►  March 2019 (5)
    • ►  February 2019 (1)
    • ►  January 2019 (4)
  • ►  2018 (25)
    • ►  December 2018 (4)
    • ►  November 2018 (4)
    • ►  October 2018 (3)
    • ►  August 2018 (2)
    • ►  July 2018 (5)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  March 2018 (1)
    • ►  February 2018 (2)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (18)
    • ►  December 2017 (5)
    • ►  November 2017 (3)
    • ►  October 2017 (1)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  August 2017 (3)
    • ►  June 2017 (1)
    • ►  April 2017 (1)
    • ►  February 2017 (1)
    • ►  January 2017 (1)
  • ►  2016 (37)
    • ►  December 2016 (1)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (4)
    • ►  May 2016 (2)
    • ►  April 2016 (9)
    • ►  March 2016 (8)
    • ►  February 2016 (3)
    • ►  January 2016 (6)
  • ►  2015 (75)
    • ►  December 2015 (2)
    • ►  November 2015 (7)
    • ►  October 2015 (3)
    • ►  September 2015 (6)
    • ►  August 2015 (5)
    • ►  July 2015 (19)
    • ►  June 2015 (4)
    • ►  May 2015 (3)
    • ►  April 2015 (7)
    • ►  March 2015 (5)
    • ►  February 2015 (9)
    • ►  January 2015 (5)
  • ►  2014 (39)
    • ►  December 2014 (2)
    • ►  November 2014 (1)
    • ►  October 2014 (2)
    • ►  September 2014 (4)
    • ►  August 2014 (5)
    • ►  July 2014 (2)
    • ►  June 2014 (3)
    • ►  May 2014 (4)
    • ►  April 2014 (2)
    • ►  March 2014 (2)
    • ►  February 2014 (5)
    • ►  January 2014 (7)
  • ▼  2013 (36)
    • ►  December 2013 (5)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (5)
    • ►  August 2013 (1)
    • ►  June 2013 (1)
    • ►  May 2013 (4)
    • ▼  April 2013 (6)
      • 15 Things We Barely Do These Days
      • Lupus Oh Lupus
      • Excercise Makes Perfect
      • Srikandi Blogger 2013, Kartini Millenium
      • Cimory Chocolate Factory
      • Optimal Dengan Kamera Ponsel
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (2)
  • ►  2012 (28)
    • ►  December 2012 (2)
    • ►  November 2012 (3)
    • ►  October 2012 (3)
    • ►  September 2012 (4)
    • ►  August 2012 (4)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  May 2012 (1)
    • ►  April 2012 (1)
    • ►  March 2012 (1)
    • ►  February 2012 (1)
    • ►  January 2012 (3)
  • ►  2011 (28)
    • ►  December 2011 (2)
    • ►  November 2011 (3)
    • ►  October 2011 (1)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  August 2011 (4)
    • ►  July 2011 (2)
    • ►  June 2011 (4)
    • ►  May 2011 (1)
    • ►  April 2011 (4)
    • ►  March 2011 (3)
    • ►  January 2011 (3)
  • ►  2010 (2)
    • ►  December 2010 (1)
    • ►  June 2010 (1)

Created with by BeautyTemplates